Kidung Diatas Tanah Jawi episode 47

gatra 47

SEMENTARA itu, di rumah Haryo Panumping, istrinya masih duduk sambil mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ia tidak berpaling sama sekali ketika seorang pelayan menyalakan lampu di dalam bilik yang sudah menjadi gelap itu. Bayangan-bayangan yang paling mengerikan telah menganggu angan-angannya. Segala kemungkinan dapat terjadi atas suaminnya itu. Galuh Warsih perlahan-lahan berdiri.

Ia tidak mau datang kepada anaknya yang masih bayi dalam keadaannya seperti itu. Ia tidak mau memberikan kesan tentang kecemasan yeng merayapi hatinya atas Haryo Panumping. Sehingga bayi kecilnya itu akan menjari rewel dna menagis. Karena itu, maka istri Haryo Panumping itu tidak segera pergi ke biliknya tempat menidurkan Miranti yang tertutup. Ia pergi dahulu ke pekiwan untuk mencuci muka.

Hati perempuan itu berdesir ketika ia melihat bulan yang bulat mengapung di langit. Sejenak dipandanginya bulan yang terang itu. Dilihatnya bayangan yang kehitam-hitaman di dalam warna yang kuning cerah. Namun angan-angannya yang dilukisi oleh kecemasannya tentang suaminya telah membuat gambaran yang mengerikan pada wajah bulan itu. Seakan-akan dilihatnya, di dalam bulatan bulan purnama, sesosok tubuh terbaring diam. Semakin lama menjadi semakin jelas. Seorang anak muda. Dan bahkan kemudian seakan-akan perempuan itu melihat warna wajah anak muda itu.

Perempuan itu terkejut lantas istrinya itu mendesah, “ Kakang Haryo Panumping.”

Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Bayangan itu menjadi semakin samar.

“Hem,” perempuan itu berdesah.

Kakinya yang rasanya sudah tidak bertenaga itu digerakkannya kembali melangkah ke pekiwan. Dalam kesenyapan malam terdengarlah gerit senggot timba seakan sedang merintih. Perempuan itu mencuci mukanya. Dicobanya untuk menghilangkan segala macam kesan yang dapat menimbulkan kecemasan dengan mendinginkan badannya.

“Aku harus berusaha menanangkan hatiku untuk menjadi tenteram. Mungkin aku akan mendengar berita yang lebih menyayat hati besok pagi apabila seseorang telah menemukan sesosok tubuh terkapar di atas bukit di bawah sepasang Pucang Kembar itu. Siapa pun orang itu.”

Sambil mengusap mukanya yang basah dengan ujung kain panjangnya, perempuan itu berjalan tertatih-tatih menuju ke biliknya tertutup rapat.

Di atas bukit Pucang Kembar Haryo Panumping dan Puguhan bertempur semakin sengit. Mereka telah melupakan segala macam perhubungan yang baik di antara keduanya. Mereke berdua seakan lupa pertalian darah yang ada pada keduanya. Mereka sama sekali sudah tidak dapat lagi mengekang dirinya, sehingga mereka telah sampai pada puncak ilmu masing-masing.

Keris berpamor hijau di tangan Puguhan benar-benar merupakan senjata yang mengerikan. Seperti tatit yang menari-nari di udara senjata itu meloncat-loncat dari segala arah ke segala arah. Seolah-olah ujung keris itu dapat berubah menjadi puluhan pasang yang bergerak bersama-sama. Kadang-kadang Haryo Panumping terpaksa meloncat surut beberapa langkah, apabila gerak sepasang senjata lawannya itu membingungkannya. Ia terpaksa mengambil jarak untuk dapat melihat gerak lawannya, supaya dapat menyusun perlawanan yang rapat.

Namun setiap kali Puguhan selalu menyindirnya. Dengan tertawa penuh hinaan ia berkata, “Ayo Haryo Panumping, bukankah kau pernah berjasa bagi Demak sebagai prajurit pilihan? Kenapa kau hanya mampu berlari-lari tanpa dapat memberikan perlawanan yang berarti?”

Terasa darah Haryo Panumping seolah-olah mendidih di dalam jantungnya. Tetapi kemudian kesadarannya dapat mengekangnya sehingga ia tidak kehilangan nalar. Setiap kali ia menyadari bahwa lawannya sedang berusaha memancing kemarahannya, maka Haryo Panumping segera menemukan ketenangannya kembali.

