SESAAT KEMUDIAN malam menjadi sunyi kembali. Yang terdengar, kecuali tarikan nafas Sukmo Aji, adalah suara-suara binatang malam dan belalang bersahutan. Demang Pucang Kembar tersadar dari lamunannya. Peristiwa yang pernah terjadi puluhan waktu silam kembali tergambar jelas di pelupuk matanya. Di langit, bintang-bintang gemerlapan, seperti permata yang ditaburkan di atas selembar permadani biru kelam.
“ Maaf Ki Demang, sudi kiranya Ki Demang mengijinkan saya untuk mengundurkan diri lebih awal untuk beristirahat. Besok pagi saya harus meneruskan perjalanan ke Kedung Tuban. Ada satu amanat juga yang telah saya terima dan harus diselesaikan secepatnya. Jangka waktu yang diberikan oleh pimpinan di Pajang sudah semakin menipis”
“ Baiklah Ngger…silahkan beristirahat. Dan terimakasih banyak atas apa yang angger lakukan untuk kademangan kami. Terlalu banyak jasa dan budi yang angger tanam. Sehingga kami semua belum mampu utuk membalasnya”
Malam semakin merambat menjadi semakin larut. Suara kenthongan yang dipukul dara muluk semakin mendayu –dayu. Kabut tipis mulai turun dari pucuk-pucuk dedaunan dan pebukitan di sekitar Pucang Kembar. Sukmo Aji duduk bersila di sebuah pedataran tidak jauh dari kediaman Demang Pucang Kembar.
Pemuda itu mencoba mengatur peredaran darahnya yang masih terasa kacau. Beberapa lama Sukmo Aji mengakhiri semedinya. Perlahan –lahan ia membuka mata dan menghembuskan nafas perlahan –lahan. Bintang – bintang masih menghampar berkelipan di langit. Bulan pucat sesekali muncul di balik awan kelabu.
Belum lagi Sukmo Aji beranjak dari tempat itu, tiba-tiba terdengarlah suara gemersik ilalang di belakangnya. Cepat-cepat ia memutar tubuhnya dan segera bersiaga. Tetapi ketika ia melihat siapakah yang berdiri di belakangnya, ia menjadi terkejut bukan kepalang. Kalau misalnya Kelabang Ijo yang berada di situ, ia tidak akan seterkejut pada saat itu.
Ternyata yang berdiri di belakangnya, dengan wajah cerah, secerah bintang yang gemerlapan di langit, adalah Miranti. Dalam beberapa saat Sukmo Aji tidak dapat mengucapkan sepatah katapun, sedang Miranti tertunduk malu.
Tetapi kemudian, Sukmo Aji berhasil menguasai perasaannya, dan dengan sedikit tergagap ia bertanya. “Miranti, kedatangan mu sangat mengejutkan aku.”
Miranti masih diam tertunduk. Sampai Sukmo Aji meneruskan, “Apakah ada hal yang penting yang ingin kau katakan, sehingga memerlukan datang kemari?”
Akhirnya Miranti menjadi seperti tersadar dari sebuah mimpi. Memang kedatangannya pun adalah seperti peristiwa dalam mimpi. Karena itulah, ketika ia mendengar pertanyaan Sukmo Aji, ia menjadi agak bingung. Tetapi kemudian dijawabnya juga dengan penuh kejujuran. “Aku tidak tahu, kenapa aku kemari.”
“Tidak tahu?” sahut Sukmo Aji heran
Miranti semakin menenggelamkan kepalanya ke bawah. Lantas dengan lirih gadis anak satu –satunya Demang Pucang Kembar itu berkata, “ Terimakasih kakang telah membantu banyak untuk kademangan kami. Menolongku juga. Dan satu lagi…….”
Gadis itu tidak mampu melanjutkan perkataannya. Sukmo Aji hanya mampu menunggu saja sampai gadis itu melanjutkan kalimat yang sempat terputus.
