Kidung Diatas Tanah Jawi episode 4

Gatra 4

Melihat Sulastri kesakitan Gading yang sejak tadi bersikap sabar dan merelakan dirinya dihina terus-terusan kini menjadi marah. Tanpa berpikir panjang lagi dia melompat kesamping dan mendorong dada Suradal kuat-kuat hingga anak ini tidak mampu menguasai keseimbangan tubuhnya. Tak ayal lagi, Suradal jatuh terjengkang di tanah.

“Anak pengkhianat! Berani kau mendorong dan menjatuhkanku!” teriak Suradal.

Suradal lantas berdiri dan menerjang dengan tendangan keras dan diikuti oleh lima kawan-kawannya yang juga ikut melayangkan pukulan serta tendangan. Anak-anak itu tidak memperdulikan teriakan-teriakan Sulastri. Gading mencoba untuk melawan dengan segenap kemampuannya. Akan tetapi, anak –anak itu menyerangnya dengan kasar dan membabi buta. Dalam keadaan babak belur hampir pingsan Gading merasa tubuhnya diangkat beramai –ramai dan di bawa ke ujung kademangan.

Disini terdapat kedung yang tidak terlalu besar. Air nya terlihat jernih dan tenang. Konon katanya di kedung ini dihuni baurekso yang berwujud seekor buaya putih yang sangat besar. Tubuh Gading mereka lemparkan ke dalam kedung itu. Masih untung tubuhnya terlempar tidak terlalu ke tengah di bagian yang dalam. Walaupun keadaannya benar-benar memelas tapi Gading tak sempat tenggelam. Sehabis melemparkan Gading ke dalam kedung Suradal dan teman-temannya pergi meninggalkan tempat itu.

“Gading! Gading…!” terdengar suara Sulastri memanggil berulang kali.

Di tepi kedung dia berhenti. Memandang kian kemari. Lalu pandangannya terhenti manakala ia melihat sesosok tubuh dengan terseok –seok berusaha merangkak ke tepian. Akhirnya dengan susah payah Gading berhasil sampai di tepian. Sekujur tubuhnya memar, mata kirinya terlihat membiru, bibirnya terlihat pecah dan masih mengucurkan darah.

“Kau terluka Gading, kita harus segera menemui Ki Angsana dukun obat di padukuhan Watu Gilang. Marilah bergegas, aku antarkan”

“Sekujur tubuhku sakit-sakit. Tulang-tulangku rasanya seperti patah. Kepalaku pusing…akan tetapi, aku rasa tidak perlu pergi ke dukun. Aku tidak apa –apa tidak ada yang perlu dicemaskan”

“ Benar? Kau tidak apa –apa?”

“ Aku tidak apa –apa Lastri “

“Kalau begitu kau harus cepat pulang, boreh badan mu dengan param dan berganti pakaian.”

“Aku tak berani pulang. Paman pasti akan marah besar dan mungkin menghajarku dengan rotan!” jawab Gading seraya menghela nafas panjang.

“Kalau kau tak pulang akan lebih celaka lagi, Gading! Mari kuantar kau!”

“Kau baik sekali Sulastri. Tapi jika paman malihat aku bersamamu hajaran akan berlipat ganda atas diriku!”

“Eh, mengapa begitu?” tanya Sulastri heran.

“Kata paman ayahmu pernah mengancamnya. Jika aku berani bermain- main denganmu maka ayahmu akan menyuruh Ki Jagabaya menghajar paman! Sebaiknya kau saja yang pulang duluan, Sulastri…”

Anak perempuan itu terdiam beberapa lamanya. Lalu perlahan-lahan gelengkan kepala. “Aku heran…” kata anak perempuan itu tersendat, “Mengapa semua orang di dukuh Kedungtuban membencimu. Bahkan pamanmu juga. Apakah berbeda pandangan dan mengabdi di Pajang itu merupakan dosa besar, aib atau sebuah pengkhiatan terhadap Jipang ?”

