BOLA MATA Haryo Puguhan bergerak ke arah Ki Wilamerta yang tengah membersihkan lantai pendapa. setelah terlebih dahulu menyapu wajah kakak tirinya dengan garang.
“Ki Wilamerta turunlah kesini bersujudlah di kaki ku karena telah melukai orang kepercayaan ku!” suara Haryo Puguhan begitu lantang dan menggeletarkan karena disertai tenaga dalam yang tinggi sudah hampir mencapai puncak kesempurnaannya.
Ki Wilamerta sunggingkan senyum tawar. Lantas lelaki tua yang tampak lemah itu meletakkan sapu lidinya. Sekali dia menggerakkan kedua kakinya maka setengah detik kemudian dia sudah berdiri di tanah, beberapa tombak dihadapan kuda Haryo Puguhan. Gerakannya waktu melompat tadi enteng sekali.
Senyum datar tersungging lagi di mulut orang tua ini.
“Ini yang bernama Haryo Puguhan?! Semasa kecil kau aku asuh bersama kakak mu Haryo Panumping seperti anak ku sendiri. Kalau kau menangis rebutan mainan dengan kakak mu. Aku gendong kau mengitari bulak untuk mencari belalabg. Nampaknya dua tahun ini kau mulai keblinger Ngger”
Bergetar badan Haryo Puguhan mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung jari-jari kaki!
“Orang tua yang tak tahu diri, hari ini terpaksa kau harus dipaksa untuk meminta kepadaku!”
Haryo Panumping yang mendengar kata –kata kasar dari adik tirinya itu. Mau tidak mau darahnya ikut mendidih juga.
“ Adi, orang tua kita dulu seorang demang. Kita meskipun bukan saudara sekandung akan tetapi selalu dididik dan diajarkan untuk menghormati orang tua. Jangan kau keterlaluan “
Haryo Puguhan sedikitpun tidak menghiraukan kata kakaknya. Lelaki yang tengah dibakar dendam itu segera melentingkan diri, melompat turun dari kuda. Dalam keadaan tubuh melayang demikian rupa kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum angin sedahsyat badai menyerbu orang tua yang membungkuk itu. Debu dan pasir mengebubu!
Ki Wilamerta sekejap terhenyak. Namun, dengan tangkas ia melompat setinggi tiga tombak ke atas. Angin pukulan yang dahsyat lewat di bawah kedua kakinya.
Pada detik dia hendak mengirimkan serangan balasan maka berserulah Haryo Panumping, “aki minggirlah, biar aku yang hadapi manusia pengacau ini!”
“Ah Raden….,” kata Ki Wilamerta dalam keadaan tubuh masih memasang kuda -kuda.
“Biarlah aku yang sudah tua ini kasih pelajaran padanya! Tak usah Raden bersusah payah. Ini mungkin juga karena kesalahan ku tidak mampu mendidiknya semasa kecil “
Haryo Puguhan kertakkan rahang. Dua tinjunya bergerak susul menyusul melanda ke arah Ki Wilamerta. Si orang tua, yang rupanya ingin menjajaki sampai di mana ketinggian tenaga dalam lawan, sengaja memapaki serangan itu. Dua pukulan berbenturan. Tubuh Haryo Puguhan kelihatan berdiri gontai beberapa detik lamanya. Sedangkan Ki Wilamerta jatuh duduk di tanah, mandi keringat dingin!
Bukan saja Ki Wilamerta sendiri, tapi Haryo Puguhan pun kagetnya bukan main. Tahu kalau tenaga dalam lawan lebih unggul dari dia, Ki Wilamerta segera melompat dan menyerang. Kedua tangannya bergerak demikian cepat hampir tak kelihatan, menyapu-nyapu dan sekali-kali menjotos ke muka dengan dahsyatnya. Hampir dua jurus Haryo Puguhan terkurung oleh pukulan-pukulan yang anginnya memerihkan matanya.
Haryo Puguhan atau Sosro Bahu mau tak mau mempercepat pula gerakannya. Tubuhnya kini laksana bayang-bayang. Bila satu jurus lagi berlalu, maka Ki Wilamerta mulai merasakan tekanan-tekanan serangan yang membuatnya harus berhati-hati. Tiga jurus lagi berlalu. Tubuh kedua manusia itu sudah hampir tak kelihatan karena cepatnya gerakan mereka ditambah lagi dengan debu serta pasir yang menggebubu ke udara menutupi keduanya.
Tiba-tiba diiringi dengan lengkingan yang menggetarkan dengan satu gerakan yang sukar ditangkap oleh mata Ki Wilamerta, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang lebih tinggi sedikit dari lawan dia menyorongkan siku kirinya ke muka. Tubuh lawan di lihatnya mengelak ke samping dan sekaligus tangannya yang lain memapaki gerakan mengelak dari Haryo Puguhan.
“Bukkkk…!!”
Haryo Puguhan terjajar sampai dua tombak ke belakang. Mulutnya menyeringai menahan sakit pukulan tangan kanan Ki Wilamerta yang bersarang di dada kirinya. Cepat-cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke bagian yang terkena itu. Ki Wilamerta tertawa mengekeh.
Tampang Haryo Puguhan kelam membesi. Kedua kakinya merenggang. Tangan kiri dipentang lurus-lurus ke muka. Tangan kanan ditarik tinggi-tinggi ke belakang di atas kepala. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanan Haryo Puguhan kemudian kelihatan menjadi hitam dan bergeletar.
“baik tua bangka!” kertak Haryo Puguhan, “lihat tangan kananku. Kenalkah kau akan pukulan yang akan kulepaskan ini…!”
Ki Wilamerta kerutkan kening. Matanya memandang lekat-lekat ke tangan kanan Haryo Puguhan yang semakin lama semakin bertambah hitam itu. Meski dia sudah hidup hampir tujuh puluh tahun, meski pengalamannya di dunia persilatan setinggi langit sedalam lautan namun kali ini mau tak mau tergetar juga hatinya melihat tangan kanan lawan itu, ditambah lagi dia sama sekali tidak tahu ilmu pukulan apakah yang akan dilancarkan oleh lawannya!
Akan tetapi Haryo Panumping, begitu melihat tangan Haryo Puguhan yang menjadi hitam itu, kagetnya bukan main. Dengan cepat dia memberikan bisikan pada Ki Wilamerta dengan mempergunakan ilmu Sapta Pameling.
“Aki, hati-hati. Pukulan yang hendak dilepaskan itu adalah aji Wesi Ireng. Hebatnya bukan main dan sangat beracun…!
Ki Wilamerta menindih rasa terkejutnya.
” Aji Wesi Ireng…,” keluhnya dalam hati.
Hampir-hampir tak dapat dipercayanya kalau tidak menyaksikan sendiri. Dia tahu betul bahwa di dunia persilatan hanya ada satu manusia yang memiliki ilmu pukulan yang dahsyat ini yaitu seorang bernama Tunggul Ireng yang diam di lereng Gunung Lawu. Tapi kini muncul seorang lain yang memiliki ilmu pukulan itu. Apakah Haryo Puguhan ini muridnya Tunggul Ireng? Namun, ilmu itu belum sempurna. Kesempurnaan ilmu itu tidak akan membuat tangannya berubah menjadi hitam. Akan tetapi, akan timbul kabut disekitar orang yang memiliki aji Wesi Ireng.
Kerut-kerut pada kening Ki Wilamerta mengendur sedikit. Dicobanya untuk menekan keterkejutannya. “Hanya aji Wesi Ireng, apakah perlu ditakutkan….!” kata orang tua bungkuk itu.
Diam-diam Haryo Puguhan menjadi kaget melihat bahwa lawan mengetahui ilmu pukulan yang hendak dilepaskannya. Cepat dia membentak. “Kalau sudah tahu mengapa tidak segera berlutut, orang tua?!”
“Hanya orang keblinger yang akan berlutut di hadapanmu Haryo Puguhan. Terimalah ini….!” dan tangan Ki Wilamerta mendahului melepaskan pukulan tangan kosong yang dahsyat.
SETENGAH TOMBAK lagi angin pukulan yang menghembuskan maut itu melanda tubuh dan kepala Haryo Puguhan maka kelihatanlah laki-laki ini meninjukan tangan kanannya ke depan! Setiup angin laksana topan prahara dan mengeluarkan sinar hitam melesat ke depan. Angin pukulan Ki Wilamerta terdorong dan balik menyerang orang tua itu sendiri!
Ki Wilamerta melompat ke samping. Tapi tak keburu. Sinar hitam dari pukulan Wesi Ireng telah melanda pinggangnya. Orang tua itu berteriak setinggi langit. Tubuhnya terguling di tanah. Kulitnya kelihatan hitam. Haryo Panumping dengan gerakan cepat menghampiri tubuh Ki Wilamerta yang mengerang dan menggelepar-gelepar seketika, kemudian nafasnya serasa sesak. Haryo Panumping dengan cepat menontok bagian – bagian tubuh dari orang tua itu. Penuh rasa cemas segera ia menggendong tubuh lemah itu.
“Manusia biadab kau Puguhan! Aku terima tantangan mu untuk berperang tanding di atas bukit di bawah pohon Pucang Kembar. Tunggulah tiga hari lagi pas purnama penuh tanggal lima belas?”, bentak Haryo Panumping.
