DARAH YANG TELAH membasahi bumi Pucang Kembar bagaikan membuat jantung para Pengawal Kademangan bagaikan membara. Kawan-kawan mereka bermain dan berkelakar di gardu-gardu peronda harus terbaring diam dengan luka yang menganga di dadanya. Semakin malam, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Ketika keringat telah membasahi tubuh-tubuh mereka yang sedang bertempur itu, bahkan yang telah bercampur dengan darah, membuat mereka yang terlibat dalam pertempuran itu menjadi semakin garang.
Dalam pada itu, Kertopati masih bertempur dengan sengitnya melawan Pangestu. Keduanya yang sebelumnya pernah nampak akrab, telah dipisahkan, oleh nafsu dan ketamakan. Karena itu, maka Pangestu itu telah kehilangan kendali dirinya. Sementara itu Kertopati telah mengerahkan kemampuannya pula. Sebagai seorang pemimpin Pengawal Kademangan, maka Kertopati memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi Pangestu.
Sementara itu, Pangestu harus mengakui, bahwa Kertopati, pemimpin Pengawal Pucang Kembar itu tidak mudah dikalahkannya. Meskipun ia menghentakkan kemampuannya, namun ia tidak segera dapat mengalahkan Kertopati. Namun dalam pada itu, Kertopati telah semakin menekan Pangestu. Bahkan segores-segores kecil, tubuh Pangestu sudah terluka. Pakaiannya terkoyak serta bernoda darah.
Dalam keadaan yang paling gawat, Pangestu tidak mempunyai pilihan. Ia tidak lagi menghiraukan harga dirinya. Yang penting baginya, ia masih dapat tetap hidup. Jika ia masih tetap hidup, maka ia akan dapat mencari akal untuk menggapai keinginannya. Karena itu, ketika pertempuran di sekitarnya berlangsung dengan sengitnya, maka tiba-tiba saja Pangestu itu berloncatan surut untuk mengambil jarak. Kertopati mengira bahwa Pangestu itu sedang membuat ancang-ancang bagi ilmu puncaknya. Karena itu maka Kertopati pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Namun di luar dugaan, tiba-tiba saja Pangestu itu meloncat justru kebelakang garis pertempuran. Lelaki itu berlari di antara para Pengawal Pucang Kembar dan para pengikut Kiai Sosro Bahu yang tengah bertempur dengan sengit. Kertopati terkejut. Tetapi ketika ia akan mengejarnya, pintu yang semula seolah-olah terbuka, telah menutup kembali. Kertopati tidak dapat mengejar Pangestu. Ia tidak akan dengan mudah menerobos menyusup kebelakang garis pertempuran, diantara para Pengawal Pucang Kembar dan para pengikut Kiai Sosro Bahu.
“Jangan licik, Pangestu. Jangan lari !” ,teriak Kertopati.
Tetapi Pangestu sama sekali tidak menghiraukannya. Sebenarnyalah Pangestu telah hilang dari medan. Demikian ia tiba di belakang garis pertempuran, maka dua orang telah menyongsongnya.
“Kenapa kakang?” bertanya seorang diantara mereka.
“Aku tidak mau ditangkap oleh Kertopati.”
Seorang yang lain pun bertanya, “Jadi kakang melarikan diri?”
“Aku tidak mau di tangkap Kertopati. Aku tahu akibatnya. Karena itu aku berusaha meloloskan diri.”
“Kakang melarikan diri?”
“Sudah aku katakan. Aku tidak mau ditangkap. Aku tidak melarikan diri. Aku hanya menghindar agar aku tidak tertangkap.”
“ Kakang lebih baik kita mundur dulu. Sepertinya serangan kali ini juga tidak kan berhasil. Lihatlah, garis pertempuran semakin tertarik ke belakang. Kita bersembunyi saja “
“Bersembunyi dimana?”
“Ikutlah kami.”