“Aku tak pernah memikirkan hal itu Sulastri. Tapi ketika setiap paman memarahiku juga selalu berkata seperti itu, mau tak mau aku jadi punya pikiran jangan-jangan aku ini memang anak pengkhianat. Mendiang ayahku juga mengabdi di Demak. Kakak ku, kakang Sukmo Aji menjadi wiratamtama di Pajang mengabdi kepada Sultan Hadiwijoyo. Padahal, aku dan keluargaku asli dari Jipang. Mungkin hal ini lah yang membuat mereka membenciku, bahkan pamanku sendiri…”

“Orang-orang itu keterlaluan. Anak-anak bengal itu juga! Aku benci mereka semua…! ”

“Kau tidak boleh membenci mereka Sulastri. Kau tak boleh membenci siapapun…” kata Gading pula. Lalu dia berdiri dan memegang lengan anak perempuan itu seraya berkata, “Kita pulang saja Sulastri. Kau ambil jalan sebelah kanan, aku sebelah kiri. Kalau ada yang melihat kita sedang jalan berdua pasti aku akan celaka…”

“Memang kau akan celaka anak pengkhianat!” tiba-tiba terdengar suara membentak keras.

Kedua anak itu sama-sama terkejut dan menoleh ke kiri. Pucatlah wajah Gading sementara Sulastri merasakan lututnya goyah karena ketakutan. Tapi anak perempuan ini cepat menabahkan hatinya. Dia menunggu dengan tenang apa yang bakal terjadi.

Beberapa langkah di samping kiri tegak dua orang lelaki. Di sebelah depan yang bertubuh tinggi besar dan berkumis melintang adalah Demang Wiryoboga, bukan lain ayah Sulastri. Wajahnya yang garang tampak marah sekali. Matanya membeliak dan pelipisnya bergerak-gerak. Di Kedungtuban Demang Wiryoboga dikenal sebagai seorang paling kaya karena dialah satu-satunya demang yang memiliki puluhan petak sawah dan ternak, termasuk pemilik tambak ikan di pesisir utara. Kekayaannya membuat dia disegani dan lebih dihormati dari pada demang sebelumnya.

Di sebelah belakang Demang Wiryoboga berdiri seorang lelaki yang tampangnya tak kalah garangnya malah menyeramkan karena mata kirinya picak sedang pipi kanannya ada parut atau cacat bekas luka. Orang ini memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala berwarna wulung. Di pinggang di balik sabuknya yang besar tersembul hulu sebilah golok berukiran kepala harimau. Dia adalah Lampitan, seorang jagabaya pembantu atau pengawal, atau lebih tepat dikatakan tukang pukul Demang Wiryoboga.

Dalam kedudukannya sebagai seorang jagabaya, Lampitan juga sering ditugasi untuk bertindak sebagai penagih hutang. Para warga kademangan atau siapa saja yang terlambat membayar utang kepada Demang Wiryoboga pasti akan didatangi Lampitan. Tak jarang orang ini main tendang dan main pukul jika orang yang berhutang belum sanggup melunasi hutangnya. Karenanya lambat laun rasa hormat penduduk terhadap Demang Wiryoboga berubah menjadi takut. Apalagi jika Lampitan sudah muncul, seolah-olah bumi ini menjadi kiamat rasanya!

“Sulastri! Bagus sekali perbuatanmu!” membentak Demang Wiryoboga. “Sudah berapa kali aku memberi ingat! Jangan kau sekali-kali bermain dengan anak ini! Ternyata kau berani melanggar perintahku!”

“Bapa, saya…”

“Jangan banyak mulut!” teriak Demang Wiryoboga.

“Aku beruntung Suradal memberi tahu. Kalau tidak pasti kau telah dihinakan oleh anak laknat ini!” Tangannya bergerak lalu terdengar pekik Sulastri ketika telinganya diputar dengan keras lalu ditarik.

“Pulang sana!”

Tubuh si kecil itu didorong hingga hampir terkapar jatuh. Sulastri menggigit bibir agar tidak menangis. Terhuyung-huyung anak ini melangkah pergi. Sebelum menghilang di balik rerumpunan semak belukar dia masih sempat berpaling memandang ke arah Gading.

“Maafkan aku Sulastri Ini semua salahku hingga kau mendapat hukuman…” berucap Gading.

“Bukan salahmu Gading! Tapi Suradal anak jahat itulah yang jadi biang perkara!” jawab Sulastri lalu melanjutkan langkahnya sambil memegangi telinganya yang sakit.

“Sekarang giliiranmu menerima hukuman bocah pengkhianat tak tahu diuntung…” Satu Tangan besar menjambak rambut Gading dengan keras. Sehingga ikat kepalanya jatuh ke tanah.