Haryo Puguhan atau Sosro Bahu tertawa mengekeh. “Tiga hari lagi kau akan mati Haryo Panumping! Aku masih berbaik hati untuk membiarkan kau angkat kaki dari sini. Rawat orang tua itu. Terlambat sedikit mungkin besok nyawanya tidak akan tertolong “
Bersusah payah Haryo Panumping membawa Ki Wilamerta yang keadaannya semakin memburuk. Dibantu oleh beberapa abdinya akhirnya tubuh Ki Wilamerta telah dimasukkan ke dalam kereta kuda. lalu kereta kuda itu berlari seperti kesetanan menuju kea rah rumah tabib desa yang terkenal. Ki Galih Asem.
Haryo Panumping masih duduk sendiri di pringgitan rumahnya. Dadanya bergelora seperti sedang terbakar. Sama sekali tidak disangka-sangkanya, bahwa orang yang telah mendorongnya ke dalam kepahitan hidup itu adalah Puguhan, adik tiri yang terlampau dekat yang selama ini dianggapnya sebagai adik kandung sendiri. Tetapi ternyata yang terjadi adalah neraka yang paling terkutuk. Adiknya itu dengan tega melukai Ki Wilamerta pengasuhnya semenjak kecil. Bahkan, hampir saja lelaki tua itu mati di tangan Haryo Puguhan, Haryo Panumping tersadar ketika ia melihat istrinya masuk ke dalam pringgitan itu. Dilihatnya wajah yang cantik itu telah basah pula oleh air matanya.
Sejenak perempuan itu berdiri termangu-mangu, namun kemudian, ia melangkah mendekati suaminya sambil bertanya, “ Apakah kakang telah bersepakat untuk melakukan perang tanding?”
Haryo Panumping menganggukkan kepalanya, “Ya Galuh. Nanti apabila purnama penuh naik. Aku dan Paguhan akan melakukannya di bawah Pucang Kembar.”
Istrinya termenung sejenak. Lalu katanya, “Aku tidak mengerti bahwa kakang lebih senang memilih jalan itu daripada cara yang lain.”
“Aku tidak melihat cara yang lain itu,” sahut Haryo Panumping.
Istrinya terdiam. Langkahnya yang berat telah membawanya ke atas amben bambu. Sambil menarik nafas dalam-dalam diletakkannya dirinya duduk di atas amben itu. Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Haryo Panumping masih duduk beku seperti arca.
Istrinya menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang telah mengenal dengan baik suaminya itu. Ia dapat mengerti perasaan yang bergolak di dalam dada Haryo Panumping. Itulah sebabnya, ia kemudian berdiam diri sambil menebah dada. Dalam keadaan yang demikian Haryo Panumping pasti sulit untuk diajak berbicara.
“Aku masih mempunyai waktu dua hari lagi sebelum purnama naik. Mudah-mudahan aku dapat mengurungkan cara penyelesaian yang mengerikan itu,” berkata istrinya di dalam hati. “Penyelesaian yang demikian tidak akan dapat memberikan ketenteraman hidup bagi yang memenangkannya”
APABILA MALAM kemudian tiba, Haryo Panumping selalu memandangi bulan yang mengapung di langit. Meskipun ujudnya telah hampir bulat, namun malam purnama masih harus ditunggunya. Dan menunggu kesempatan itu adalah pekerjaan yang paling menyakitkan hati.
Di hari kedua Haryo Panumping benar-benar telah kehilangan kesabaran. Sebelum matahari merendah di ujung barat, anak muda itu telah mempersiapkan dirinya. Diambilnya senjatanya yang selama ini telah disimpan di atas geledegnya. Sebuah keris pemberian ayahnya sebagai sipat kandel dalam kembaranya mengabdikan dirinya kepada pimpinan kerajaan di Demak.
Haryo Panumping terkejut ketika ia mendengar suara istrinya memanggilnya, “ Kakang Haryo Panumping, apakah selama dua hari ini kau tidak menemukan cara lain yang lebih baik daripada cara-cara orang biadab itu?”
Haryo Panumping mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya dengan nada yang dalam, “Tidak, Galuh. Aku tidak memikirkan cara yang lain yang dapat aku lakukan.”
“Sebaiknya kakang dapat membujuk adi Puguhan. Tidak mempergunakan senjata itu.”
“Senjata ini lebih baik daripada mengajaknya berbicara Galuh. Dengan senjata ini semuanya akan segera selesai.”
“Tidak. Persoalannya tidak dapat diselesaikan. Tetapi persoalan itu membeku karena salah satu pihak terbunuh karenanya”
“Dan dengan demikian maka tidak akan ada persoalan lagi.”
“Kau membohongi dirimu sendiri, kakang. Persoalan itu akan bergolak di dalam dadamu. Justru lebih dahsyat dan lebih sulit untuk kau selesaikan.”
Haryo Panumping menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak, Galuh. Aku tidak memikirkan jalan lain. Puguhan sudah keterlaluan. Aki Wilamerta nyaris terbunuh di tangannya. Kau tahu siapa Ki Wilamerta? Dia yang mengasuh kita berdua, salah satunya Puguhan. Aku tidak habis pikir mengapa anak itu tega hendak membunuhnya”