Pangestu tidak dapat membantah lagi. ia pun kemudian harus mengikuti kedua orang itu untuk bersembunyi.
SEMENTARA ITU, di seluruh medan, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Namun para pengawal dari Pucang Kembar serta para pengikut Kiai Sosro Bahu serta orang –ornag berkuda yang membakar beberapa rumah semakin lama menjadi semakin menyusut lebih cepat dari perkiraan. Dalam pada itu, Sukmo Aji masih bertempur melawan Kiai Sosro Bahu atau gegedug rampok yang bergelar Kelabang Ijo. Pertempuran yang semakin sengit. Kiai Sosro Bahu telah mengetrapkan beberapa macam ilmunya. Demikian pula Sukmo Aji.
Ketika Kiai Sosro Bahu masih saja belum mampu menundukkan Sukmo Aji, maka Kiai Sosro Bahu telah menaburkan semacam serbuk yang berwarna hijau kelabuan. Tiba-tiba saja serbuk itu telah berubah menjadi kabut yang menyelimuti dirinya, sehingga tubuh Kiai Sosro Bahu itu tidak dapat dilihat dengan mata wadag. Kabut kehijaun pekat telah menyelubungi tubuh Kiai Sosro Bahu. Sukmo Aji bergeser surut. Beberapa orang yang berada di sekitar arena itu pun bergeser pula menjauhi kabut yang berwarna kehijauan itu.
Ketika tiba-tiba saja senjata Kiai Sosro Bahu yang berupa keris berpamor kehijau-hijauan yang bernama Keris Kelabang Ijo itu terjulur lurus kearah dada Sukmo Aji, maka tumenggung anom dari Pajang ini pun terkejut. Ia tidak melihat lawannya membuat ancang-ancang atau gerakan yang lain karena kabut pekat yang hijau kelabu itu. Namun tiba-tiba saja telah terjulur serangan yang mengejutkan. Untunglah bahwa Sukmo Aji telah meningkatkan kewaspadaannya, sehingga sentuhan ujung keris yang berwarna kehijau-hijauan itu tidak merobek lambungnya.
Meskipun demikian, namun Sukmo Aji itu telah tergetar dan terdorong beberapa langkah surut. Namun agaknya Kiai Sosro Bahu tidak dapat menghampiri Sukmo Aji lebih dekat lagi. Ketika Sukmo Aji meningkatkan ilmunya yang bernama aji Banyu Kayangan, maka udara di sekitarnya pun menjadi sangat dingin. Udara dingin itulah yang agaknya menghalangi Kiai Sosro Bahu untuk menyerangnya dari jarak yang lebih dekat.
Meskipun demikian, kabut kehijauan kelabu yang menghalangi penglihatan Sukmo Aji itu terasa sangat mengganggunya. Bahkan setelah Sukmo Aji mengetrapkan aji Sapta Pandulu. kabut itu masih saja menghalangi penglihatannya. Sehingga dengan demikian, maka kesempatan Kiai Sosro Bahu menyerangnya menjadi lebih besar dari kesempatan Sukmo Aji. Meskipun tombaknya beberapa kali menghentak kedalam kabut yang kehijauan itu, namun ujungnya masih belum menyentuh tubuh Kiai Sosro Bahu yang dilindungi oleh ilmu kebal Blabag Pangantolan.
Beberapa kali serangan Kiai Sosro Bahu mampu dapat mengenai Sukmo Aji serta menggetarkan pertahanannya. Sementara itu Sukmo Aji masih belum mempunyai kesempatan untuk membalasnya. Dengan demikian, maka Kiai Sosro Bahu telah berhasil mendesak Sukmo Aji beberapa langkah surut. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka tahu bahwa Sukmo Aji masih seorang pemuda yang tangguh.
Sementara itu, Kiai Sosro Bahu masih berlindung dibalik kabut yang berwarna kehijauan. Kabut itu melindunginya kemanapun Kiai Sosro Bahu bergeser. Namun ternyata bahwa Kiai Sosro Bahu merasa sulit untuk dapat lebih mendekat lagi untuk menyerang Sukmo Aji. Namun tiba-tiba saja Sukmo Aji terkejut. Kiai Sosro Bahu ternyata telah melontarkan serangannya yang lain. Dengan menghentakkan segenap kemampuannya dan tenaga dalamnya Kiai Sosro Bahu telah menyerang Sukmo Aji dengan puluhan pisau belati kecil.
Sukmo Aji tidak sempat menghindari serangan itu. Pisau belati kecil yang dilontarkan dengan lambaran kekuatan ilmu puncaknya serta seluruh kemampuan tenaga dalamnya itu mampu menggapai kecepatan gerak tubuh Sukmo Aji. Meskipun hanya satu pisau yang telah mengenainya. Sedangkan yang lain berhasil dihindari. Bagaimanapun juga pisau belati itu telah melukai kulitnya dan menitikkan darahnya.
Yang kemudian terdengar adalah suara tertawa Kiai Sosro Bahu. Disela-sela derai tertawanya terdengar lelaki itu berkata, “Sukmo Aji. Meskipun lukamu hanya seujung duri kemarung, tetapi kau akan mati. Di ujung pisau itu terdapat racun yang sangat tajam. Tidak seorang pun akan mampu lolos dari racunku. Sementara itu, hanya akulah yang mempunyai penawarnya.”
Sukmo Aji berdiri termangu-mangu. Dirabanya bahunya yang terluka setitik kecil, bahkan lebih kecil dari kelenteng kapuk randu.
“Sukmo Aji,” berkata Kiai Sosro Bahu pula, “kau tidak akan mampu bertahan sepenginangan sirih.”
Sukmo Aji bahkan bergeser setapak surut.
“Jika kau mau berlutut di hadapanku, menyembahku maka aku akan memberimu penawarnya. Tetapi sekaligus aku akan membunuhmu dengan kerisku. Keris pusakaku yang tidak ada duanya di dunia ini ”
“Racun di ujung pisaumu memang racun yang sangat tajam. Pantas saja orang kemarin yang aku tangkap mati di ujung pisau – pisau kecilmu ini Kiai,” desis Sukmo Aji.
“Berlututlah dan mohon ampun. Aku akan memberimu penawarnya sehingga kau tidak akan mati karena racun.”
Sukmo Aji tidak segera menjawab. Tetapi setapak lagi ia bergeser surut. Bahkan nampaknya Sukmo Aji itu menjadi goyah.
ORANG-ORANG YANG menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Jantung Ki Demang bahkan hampir berhenti berdetak, sedangkan Kertopati sudah siap untuk meloncat ke arena. Meskipun ia tidak melihat Kiai Sosro Bahu yang berdiri di dalam kabut hijau pekatnya, namun Kertopati akan menyerangnya dengan ilmu pamungkasnya dari jarak beberapa langkah.
Dalam pada itu. dengan penuh keyakinan Kiai Sosro Bahu sudah memastikan bahwa Sukmo Aji akan segera mati karena racun yang berada di ujung pisau belatinya itu. Karena itu. maka Kiai Sosro Bahu pun perlahan-lahan telah membiarkan kabutnya di hanyutkan angin, sehingga semakin lama keberadaannya menjadi semakin jelas.
“Aku disini Sukmo Aji,” berkata Kiai Sosro Bahu, “apakah kau masih berkeras untuk melawan tanpa bantuan orang lain? Jika kau berniat memberikan isyarat kepada kawan-kawanmu, lakukanlah. Aku masih sanggup melawan mereka semuanya. Sementara itu, kau sendiri akan segera terkapar mati. Sehingga dengan demikian, maka akan tersebar berita di Pajang, bahwa Sukmo Aji, andel-andel prajurit dari Pajang telah dibunuh oleh Kelabang Ijo.”