“Apakah sebenarnya yang dibangggakan oleh para pemimpin dan Senapati Demak atasmu Haryo Panumping?” suara Puguhan terdengar terlampau menyakitkan hati.

Haryo Panumping tidak segera menyahut. Dipusatkan perhatiannya kepada tata gerak lawannya. Meskipun di dalam hatinya ia mengakui bahwa Puguhan telah berhasil meningkatkan ilmunya, tetapi Haryo Panumping masih belum merasa bahwa lawannya itu melebihinya. Menurut penilaiannya, perkelahian itu masih belum dapat menemukan kemungkinan, siapakah yang akan dapat turun dari bukit Pucang Kembar ini.

“He” Puguhan berteriak “apakah kau menjadi ketakutan mendengar suaraku?!”

Haryo Panumping menggeram. Namun ia masih belum menjawab. Bukan menjadi kebiasaannya, berkelahi sambil berbicara tanpa ujung dan pangkal sekedar berusaha mempengaruhi perasaan lawannya. Puguhan yang berusaha untuk membangkitkan kemarahan Haryo Panumping menjadi kecewa. Haryo Panumping seakan-akan sama sekali tidak mendengar kata-katanya. Meskipun kata-kata hinaan itu beberapa tali diulanginya, namun Haryo Panumping masih tetap membisu.

Akhirnya Puguhanpun terdiam pula. Ia tidak bernafsu lagi untuk mencoba memancing kemarahan lawannya. Tetapi perhatiannya kini dimantapkannya kepada senjatanya yang mengerikan itu. Benturan-benturan yang dahsyat telah terjadi antara dua kekuatan yang sukar dicari bandingnya. Bunga api memercik di udara di sela-sela suara dencing senjata beradu. Semakin lama menjadi semakin sengit. Ujung-ujung senjata kedua orang yang sedang bertempur itu menjadi semakin cepat menari-nari.

Meskipun demikian mereka masih mendengar suara anjing liar menggonggong di kejauhan. Telinga mereka yang telah biasa mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu sama sekali tidak lagi dapat dipengaruhinya. Tetapi, meskipun pertempuran itu tidak terhenti, namun kedua orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu menjadi semakin ribut. Bahkan kemudian suara itu seolah-olah melonjak-lonjak.

Kedua orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian untuk seterusnya, karena mereka masih terikat di dalam perkelahian. Tetapi dalam sekilas itu, mereka mengerti bahwa anjing-anjing liar itu telah memperebutkan mangsa. Mungkin seekor kambing, mungkin seekor kijang yang sering berkeliaran di gerumbulgerumbul liar, di pinggir hutan, atau apa pun yang lain.

Tetapi anjing-anjing hutan itu sama sekali bukan persoalan mereka. Yang kini mereka hadapi adalah ujung-ujung senjata yang setiap kali siap merobek kulit daging mereka. Dengan demikian, maka salak anjing yang sahut menyahut itu sama sekali sudah tidak berpengaruh lagi atas kedua orang yang sedang berkelahi itu. Mereka bahkan memeras segenap kemampuan mereka untuk segera memenangkannya.


TERNYATA TANGAN Haryo Panumping benar-benar mampu menguasai senjatanya, sehingga seolah-olah keris Blarak Sineret di tangannya itu melonjak-lonjak sendiri tanpa digerakkan. Bahkan seolah-olah tangan Haryo Panumping hanya sekedar mengikuti gerak dari senjatanya yang dahsyat itu Puguhan mengumpat di dalam hatinya. Peluhnya telah semakin banyak mengalir di pelipis dan punggungnya. Bahkan seluruh tubuhnya telah basah pula karenanya. Namun, terasa bahwa perkelahian itu masih jauh dari selesai. Mereka sama sekali masih belum dapat meyakini apa yang kira-kira akan terjadi atas diri mereka masing-masing.

Dengan sepenuh kemampuan yang ada mereka bertempur semakin sengit. Sekali-sekali mereka terdorong surut, sesekali salah seorang dari mereka berhasil mendesak lawannya, tetapi sekejap kemudian keadaan segera berubah. Rerumputan liar di bawah Pucang Kembar itu telah menjadi bosah-baseh. Bahkan gerumbul-gerumbul yang terdekat di sekitarnyapun telah menjadi rata terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka yang sedang bertempur itu.