“ Selamat jalan untuk besok kakang. Kami segenap warga kademangan Pucang Kembar berharap kedatangan kakang di kademangan ini suatu saat nanti”
Kembali Miranti tertunduk diam. Dia sendiri tidak tahu kenapa ia mempunyai perasaan demikian. Perasaan yang aneh dan baru pertama kali dirasakan saat bertemu dengan pemuda yang berdiri tegak dihadapannya itu.
“Nah, sebaiknya Miranti sekarang pulang. Adalah berbahaya sekali bagi mu untuk tetap berada disini.dan lebih penting dari itu apa kata orang jika ada orang melihat kita berbicara di kegelapan seperti ini” Sukmo Ajimenasehati seperti anak kecil yang kemalaman bermain.
Tetapi Miranti tetap tak bergerak. Bahkan tiba-tiba saja perasaannya terbang ke alam angan-angan yang lalu. Tiba-tiba saja ia rindukan kembali masa beberapa saat yang lalu. Saat-saat pertemuan dan perkenalannya dengan Sukmo Aji. Kembali perasaan Miranti melonjak dan tak dapat dikendalikan, sehingga tiba-tiba ia tersedan.
KINI KEMBALI Sukmo Aji melanjutkan perjalanannya menuju Kedung Tuban.Namun, sebelum ke Kedung Tuban pemuda itu ingin menemui orang berjubah putih yang telah menolongnya pada saat pertarungan melawan Kelabang Ijo. Mula-mula ia berjalan menyusur jalan yang lurus dan bersih tanpa semak belukar. Karena itu, ketika jalan ini akan memasuki belukar, ia mengambil jurusan lain. Ia memilih jalan yang membelok ke barat. Maka pada saat matahari sampai di atas kepala sampailah Sukmo Aji ke depan mulut hutan yang lebat.
Sampai daerah ini Sukmo Aji berhenti sejenak. Dipandanginya hutan lebat yang terbentang di hadapannya. Meskipun hutan itu tidak begitu besar, tetapi sangat berbahaya. Di dalamnya bersarang banyak jenis binatang berbisa. Karena itu jarang orang yang lewat. Sebab kecuali binatang-binatang berbisa yang dengan sekali sengat dapat membunuh seseorang, juga di dalam hutan itu banyak bersarang penyamun-penyamun dan perampok-perampok. Namun, dengan melintasi hutan itu sudah barang tentu jalan pintas ke Kedung Tuban dan padukuhan yang dikatakan oleh orang tua berjubah itu akan dilaluinya tanpa memakan waktu yang banyak.
“ Aku akan melintas hutan ini. Akan memperpendek jarak dan waktu. Sementara waktu yang diberikan oleh Ki Juru Martani sudah semakin sempit”
Setelah berkuda beberapa lamanya karena terkadang Sukmo Aji harus menuntun kuda dan membabat tanaman sulur yang berseliweran di sepanjang jalan. Senja mulai hendak tiba. Dari celah-celah kelebatan dedaunan hutan, tampaklah membayang warna kuning lembayung di langit. Sebuah gapura perbatasan sebuah desa ada di depan mata Sukmo Aji. Ia kenal betul dengan desa itu karena sudah puluhan kali dilewati manakala hendak ke Kedung Tuban.
Ketika Sukmo Ajitelah mendekati desa itu, maka kesan pertama-tama didapatnya adalah, daerah ini telah mengalami banyak kemunduran. Dinding-dinding desa sudah tidak serapi beberapa tahun yang lalu. Saluran-saluran air juga telah tidak teratur, bahkan banyak parit yang kering. Maka semakin nyatalah bagi Sukmo Aji bahwa desas desus panas perang yang akan terjadi atas Pajang dan Jipang telah membuat para bebahu, bekel ataupun demang di desa itu sudah tidak menaruh perhatian lagi kepada daerahnya.
Maka, ketika Sukmo Aji melihat seorang petani tua masih mencangkul tanah yang tampaknya keras dan tandus, ia memerlukan mendekatinya. Barangkali darinya dapat didengar ceritera tentang sebab-sebab kemunduran daerah ini. Melihat orang asing mendatanginya, maka petani tua itu pun berhenti mencangkul, serta mengawasi Sukmo Aji dengan saksama. Meskipun pandangan matanya tidak memancarkan kecurigaan, tetapi jelas mengandung pertanyaan-pertanyaan.
Setelah sampai di hadapan orang itu, segera Sukmo Aji membungkuk hormat. Orang itu ternyata juga orang yang ramah dan sopan. Karena itu sambil tertawa ia pun membungkuk hormat. Malahan sebelum Sukmo Aji bertanya, ia sudah mendahuluinya.
“Selamat datang di daerah ini Anakmas, rupa-rupanya Anakmas memerlukan pertolonganku?”
Mendapat sambutan yang demikian ramahnya serta tak diduga-duga, Sukmo Aji terperanjat. Maka cepat-cepat dijawabnya, “Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengganggu pekerjaan aki.”
“Tidak… tidak…” sahut orang itu, ”sama sekali tidak. Apakah yang dapat aku kerjakan untuk Anakmas?”
“Aku ingin mendapat beberapa keterangan mengenai daerah ini,” jawab Sukmo Aji.
Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Cangkulnya lalu diletakkannya.
Katanya kemudian, “Baiklah Anakmas, kalau saja aku mengetahui, pastilah aku akan menjawabnya. Banyakkah keterangan-keterangan yang Anakmas perlukan?”
“Tidak, aki…” jawab Sukmo Aji, ”hanya sekedar sebagai petunjuk jalan ”
“Keterangan mengenai apakah itu?” tanya orang tua itu.
“ Apakah di daerah ini ada sebuah bulak ladang jagung yang lebat dengan sebuah rumah dari kayu yang berada di tengah –tengah ladang itu? “
Lelaki tua itu Nampak mengerutkan keningnya. Setelah beberapa lama kemudian lelaki tua itu berkata, “ Ada apa anakmas mencari rumah hantu itu? “
Sukmo Aji terperanjat, “ Rumah hantu? Maksud aki?”
“ Itu rumah memang berada tidak jauh dari tempat ini. Hanya saja tempat itu sangat wingit. Gawat keliwat –liwat. Jalma moro jalmo mati artinya siapa manusia yang datang maka manusia itu akan mati. Dicekik oleh sing bahurekso tempat itu “
“ Tapi saya ingin kesana aki. Ada sebuah amanat yang harus saya tunaikan “
“ Sebaiknya anakmas jangan kesana. Urungkan anakmas. Jangan membuat celaka diri sendiri. Anakmas masih muda. Masa depan masih panjang. Sekali lagi aki peringatkan batalkan maksud anakmas “
Sukmo Aji tersenyum. Lantas dengan sopan pemuda itu menjawab, “ Maaf aki saya dapat menjaga diri. Minta tolong aki tunjukkan arah mana yang harus saya tempuh untuk menuju ke bulak itu “
Lelaki tua itu menghela nafas panjang.
“ Baiklah kalau itu kemauan anakmas saya sudah memperingatkan”
Lelaki tua itu lantas memberikan petunjuk kepada Sukmo Aji. Jalan yang akan menuju ke bulak ladang jagung yang sangat luas itu. Setelah dirasa jelas Sukmo Aji langsung pamit dan meninggalkan tempat itu.
Sukmo Aji berjalan tanpa lagi banyak bertanya –tanya pada orang –orang yang ditemuinya di sepanjang perjalanan. Meskipun belum banyak mengerti tentang daerah yang dilalui, tetapi ia mempunyai pandangan yang tajam sekali, sehingga tidaklah banyak menemui kesulitan.
Maka setelah mereka berjalan beberapa lama, melewati padang ilalang, serta menyusup gerumbul-gerumbul kecil yang berserakan disana-sini, sampailah di sebuah bukit kapur yang kecil. Dan di bawah bukit kapur itu terbentang sebuah bulak dari ladang jagung yang begitu luas. Dari tempatnya berdiri Sukmo Aji sudah dapat melihat sebuah pondok dari kayu dan beratapkan daun kelapa kering atau blarak. Rumah itu masih terlihat kokoh, menghitam dilihat dari kejauhan.