Sukmo Aji tidak menjawab. Namun ia masih tetap berdiri di tempatnya. Rasa-rasanya keseimbangannya menjadi semakin goyah. Tetapi yang tidak terduga telah terjadi. Demikian kabut itu semakin menipis, sehingga keberadaan Kiai Sosro Bahu itu menjadi semakin jelas.
Sukmo Aji pun berkata, “Jangan terlalu berbesar hati dengan pisau-pisau kecilmu Kiai Sosro Bahu. Kau akan menyesali kesombonganmu itu.”
Kiai Sosro Bahu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Sukmo Aji tiba-tiba saja sudah meloncat menyerangnya. Tombaknya berkelebat dengan cepat. Cahaya berpendar berwarna biru pun seakan-akan memancar dari tombak Sukmo Aji itu. Kiai Sosro Bahu terkejut. Ketika ia mencoba meloncat menghindar ujung tombak Sukmo Aji telah memburunya. Satu hentakkan yang kuat telah menembus aji Blabag Pangantolan dan mengenai kulit Kiai Sosro Bahu sehingga kulitnya itu pun terkelupas di pundaknya.
“Setan kau Sukmo Aji,” geram Kiai Sosro Bahu sambil meloncat mengambil jarak.
Sekali lagi Kiai Sosro Bahu menghamburkan serbuknya hijau sehingga kabut pun segera menyelimutinya. Namun Sukmo Aji telah sekali lagi mengenainya. Meskipun tidak mengoyak lambungnya karena hambatan ilmu Blabag Pengantolan, namun lambung Kiai Sosro Bahu itu telah terkelupas pula.
Namun sejenak kemudian, Kiai Sosro Bahu itu pun telah hilang pula di balik kabutnya. Yang tertinggal adalah suaranya, “Racunku sudah ada di dalam tubuhmu, anak muda. Semakin banyak kau bergerak, maka kau akan menjadi semakin cepat mati.”
“Racunmu bersikap baik kepadaku, Kiai Sosro Bahu,” jawab Sukmo Aji.
“Gila. Apakah kau tawar racun?”
“Ya”, jawab Sukmo Aji pendek. begitu ujung pisau menyambarnya. Sukmo Aji dengan cepat tanpa sepengetahuan Kiai Sosro Bahu segera menelan ramuan obat pengangkal racun yang selalu ia bawa di lipatan bajunya. Ramuan yang sangat hebat peninggalan gurunya Ki Ageng Danapati yang mendapat julukan Tabib Seribu Obat.
“Bagus. Mungkin satu pisauku tidak mampu membunuhmu karena kau mempunyai penawar racun. Tetapi dua tiga pisauku akan mempengaruhi peredaran darahmu.”
Sebelum Sukmo Aji menjawab, satu lagi pisau belati kecil meluncur dari dalam kabut. Sukmo Aji terlambat menghindar, sehingga pisau itu telah menyentuh lengannya. Sukmo Aji meloncat mundur. Ia sadar, bahwa yang dikatakan oleh Kiai Sosro Bahu itu benar. Jika cukup banyak racun masuk ke dalam tubuhnya meskipun ia juga kebal racun, namun dalam jumlah tertentu akan dapat mempengaruhi aliran darahnya. Karena itu, maka Sukmo Aji harus berusaha menghindari pisau-pisau kecil itu.
Bahkan satu lagi pisau kecil itu meluncur. Tetapi Sukmo Aji masih sempat meloncat kesamping sambil memiringkan tubuhnya sehingga pisau itu meluncur di depan dadanya. Dan yang kemudian menjadi terkejut adalah Kiai Sosro Bahu. Ia merasa mempunyai kesempatan menyerang lebih banyak dari Sukmo Aji. Tetapi tiba-tiba saja sasarannya menjadi kabur. Bukan saja karena Sukmo Aji selalu bergerak. Namun Kiai Sosro Bahu itu terkejut setengah mati. Ia melihat ada tiga sasaran yang selalu bergerak. Bahkan tiga sasaran yang sama itu berdiri di arah yang berbeda.