Sakitnya bukan main membuat anak itu meringis. Yang menjambaknya adalah Demang Wiryoboga.

“Anak demit! Apa kau tak sadar kalau tidak layak bermain dengan anak perempuanku? Dan kau berani mengajaknya ketempat sunyi ini! Apakah yang telah kau lakukan terhadap anakku?”
“Saya tidak melakukan apa-apa. Sulastri menolong saya…”

“Plaakkk…!”

Satu tamparan keras melabrak wajah Gading. Anak ini mengeluh kesakitan. Bibirnya yang tadi sempat pecah kembali mengucurkan darah. Pemandangannya menjadi gelap dan kedua kakinya terasa lunglai. Kemudian dalan keadaan seperti itu tubuhnya dihempaskan ke tanah.

“Ki Demang, apa yang harus saya lakukan terhadap bocah sialan ini?!” terdengar Lampitan bertanya. Suara besar tapi parau. Tangan kanannya sudah siap untuk menghunus golok.

“Tendang saja ke kedung sana! Lain kali jika dia berani mendekati anakku, aku perintahkah agar kau langsung mematahkan lehernya!” jawab Demang Wiryoboga lalu meninggalkan tempat itu.

“Anak keparat! Ada-ada saja yang menjadikan urusanku!” maki Lampitan.

Kaki kanannya bergerak dengan cepat kearah Gading yang masih terbaring di atas tanah, tubuh Gading terpental melesat jauh dan rubuh di tepi kedung. Semak belukar sebelah kanan tiba-tiba tersibak. Dari situ muncul Suradal bersama enam orang kawannya. Bersorak-sorak mereka berlari ke tepi kedung dimana sosok tubuh Gading melingkar tak bergerak.

“Rasakan olehmu pengkhianat!” teriak Suradal begitu sampai di hadapan Gading. Sembari meludah ke tanah.

“Anak pengkhianat mau jual lagak! Masih untung Ki Jagabaya tidak menggorok batang lehermu! Kalau tidak pasti kau sudah Jadi bangkai saat ini! Ha ha ha…!”

Lima anak lainnya ikut tertawa. Dalam sakitnya Gading tak kuasa membuka kedua matanya. Tapi telinganya menangkap jelas dan mengenali bahwa yang bicara itu adalah Suradal, anak bekel Kedungtuban.

Sesaat kemudian terdengar suara Suradal dan kawan-kawan, “Mari kita tinggalkan tempat ini. Biarlah anak ini di mangsa buaya putih baurekso kedung ini. Lihatlah, langit tampak mendung. Sebentar lagi pasti hujan turun…”

Tak lama setelah Suradal dan kawan-kawannya pergi Gading berusaha bangkit berdiri. Sulit dan sakit terasa sekujur tubuhnya. Di langit kilat menyambar lalu terdengar guruh menggelegar.


Kidung Diatas Tanah Jawi

Kidung Diatas Tanah Jawi

Score 8
Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Setelah kerajaan Demak semakin suram dan tinggal menunggu tenggelam dalam timbunan sejarah. Munculah kerajaan baru di atas tanah Jawa, kerajaan itu bernama Pajang rajanya adalah menantu Sultan Trenggono sendiri. Raja Demak yang terakhir. Pada masa mudanya dia terkenal dengan nama Joko Tingkir dan setelah menjadi raja beliau bergelar Sultan Hadiwijoyo. Seluruh pusaka kerajaan Demak akhirnya diboyong ke Pajang. Wahyu keraton sudah berpindah tangan. Sebagai pembuktian dirinya sebagai raja yang besar dan kuat Sultan Hadiwijoyo mengerahkan bala pasukannya dengan kekuatan empat puluh ribu prajurit yang terlatih. Pajang mulai menyerbu kerajaan –kerajaan di Jawa Timur. Sultan Hadiwijoyo sendirilah yang memimpin pasukan. Beliau duduk di atas punggung gajah perang yang diberi nama Kyai Liman sambil tangan kanannya mencengkeram tombak pusaka Kyai Pleret. Beliau didampingi oleh para panglima perang yang tangguh seperti Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, Ki Juru Mertani, Ngabehi Wuragil, Ngabehi Wilomerto, Tumenggung Cokroyudo, Tumenggung Gagak Seta dan para wiratamtama prajurit Pajang yang bilih tanding. Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset