DI KEJAUHAN sepasang mata menyala merah dari balik topeng berbentuk tengkorak tampak memperhatikan jalannya pertempuran dari balik rimbunnya dedaunan. Orang dengan memakai jubah hitam itu menggigit bibirnya. Ia melihat perubahan itu. Dan hatinya menjadi berdebar-debar pula karenanya. Wajahnyapun tiba-tiba tampak berkerut-kerut. Sedang tanpa sadar tangan orang tua itu segera meraba sebuah hulu senjata yang terselip di pinggangnya.
“Hem,” gumamnya, “Pemuda dari Pajang itu benar-benar seorang Senapati yang limpat. Dengan cerdik mereka telah berhasil mengatasi Kelabang Ijo yang garang.”
KETEGANGAN telah mencengkam jantung setiap orang yang menyaksikan pertempuran itu. Mereka merasakan getar kemarahan dari kedua orang yang sedang bertempur, sehingga mereka yang menyaksikan pertempuran itu seakan-akan merasakan denyut jantung mereka yang semakin cepat. Orang-orang yang menyaksikannya itu pun menyadari, bahwa keduanya pun akan segera sampai ke puncak segala macam ilmu mereka.
Sebenarnya baik Sukmo Aji maupun Kiai Sosro Bahu benar-benar telah sampai ke puncak kemampuan mereka. Mereka merasa bahwa mereka sudah terlalu lama bertempur sehingga mereka menganggap bahwa sudah waktunya mereka mengakhiri pertempuran itu apapun akibatnya. Karena itu, sambil menengadahkan dada, mereka berdua tidak mempunyai cara lain daripada melepaskan kemampuan pamungkas mereka masing-masing.
Kiai Sosro Bahu pun kemudian telah membuat ancang-ancang. Ia memiliki kemampuan yang jarang ada duanya. Kiai Sosro Bahu telah siap meluncurkan serangannya. Sukmo Aji memperhatikan ancang-ancang itu dengan saksama. Namun pemuda itu pun telah membuat ancang-ancang pula. Dipusatkannya segenap kemampuan dan tenaga dalamnya untuk mendukung ilmu pamungkasnya.
Sesaat kemudian, maka Kiai Sosro Bahu telah mengangkat tangannya. Dilontarkannya ilmunya yang selama ini diyakininya akan menyelesaikan semua lawan-lawannya. Bahkan jarang sekali Kiai Sosro Bahu mengetrapkan ilmunya itu. Hanya dalam keadaan yang tidak teratasi dengan ilmunya yang lain. maka Kiai Sosro Bahu melepaskan ilmu pamungkasnya. Penuh keyakinan Kiai Sosro Bahu melepaskan serangannya untuk menghancurkan Sukmo Aji.
Seberapa pun tingginya ilmu Sukmo Aji. Maka, Sukmo Aji pun akan dapat dilumatkannya.
Kedua telapak tangan Kiai Sosro Bahu yang tengadah di depan dadanya pun bergetar. Seakan-akan asap yang berwarna hijau pekat mengepul dari telapak tangan itu. Kemudian dengan satu tarikan sikunya di samping tubuhnya. Kiai Sosro Bahupun menghentakkan telapak tangannya menghadap ke arah Sukmo Aji. Dalam pada itu. Semua orang yang berada di garis serangan Kiai Sosro Bahu telah menyibak. Jika serangan itu meluncur, maka sentuhan udaranya akan dapat melukai isi dada mereka.
Pada saat itulah seakan-akan segumpal awan yang berwarna kehijau –hijaun pekat meluncur dari telapak tangan Kiai Sosro Bahu. Gumpalan awan berwarna hijau itu meluncur dengan sangat cepat. Dibarengi bau busuk yang menyengat indera penciuman orang –orang yang berada di sekeliling pertempuran itu.
Namun bersamaan dengan itu, maka Sukmo Aji telah meluncurkan ilmu pamungkasnya. Lebur seketi. Seleret sinar kemerahan meluncur, maka dari sepasang tangan Sukmo Aji yang mengepal dan diarahkan ke depan telah memancar pula cahaya yang menyilaukan meluncur membentur serangan Kiai Sosro Bahu. Dua macam ilmu yang dilontarkan oleh kedua orang yang sedang bertempur itu telah berbenturan dengan dahsyatnya.
Tidak terdengar ledakkan yang Cumiakkan telinga. Tetapi benturan itu telah mengguncang udara dengan menimbulkan getaran yang bergelombang melingkar menebar di sekitar arena pertempuran itu. Untunglah bahwa mereka yang menyaksikan pertempuran itu tidak berdiri terlalu dekat, sehingga pengaruh getaran itu sudah menyusut ketika menyentuh jantung mereka. Sedangkan yang berdiri terdekat, adalah orang-orang yang berilmu tinggi yang mampu mengatasi getaran itu dengan daya tahan tubuh mereka yang tinggi.
Namun benturan itu sendiri telah memantulkan getar ilmu kedua orang itu. Ternyata bahwa dalam kenyataan yang terjadi, tingkat ilmu Kiai Sosro Bahu masih belum mampu menyamai tingkat ilmu Sukmo Aji. Dengan demikian, maka arus balik dari benturan ilmu itu pun lebih banyak mengalir ke tubuh Kiai Sosro Bahu. Bahkan dorongan ilmu Sukmo Aji yang selapis lebih tinggi telah ikut pula menentukan akhir dari pertempuran itu.
Dalam benturan ilmu yang terjadi itu. Sukmo Aji telah tergetar beberapa langkah surut. Bahkan kemudian Sukmo Aji pun sulit untuk mempertahankan keseimbangannya. Isi dadanya yang terguncang serasa bagaikan dirontokkannya. Sukmo Aji pun kemudian terhuyung-huyung. Hampir saja Sukmo Aji jatuh terlentang jika saja Kertopati tidak dengan tangkasnya meloncat menahannya.
“Sukmo Aji,” desis Kertopati.
Sukmo Aji berdesah menahan sakit di dadanya. Namun Sukmo Aji masih melihat Kiai Sosro Bahu yang terpental lalu seperti dilemparkan. Terkena pukulan ajian Lebur Seketi Sukmo Aji rasanya bagaikan tertimpa seribu gunung yang runtuh bersama-sama. Demikian Kiai Sosro Bahu merasakan kedahsyatan Lebur Seketi, pandangannya terlempar dengan derasnya seperti anak panah yang terlepas dari busurnya mengarah tepat ke sebatang pohon raksasa yang berdiri kokoh kuat bagai benteng baja.
MEREKA yang menyaksikan peristiwa itu menjadi bingung. Mereka tidak dapat mengerti perasaan apa yang berkecamuk di kepalanya, seolah-olah terlepas dari kesadaran diri. Sebab kejadian yang dilihatnya itu adalah hal yang tak dapat dibayangkan bisa terjadi. Tetapi belum lagi tersadar, telah disusul pula oleh suatu peristiwa yang lain, yang tidak dapat mereka mengerti pula. Beberapa orang menjadi sedemikian bingungnya.
Tubuh Kiai Sosro Bahu yang melayang demikian derasnya dan hampir-hampir membentur sebatang pohon asem yang berukuran besar itu. Sekelebat bayangan dengan cepat bergerak menyongsong tubuh Kiai Sosro Bahu. Tahu –tahu tubuh itu sudah berada dalam dukungan seorang yang berjubah hitam. Tak seorang pun tahu dari mana dan kapan ia datang. Wajah orang itu sama sekali tidak tampak, karena ia mengenakan topeng yang berwujud tengkorak manusia. Semua orang memandang orang berjubah itu dengan tubuh gemetar.
“ Ki Ageng Tunggul Ireng….”, Sukmo Aji berdesis seakan tidak percaya dengan apa yang dilihat di depan matanya.
Nama itu mendengung kembali di telinga Sukmo Aji. Apakah hubungan Ki Ageng Tunggul Ireng dengan Kelabang Ijo? Apakah orang sakti itu adalah guru Kiai Sosro Bahu yang datang untuk menolong muridnya? Pertanyaan itu berkecamuk di hati Sukmo Aji. Maka mau tidak mau hatinya tercekam pula. Ia pernah mendengar kesaktian orang ini dari mendiang gurunya. Tunggul Ireng bisa dikatakan orang dengan seribu nyawa. Dan sekarang, ia telah berhadap – hadapan dengan orang itu dalam keadaan yang tak menguntungkan.
“Anak muda….” Tiba-tiba terdengar Ki Ageng Tunggul Ireng berkata.
Suaranya berat dan seperti menggema menusuk – nusuk gendang telinga. Suara itu dalam dan tak begitu jelas seperti bergulung dalam perutnya, karena pengaruh topeng yang dipakainya itu.
“Untunglah Sosro Bahu bukan sembarang orang,” sambungnya, ”sehingga meskipun ia terluka parah, tetapi aku yakin bahwa ia masih akan dapat hidup ”
Orang itu berhenti sejenak. Matanya yang berada dibalik topengnya itu memandang Sukmo Aji dengan tajamnya. “Hal itu adalah karena pertolonganku.”
Ki Ageng Tunggul Ireng melanjutkan, ”Kalau tidak, ia pasti sudah binasa terbentur pohon ini. Karena itu, kau aku anggap telah melakukan pembunuhan atas muridku”
Kembali hati Sukmo Aji melonjak. Ia tahu apa arti kata-kata itu. Dalam hal yang demikian, tiba-tiba ia teringat kepada almarhum gurunya yang merupakan angkatan yang sama dengan Ki Ageng Tunggul Ireng itu. Kalau saja mereka masih ada, pasti mereka tidak akan membiarkannya berhadap-hadapan sendiri. Tetapi sekarang ia seorang diri menghadapinya. Sebagai seorang prajurit pastilah Sukmo Aji tidak selalu menggantungkan dirinya kepada orang lain.
Karena itu, meskipun ia tahu, bahwa kekuatannya tak seimbang, ia bertekad untuk melawan mati-matian. Maka segera kembali ia memusatkan pikiran, mengatur jalan pernafasannya dan mengumpulkan segala tenaganya pada sisi telapak tangannya, meskipun ia belum bersikap.
Tiba-tiba terdengarlah Ki Ageng Tunggul Ireng mendengus lewat hidungnya, “Hem…, kalau Lebur Seketi itu gurumu yang mempergunakan, barangkali aku harus berpikir bagaimana menghindarinya. Tetapi kalau hanya kau yang akan mencobakan pada tubuhku, barangkali sebaiknya aku menyediakan diri sebelum aku membunuhmu!”
Mendengar kata-kata Ki Ageng Tunggul Ireng itu, mau tidak mau hati Sukmo Aji bergetar hebat. Bukan karena ia takut mati. Tetapi kematian yang demikian pada saat ia diperlukan untuk melindungi suatu kademangan yang akan binasa, adalah sayang sekali. Tetapi apa boleh buat. Sementara itu tampaklah Ki Ageng Tunggul Ireng bergerak maju. Ia selangkah demi selangkah mendekati Sukmo Aji tanpa meletakkan Kiai Sosro Bahu dari bahunya. Meski Tunggul Ireng masih mendukung muridnya. Namun, gerakan orang itu masih ringan seperti membawa sekantung kapas saja.
“Anak muda,” katanya, ” Aku tahu kau adalah murid Ageng Danapati. Terlihat dari jurus -jurus mu. Dan kau telah beruntung mewarisi ilmu saktinya Lebur Seketi. Karena itu lawanlah aku. Supaya kau mati dengan tangan merentang, bukan mati sebagai seekor lembu yang disembelih,”.
Sukmo Aji yang sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada mati, kini seperti sudah tidak mempunyai perasaan lagi. Tak perlu lagi ada pertimbangan-pertimbangan lain. Maka segera ia pun bersiap untuk menerjang lawannya, menjelang saat matinya. Sementara itu Ki Ageng Tunggul Ireng berdiri dengan acuh tak acuh saja seperti tidak akan terjadi sesuatu atas dirinya.
ORANG -ORANG lain yang berada di situ, sudah seperti orang linglung yang tak tahu apa-apa. Perasaan mereka sudah terbanting-banting beberapa kali sampai hancur. Meskipun ada diantara mereka yang matanya terbuka dan seolah-olah memandang Sukmo Aji dan Ki Ageng Tunggul Ireng berganti-ganti, tetapi mereka tidak mengerti tentang apa yang dilihatnya. Mereka tidak lagi dapat membayangkan, bahwa sebentar lagi Ki Ageng Tunggul Ireng akan dapat berbuat sekehendaknya atas Sukmo Aji tanpa ada yang dapat merintanginya.
Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka. Tidak oleh Sukmo Aji, maupun Tunggul Ireng dan orang –orang yang berada di sekitaran tempat itu. Ketika mereka telah hampir sampai pada puncak ketegangan, maka tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara. Sebuah tembang yang dinyanyikan oleh seseorang. Suara itu tidak demikian kerasnya, namun benar-benar langsung mempengaruhi isi dada mereka. Belum lagi mereka menyadari keadaan mereka masing-masing, tiba-tiba dari balik gerumbulan yang lebat sebuah bayangan meloncat dekat diantara mereka dan dengan sengaja seakan-akan melerai pertempuran yang segera akan terjadi lagi.
Orang yang baru datang dari gerumbulan pohon itu mengenakan pakaian panjang berwarna putih menyerupai jubah. Kepalanya memakai sebuah caping lebar. Dari bawah caping menjulur rambutnya berwarna kelabu tanda dia adalah seorang lanjut usia. Orang itu masih mendendangkan sebuah kidung. Lantas suara itu menjadi lirih dan akhirnya kidung itu telah usai. Berganti dengan tertawa lirih.
Dan sesaat kemudian terdengar terdengar ia berkata, “Sudahlah Sukmo Aji. Lepaskan dulu pemusatan tenaga itu. Lebur Seketi di tangan mu itu tidak akan mampu mengatasi orang bertopeng itu”
Sukmo Aji terkejut begitupun Kertopati yang berada di sampingnya. Mereka saling pandang dan timbul pertanyaan di benak keduanya. Tak seorang pun yang mengetahui tanggapan Tunggul Ireng atas kehadiran orang berjubah putih itu di hadapannya, sebab wajah orang itu tertutup oleh topeng berbentuk tengkorak. Tetapi melihat sikapnya, ia sama sekali tidak senang terhadap orang yang baru datang itu. Kemudian malahan Tunggul Ireng menjadi gelisah.
Akhirnya, tiba-tiba ia berputar menghadap ke orang tua berjubah bercaping lebar itu dan dengan garangnya ia menggeram. Sedang kata-katanya sangat mengejutkan mereka yang mendengarnya, seperti halilintar meledak di atas kepala masing-masing. Termasuk Sukmo Aji dan ornag –orang yang masih ada di tempat itu.
”Setan tua…! Apa maksudmu mengganggu urusanku? Baiklah. Hanya sayang kali ini aku tidak ada waktu untuk melayanimu. Karena itu lain kali aku akan menemuimu, kalau aku tidak sedang membawa beban seperti kali ini. Sampai ketemu Pandan Arum!” kata Tunggul Ireng.
Setelah itu tanpa diketahui arahnya, tahu-tahu Tunggul Ireng telah lenyap dari pandangan mereka beserta Kelabang Ijo. Tidak lama setelah Tunggul Ireng menghilang. Orang berjubah putih itu pun segera berkelebat pergi. Namun, sebelum berkelebat orang itu mengirimkan sebuah bisikan menggunakan ajian Sapta Pamelingan kepada Sukmo Aji.
“ Segera tinggalkan kademangan ini. Tugas penting menunggu di Pajang. Kalau kau penasaran siapa aku sebenarnya. Temui aku di muka dua desa setelah Pucang Kembar. Di tengah ladang jagung yang luas. Ada sebuah pondok. Sampai ketemu lagi Sukmo Aji “
SEMENTARA itu kuda- kuda mereka telah sampai di muka pintu gerbang halaman rumah Demang Pucang Kembar. Dua orang penjaga gerbang masih berdiri dengan tegapnya. Ketika mereka melihat Ki Demang dan Sukmo Aji datang, segera kedua penjaga itu membungkuk hormat. Demang Pucang Kembar tidak dapat menunggu lebih lama lagi untuk menanyakan tentang keamanan rumahnya, maka kepada dua orang penjaga itu ia bertanya, ”Apakah yang sudah terjadi?”
”Ada sepuluh orang yang menyusup ke rumah Ki Demang,” jawabnya.
“ Namun, berhasil kami mengatasi meskipun beberapa kawan kami ada yang terluka. Bahkan, kakang Tundun juga terluka “
“ Bagaimana dengan Miranti? “, Tanya ki demang dengan wajah yang cemas.
“ Den Ayu, tidak mengalami hal yang buruk Ki Demang. Tadi juga ikut bertempur menghadapi para penyusup itu “
Ki Demang menarik nafas panjang. Lantas ketiganya bergegas ke pendopo. Dilihatnya di sana Ki Galih Asem telah datang dan telah mencoba mengobati Tundun dan beberapa orang yang terluka dengan ramuan dedaunan, dan dengan memijat-mijat berusaha mengembalikan urat-urat yang salah letak. Dengan cekatan ia merawat orang-orang yang terluka itu berganti-ganti, sehingga beberapa saat kemudian semua telah diobatinya dan dibaringkannya di tempat yang tenang. Mirantipun sibuk membantu Ki Galih Asem menyiapkan air hangat untuk membersihkan luka dan darah yang telah mengering.
Seorang perempuan tua masih saja merenungi putranya yang terbaring di pendopo dengan tanpa bergerak. Sedang di mata perempuan tua itu kadang-kadang masih tampak butiran-butiran air mata yang satu-satu menetes memercikkan kesedihan hatinya. Demang Pucang Kembar dan Sukmo Aji duduk berdiam diri sebelah-menyebelah dari tempat orang –orang yang terbaring terluka. Wajah-wajah mereka tampak suram serta pandangan mereka seakan-akan jauh menembus lantai kelam yang tak dikenal.
Suasana menjadi sepi. Di kejauhan terdengar semakin jelas gonggongan anjing-anjing liar bersahut-sahutan, seolah-olah mereka berkata bahwa malam adalah milik mereka. Sepi malam yang mencengkam itu kemudian dipecahkan oleh suara Ki Galih Asem.
”Ki Demang, luka-luka para pemuda ini tidaklah begitu berat. Mudah-mudahan atas kemurahan Tuhan, dalam waktu yang singkat luka itu akan segera sembuh kembali.”
Demang Pucang Kembar menoleh perlahan-lahan ke arah Ki Galih Asem, katanya, ”Syukurlah, Ki. Mudah-mudahan Tuhan memperkenankan”
Demang Pucang Kembar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba tanpa disengaja, pandangan mata Demang Pucang Kembar terlempar ke arah sesosok tubuh yang masih belum ada seorang pun yang berani mengubah letaknya, yang menggeletak di muka ruang tidur Demang Pucang Kembar. Seketika itu dadanya menggelora kembali.
“ Kidang Lampitan…”, desis Demang Pucang Kembar.
Dicobanya untuk menenangkan dirinya. Perlahan-lahan ia berdiri dan memeriksa mayat yang masih belum berkisar sama sekali itu. Tetapi pada mayat itu sama sekali tak dijumpainya tanda-tanda apapun yang dapat memberi petunjuk tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Hanya saja di timang Kidang Lampitan terdapat gambar dua ekor kelabang sedangbertautan kedua ekornya. Karena itu ia pun segera duduk kembali.
Suasana di dalam rumah itu kembali dikuasai oleh kesepian yang menekan, tetapi di dalam setiap dada orang-orang yang berada di dalam rumah itu bergulatlah perasaan-perasaan yang simpang siur. Di dalam kesepian malam, di sela-sela gonggong anjing-anjing liar dan pekik burung-burung malam, lamat-lamat terdengarlah derap kaki kuda yang menderu-deru, semakin lama semakin dekat. Sukmo Aji dan Demang Pucang Kembar segera mengangkat kepalanya untuk mengetahui dari manakah datangnya suara-suara itu.
Suara itu ternyata adalah suara derap dari berpuluh-puluh ekor kuda. Tetapi karena sampai beberapa lama masih tidak terdengar tanda apapun, maka tahulah mereka bahwa rombongan itu pasti bukanlah rombongan dari orang-orang yang menyerang Pucang Kembar. Dan apa yang diduganya adalah benar. Rombongan itu adalah rombongan dari Laskar Pucang Kembar yang bertugas untuk mengejar dan mencari Pangestu yang telah meloloskan diri.
Sampai di halaman rumah Demang Pucang Kembar, segera mereka turun dari kuda masing-masing. Dengan wajah yang masih tersisa ketegangan dan letih mereka segera masuk. Tetapi demikian mereka melangkah masuk, segera mereka menjadi terkejut dan bertanya-tanya. Di hadapan mereka terkapar beberapa sesosok mayat, sedang di bale-bale di sisi-sisi ruangan itu terbaring pula Tundun dan beberapa orang lagi.
Apakah yang terjadi di rumah ini Ki Demang?” tanya Kertopati gugup.
”Beberapa orang telah datang ke rumah ini. Pada saat aku dan beberapa orang terlibat pertempuran di gerbang kademangan. Nampaknya, hal itu memang disengaja untuk memancing kita meninggalkan induk kademangan ini,” jawab Demang Pucang Kembar.
“ Bagaimana dengan pengejaran mu Kertopati?”
Kertopati mendesah perlahan lanjutnya, “ Maaf Ki Demang Pangestu dan beberapa orang yang melarikan diri seperti lenyap ditelan bumi. Kami telah mengaduk –aduk hutan dan padukuhan –padukuhan di seputaran Pucang Kembar. Namun, orang itu tidak bisa kami ketemukan “
“ Tidak apa Kertopati. Kita mula sekarang harus segera berwaspada. Orang itu dapat saja suatu saat akan membuat kerusuhan di kademangan ini “
“ Bagaimana dengan luka-luka mu Sukmo Aji? “, Kertopati bertanya.
“ Sudah tidak terlalu sakit Kertopati. Mungkin aku hanya butuh istirahat dan sedikit mengatur jalan pernafasanku”
“ Syukurlah kalau begitu. Lantas apa yang akan kita lakukan ki demang? “
“ Tetap meronda malam ini. Kita berjaga –jaga jika sesuatu yang buruk tiba –tiba terjadi. Ngger Sukmo Aji apakah dengan peristiwa ini angger akan tetap melanjutkan perjalanan besok pagi? “
“ Keinginan ku agar angger memulihkan tenaga dahulu. Pertempuran tadi aku yakin sangat menguras tenaga. Aku juga heran kenapa Sosro Bahu sekarang bisa menjadi seperti itu. Bodohnya aku tidak mengetahui sepak terjang adik tiri ku itu. Ternyata seorang gegedug rampok yang namanya sangat kawentar berjuluk Kelabang Ijo “
Pandangan Ki Demang menerawang jauh. Mengingat – ingat saat masih muda bersama adik tirinya itu.