Kiai Sosro Bahu mengumpat. “ Kau tunjukkan ilmu anak kemarin sore Sukmo Aji. Kakang kawah Adi Ari-ari tidak akan mempan bagiku,” geramnya.
Namun kemampuan ilmu Kiai Sosro Bahu yang tinggi mampu menemukan manakah tubuh Sukmo Aji yang sesungguhnya. Meskipun demikian Kiai Sosro Bahu memerlukan waktu. Sukmo Aji dapat menghambat serangan-serangan Kiai Sosro Bahu dengan tiga wujudnya yang dapat mengaburkan keberadaannya yang sebenarnya. Sementara Kiai Sosro Bahu berusaha dengan ketajaman penglihatan mata batinnya untuk menemukan sasaran yang sebenarnya. Sukmo Aji telah dapat mengetahui di mana Kiai Sosro Bahu itu berdiri di dalam tirai kabutnya.
Karena itu, maka Sukmo Aji pun telah meloncat sambil menghentakkan tombaknya menyerang Kiai Sosro Bahu. Ternyata Sukmo Aji mampu mendahului lawannya.
Pada saat Kiai Sosro Bahu menemukan sasaran yang sebenarnya diantara ketiga ujud yang sama itu, Sukmo Aji telah menyerangnya dengan tusukan tombak pendeknya yang telah dilambari dengan segenap kekuatan dan tenaga dalam. Kiai Sosro Bahu yang sudah siap untuk menyerang dengan pisau kecilnya, tidak sempat menghindarinya. Meskipun tertahan oleh perisai ilmu Blabag Pangantolan, tetapi ujung tombak Sukmo Aji masih juga menggores dan mengelupas kulit di dada Kiai Sosro Bahu.
Kiai Sosro Bahu meloncat surut. Namun Sukmo Aji telah menemukannya dengan penggraitanya. Karena itu, maka Sukmo Aji tidak melepaskannya. ia pun segera meloncat memburu. Sekali lagi tombaknya dihentakkannya, sehingga ujung tombaknya telah mengoyakkan baju dan kulit di pundak Kiai Sosro Bahu. Kiai Sosro Bahu harus berloncatan mengambil jarak. Ia masih saja diselubungi oleh kabut hijau pekat kelabunya. Namun Sukmo Aji dapat mengikuti, kemana ia bergeser.
Akhirnya, Kiai Sosro Bahu harus mengakui, bahwa kabutnya tidak lagi mampu melindunginya. Karena itu maka sejenak kemudian, maka kabut itu pun segera menyibak. Dalam pada itu, maka Sukmo Aji pun telah kembali kedalam ujudnya yang satu. Ketika Kiai Sosro Bahu menampakkan dirinya di mata kewadagan Sukmo Aji, maka Sukmo Aji pun telah melepas pula aji Kakang Kawah Adi Ari-ari.
Dengan demikian, maka keduanya telah berhadapan lagi beradu wajah. Ketegangan telah mencengkam jantung setiap orang yang menyaksikan pertempuran itu. Mereka merasakan getar kemarahan dari kedua orang yang sedang bertempur, sehingga mereka yang menyaksikan pertempuran itu seakan-akan merasakan denyut jantung mereka yang semakin cepat.
Orang-orang yang menyaksikannya itu pun menyadari, bahwa keduanya pun akan segera sampai ke puncak segala macam ilmu mereka. Sebenarnya baik Sukmo Aji maupun Kiai Sosro Bahu benar-benar telah sampai ke puncak kemampuan mereka. Mereka merasa bahwa mereka sudah terlalu lama bertempur sehingga mereka menganggap bahwa sudah waktunya mereka mengakhiri pertempuran itu apapun akibatnya. Karena itu, sambil menengadahkan dada, mereka berdua tidak mempunyai cara lain daripada melepaskan kemampuan pamungkas mereka masing-masing.