Ketika di kejauhan terdengar bunyi burung hantu menyusur kesuraman cahaya bulan, terdengar Puguhan berdesis pendek. Dengan serta-merta ia meloncat surut. Terasa dadanya menjadi pedih. Meskipun hanya segores kecil, namun setitik darah telah meleleh dari lukanya. Terdengar Puguhan menggeram. Giginya gemeretak dan matanya menjadi kian membara. Luka itu benar-benar telah membakar seluruh urat nadinya. Sejenak kemudian terdengar Puguhan berteriak nyaring.

Dengan dahsyatnya ia menyerang lawannya seperti badai yang menghantam tebing. Bergulung-gulung susul menyusul. Keris berpamor hijau yang mengerikan itu berputar seperti pusaran yang berusaha melibat lawannya. Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin seru. Meskipun kulit Puguhan telah tergores oleh ujung senjata, namun keseimbangan perkelahian itu sama sekali tidak terpengaruh olehnya, bahkan Puguhan yang sudah terluka itu menjadi semakin garang.

Setapak demi setapak perkelahian itu memanjat ke puncaknya. Beberapa goresan senjata berikutnya telah mewarnai tubuh masing-masing. Ternyata ilmu Lembu Sekilan yang dilepaskan oleh Haryo Panumping untuk melindungi tubuhnya mampu ditembus oleh ujung keris Puguhan. Namun betapapun juga pada saatnya pasti akan sampai pada suatu penyelesaian.

Pertempuran itu pada suatu saat pasti akan berhenti, apapun yang akan terjadi. Namun pada saat-saat itu, tidak seorangpun yang dapat meramalkan, bagaimanakah akhir dari perkelahian yang dahsyat itu. Perkelahian yang dialasi dengan kemarahan, dendam, kebencian dan segala macam perasaan bercampur baur.

Pada saat berikutnya, maka mereka bertempur seperti pergulatan sepajang angin pusaran. Kemudian saling berbenturan seperti prahara menghantam batu karang. Keduanya adalah orang-orang’ yang hampir mumpuni dalam olah kanuragan. Keduanya adalah orang-orang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan.

Senjata Haryo Puguhan mematuk-matuk seperti ribuan mulut ular yang berkerumun dari segala arah. Ujung tajamnya seakan – akan berubah menjadi beribu-ribu mata keris yang bergerak bersama-sama. Ternyata Haryo Puguhan benar-benar seorang yang pilih tanding. Kakinya melontar-lontarkan tubuhnya, seperti tidak berinjak di atas tanah. Namun ternyata pula bahwa Haryo Panumping mampu mengimbanginya. Kerisnya berputar seperti baling-baling. Kadang-kadang menebas seperiti sehelai pedang, namun kemudian menusuk langsung ke pusat jantung. Tubuhnya seolah-olah menjadi ringan seperti kapas yang berputar-putar ditiup angin pusaran.


DI DALAM PERKELAHIAN itu, kaki-kaki mereka telah menyapu bersih tetanaman liar di sekitar sepasang Pucang Kembar itu. Rerumputan dan batang-batang perdu menjadi rata, seolah-olah habis dibajak. Ujung-ujung senjata mereka telah menebas semua tumbuh-tumbuhan dan batang-batang kayu yang tumbuh di seputar tempat perkelahian.

Burung-burung liar yang bersarang di dekat Pucang Kembar itupun segera berterbangan. Mereka terkejut mendengar derak batang-batang yang patah, serta ranting-ranting yang berguncang seperti dilanda angin ribut. Sedang gelombang kedahsyatan perkelahian itu telah melanda binatang-binatang yang berkeliaran di sekitarnya, sehingga berlari-larian. Rusa, kijang-kijang di dalam gerumbul, dan bahkan macan-macan kumbang. Mereka segera menjauh dan bersembunyi di dalam lubang-lubang yang gelap di balik puntuk-puntuk padas.

Demikianlah, perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Seperti seekor harimau yang lapar, melawan seekor banteng terluka. Tangguh tanggon. Serangan-serangan mereka datang seperti petir di langit, dan benturan-benturan di antara mereka serasa akan meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan. Diatas bukit Pucang Kembar, Haryo Puguhan telah dicengkam oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Ternyata tandang grayang Sumpil dan Jaroto yang bertugas untuk bertarung dahulu dengan Haryo Panumping. Tidak mempengaruhi tenaganya. Haryo Panumping masih juga trengginas dan gesit. Meski beberapa luka telah tertoreh di sekujur tubuhnya.

“Apakah tenaga Panumping ini dirasuki oleh penunggu bukit ini?” geram Ki Tambak
Wedi di dalam hatinya.

Meskipun ia yakin, ia pasti akan memenangkan perkelahian itu, kerena Haryo Panumping telah terluka, namun ia tidak dapat menduga, berapa lama ia memerlukan waktu

“Persetan,” Haryo Puguhan menggeram.

Tandangnya menjadi semakin sengit. Senjata melingkar-lingkar di seputar tubuh lawannya. Dalam kegelapan hati, maka Haryo Puguhan pun semakin memeras tenaganya. Tetapi ia tidak kehilangan akal, sehingga perlawanannya justru menjadi semakin seru dan berbahaya Namun dalam pada itu, nafsunya untuk membunuh Haryo Panumping semakin berkobar di dalam dadanya. Tetapi adalah suatu kenyataan, bahwa ia telah kehilangan kesempatan yang sudah dipersiapkan.

“Satu-satunya cara adalah, membuat Haryo Panumping semakin memeras tenaganya, supaya darahnya menjadi semakin banyak mengalir. Ia tidak akan dapat bertahan sampai bulan bulat itu tenggelam di balik bukit. Sebelum fajar, ia pasti sudah kehabisan tenaga, dan jatuh tersungkur di bawah ujung kakiku”

Tiba –tiba Haryo Panumping melentingkan tubuhnya ke belakang. Karena itu, maka selagi kemampuannya masih terhitung utuh, serta kesempatan masih terbuka baginya, sebelum tubuhnya itu semakin kehabisan darah, maka Haryo Panumping berniat untuk mengakhiri pertempuran.

“Aku harus segera mengakhiri pertempuran ini, atau aku akan kehilangan kesempatan itu,” berkata Haryo Panumping di dalam hatinya.

Karena itu, maka Haryo Panumpingpun segera mempersiapkan dirinya. Ia merasa telah memiliki ilmu puncak yang dapat dibanggakannya, yang diwarisinya dari hasil pengembaraannya.

“Aku tidak peduli jika tubuhnya akan lebur menjadi debu,” berkata Haryo Panumping di dalam hatinya.

Karena itu, maka iapun segera memusatkan kekuatan batin dan meyalurkan tenaga dalam ke dalam kepalan tangan untuk melepaskan Aji Pamungkasnya. Haryo Puguhan sempat melihat ancang-ancang yang dilakukan oleh Haryo Panumping untuk melepaskan Ilmu Puncaknya. Karena itu, maka Haryo Puguhanpun segera mempersiapkan dirinya pula. Ia tidak boleh terlambat sehingga ia sendiri akan dihancurkan. Haryo Puguhan masih belum mengetahui tingkat kemampuan ilmu pamungkas Haryo Panumping. Namun menilik kemampuannya yang tinggi, maka ilmu pamungkasnya tentu sangat berbahaya.

Haryo Panumping yang sudah siap melepaskan ilmu pamungkasnya, sempat melihat Haryo Puguhan juga membuat ancang ancang, memusatkan tenaga dalamnya. Dari tangan kanan Puguhan terlihat asap mengepul. Saat asap itu sirna terlihat. Tangan itu sebatas lutut berubah warna menjadi kehitaman. Ajian Wesi Ireng. Pukulan yang sangat dahsyat dan beracun.

Haryo Panumping sempat bergidik melihat tangan kanan Puguhan. Masih segar dalam ingatannya, bagaimana Ki Wilamerta hamper meregang nyawa saat beradu dengan pukulan itu. Namun Haryo Panumping tidak mau kehilangan waktu lagi. Tiba-tiba saja Haryo Panumpingpun melepaskan ilmu puncaknya. Pada saat yang bersamaan, Haryo Puguhanpun telah melepaskan Aji Wesi Ireng untuk melawan kekuatan ilmu puncak Haryo Panumping itu.

Sejenak kemudian, maka kedua ilmu yang tinggi itupun saling berbenturan. Demikian kerasnya benturan itu, sehingga terjadi pantulan getaran yang cukup kuat. Namun ternyata bahwa tingkat kekuatan kedua ilmu itu tidak sama. Kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Haryo Panumping. Aji Riyung Laut, memiliki kelebihan selapis dibandingkan kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Haryo Puguhan.

Dengan demikian maka pantulan getar kekuatan ilmu yung terpantul oleh benturan itupun tidak berimbang. Haryo Puguhan tergetar beberapa langkah surut. Tubuhnyapun menjadi gemetar, sehingga ia tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga Haryo Panumping itupun telah terguling jatuh terbaring di tanah. Namun dalam pada itu, Haryo Puguhan seakan-akan telah dilemparkan dari arena pertempuran. Tubuhnya terbanting jatuh terlentang.

Terdengar Haryo Puguhan itu berdesah. Dadanya terasa menjadi sakit sekali. Nafasnyapun serasa tersumbat di kerongkongan dan jantungnya seakan-akan telah berhenti. Sementara tidak jauh dari tempat itu. Panumping dengan susah payah mencoba untuk berdiri. Dadanya terasa sesak seperti ditindih batu karang. Perlahan –lahan dengan terhuyung –huyung mendekati tubuh Haryo Puguhan yang masih terlentang tidak mampu untuk berdiri.

“ Kau menang kakang, bunuhlah aku dengan begitu kau akan terbebas dari semua tingkah lakuku yang selama ini tidak pantas “

Haryo Panumping menghela nafas panjang. Disarungkannya keris Blarak Sineret ke warangkanya.

“ Sudah cukup adi, aku tidak akan membunuhmu. Kita masih berasal dari cucuran darah yang sama. Meskipun beda ibu. Tapi ada darah ayahanda di tubuhmu. Mana mungkin aku mengucurkan darah saudara sendiri “

Haryo Puguhan terdiam. Entah apa yang dirasakan oleh pemuda itu.

“ Sekarang mari ikut aku turun adi”

Haryo Panumping hendak memegang pergelangan tangan Puguhan dan memapahnya turun dari bukit. Namun, Haryo Puguhan menampik tangan itu.

“ Tidak kakang, biarkan aku sendiri disini. Mungkin ini sebagai salah satu penebusan dosaku pada ayah dan padamu. Kakang turunlah sendiri. Sampaikan salam dan permintaan maafku pada Galuh Warsih. Suatu saat aku akan mengunjungi mu lagi kakang”

Haryo Panumping masih berusaha mencoba membujuk adiknya. Namun, pemuda itu masih bersikeras untuk ditinggalkan sendiri. Akirnya Haryo Panumping mengalah dan menuruti keinginan Puguhan. Perlahan –lahan Haryo Panumping berjalan menuruni bukit Pucang Kembar. Suasana berubah menjadi sunyi senyap. Hanya sesekali terdengar suara lolongan anjing liar di kejauhan.


Kidung Diatas Tanah Jawi

Kidung Diatas Tanah Jawi

Score 8
Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Setelah kerajaan Demak semakin suram dan tinggal menunggu tenggelam dalam timbunan sejarah. Munculah kerajaan baru di atas tanah Jawa, kerajaan itu bernama Pajang rajanya adalah menantu Sultan Trenggono sendiri. Raja Demak yang terakhir. Pada masa mudanya dia terkenal dengan nama Joko Tingkir dan setelah menjadi raja beliau bergelar Sultan Hadiwijoyo. Seluruh pusaka kerajaan Demak akhirnya diboyong ke Pajang. Wahyu keraton sudah berpindah tangan. Sebagai pembuktian dirinya sebagai raja yang besar dan kuat Sultan Hadiwijoyo mengerahkan bala pasukannya dengan kekuatan empat puluh ribu prajurit yang terlatih.Pajang mulai menyerbu kerajaan –kerajaan di Jawa Timur. Sultan Hadiwijoyo sendirilah yang memimpin pasukan. Beliau duduk di atas punggung gajah perang yang diberi nama Kyai Liman sambil tangan kanannya mencengkeram tombak pusaka Kyai Pleret. Beliau didampingi oleh para panglima perang yang tangguh seperti Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, Ki Juru Mertani, Ngabehi Wuragil, Ngabehi Wilomerto, Tumenggung Cokroyudo, Tumenggung Gagak Seta dan para wiratamtama prajurit Pajang yang bilih tanding.Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset