SUKMO AJI tidak langsung menampakkan diri, tetapi dari jarak beberapa depa ia masih berdiri di semak-semak. Dari situlah ia dengan jelas dapat menyaksikan rumah tua yang katanya angker itu. Sukmo AJi lantas terperanjat tiba –tiba di atas sebuah lempengan batu besar telah duduklah sesosok tubuh yang membelakanginya. Rambutnya yang panjang dan memutih tampak meriap –riap diterpa angin senja yang bertiup dari atas –atas bukit kapur. Baju jubahnya yang putih seperti bersinar di keremangan senja yang mulai turun. Belum lagi Sukmo Aji selesai dengan rasa keterkejutannya.
Berdesirlah hatinya mendengar seruling yang seperti membelai hatinya. Segera ia menghentikan langkahnya dan melemparkan pandang ke arah suara seruling yang berderai sesegar wajah senja. Dilihatnya diatas sebuah batu hitam pipih yang besar, orang berjubah putih itu duduk meniup serulingnya. Karena itu, ia sangat tertarik mendengar lagu yang demikian indahnya. Maka ia mengurungkan niatnya untuk menghampiri orang berjubah putih itu. Malahan ia berdiri bersandar disebuah batang pohon mahoni dan dengan nyamannya mendengarkan lagu yang memancar begitu segar.
Sukmo Aji bahkan tidak sadar sudah berapa lama ia terbuai oleh suara seruling yang ditiup oleh lelaki berjubah putih yang duduk bersila di atas sebuah lempeng batu tidak jauh dari rumah kayu yang kata lelaki tua bahwa itu rumah yang sangat wingit.
Sukmo Aji sedikit terperanjat mana kala ada suara yang memanggilnya.
“ Ngger, kemarilah. Kita bisa berbincang sambil makan jagung rebus yang telah aku persiapkan sedari tadi. Tembang yang kulagukan melalui seruling using ini sudah usai. Apakah kau menyukainya? Dari tempatku duduk aku mendengar suara nafasmu tanpa sangat teratur ngger “
“ Baiklah Kiai “
Maka setelah Sukmo Aji mendapat kepastian pikiran, segera dengan perlahan beranjak dari tempat persembunyiannya. Sampai di depan lelaki berjubah itu. Dengan tak disengaja maka mulailah Sukmo Aji memandangi tubuh lelaki tua yang tengah duduk di hadapannya itu. Ternyata baru saat itulah ia dapat mengenal tubuh itu dengan seksama, sebab sejak kehadirannya, perhatiannya telah terikat oleh suara seruling orang itu.
Lelaki tua itu meskipun tidak tergolong tinggi, namun ia tidaklah pendek. Umurnya telah agak lanjut, dan ini ditandai oleh kerut-kerut mukanya serta rambutnya yang sudah putih. Ketika Sukmo Aji memandang mata orang tua itu. Sukmo Aji menjadi terkejut. Meskipun orang itu matanya yang tampaknya sedemikian bening, seolah-olah air di dalam sumur, yang dalam sekali. Juga nampaklah dasarnya yang berputar-putar semakin lama semakin dalam, seakan-akan sumur itu akan mengisap hanyut. Sukmo Aji menjadi semakin heran, bahkan kemudian menjadi cemas, sebab dirinya menjadi seakan-akan ikut serta berputar semakin cepat.
Sadarlah Sukmo Aji kemudian, bahwa ia sama sekali tidak berhadapan dengan orang tua kebanyakan. Tetapi orang tua itu ternyata mempunyai kekuatan batin yang luar biasa, sehingga dengan kekuatan itu ia dapat mempengaruhi orang lain. Akhirnya Sukmo Aji tidak tahan lagi melihat perputaran yang melilitnya itu, sehingga ia mengalihkan pandangan ke arah rumah kayu yang berdiri kokoh.
Sukmo Aji membungkuk hormat kepada orang itu, sambil berkata, ”Maafkan aku Kiai, aku telah salah duga terhadap Kiai.”
“ Duduklah ngger. Aku tau engkau akan datang menemuiku. Seperti yang aku pesankan dua hari lalu pada saat di Pucang Kembar “
“ Kakang Danapati tentu bangga kepadamu. Salah satu muridnya di padepokan Lintang Kemukus telah menjelma jadi seorang ksatria yang pinunjung. Sakti mandraguna dan memiliki budi yang luhur “
Sukmo Aji tersenyum, lantas senopati dari Pajang itu membetulkan letak duduknya.
“ Maaf kiai, kalau saya boleh tahu siapakah sebenarnya kiai ini? Tempo hari di Pucang Kembar telah menolong saya dari tangan Tunggul Ireng. Saya berhutang budi dan berhutang nyawa pada kiai “
Lelaki tua itu tertawa. Disela tawanya ia berkata, “ Aku bernama Pandan Arum Ngger. Orang –orang memanggilku Ki Ageng Pandan Arum “
“ Kiai mengenal guru saya? “
“ Tidak hanya kenal. Aku dan kakang Danapati sudah seperti saudara sendiri. Aku sering ke lereng Merbabu untuk sekedar mengunjunginya”
“ Bisa dikatakan aku adalah paman guru mu Ngger “
“ Maafkan saya kiai, saya benar –benar tidak mengetahui kalau njenengan adalah paman guru saya. Mohon ampun kiai “
“ Ohhh..saya baru ingat mengenai kiai. Dulu saya sering mendengar nama Ki Ageng dulu saat masih berguru kepada bapa Danapati. Kiai terkenal seorang yang sakti mandraguna. Selain itu Kiai juga memiliki kelebihan membaca pertanda alam dan ilmu perbintangan “
“ Sudahlah Ngger, itu semua hanya kebetulan. Kau akan bisa juga seperti itu kalau angger mau belajar tentang ilmu –ilmu itu”
Sukmo Aji sekali lagi mengangguk hormat kepada orang tua yang duduk bersila di depannya.
“ Sambil kita berbincang, silahkan jagung rebus itu dinikmati. Di dalam kuali itu ada wedang sereh yang masih hangat. Tinggal diambil saja dengan dicampur gula aren yang aku letakkan di atas mangkuk tanah liat itu “
Lalu tanpa sungkan lagi Sukmo Aji segera mengambil setongkol jagung rebus yang masih hangat. Terlihat dari kepulan asap yang masih terlihat dari jagung itu.
“ Sukmo Aji, ada beberapa hal yang ingin aku katakana kepadamu. Karena aku tahu sekarang kau orang pangkat di Pajang. Tangan kanan Mas Karebet yang sekarang telah menjadi Sultan Hadiwijoyo. Tidak lama lagi akan muncul sebuah pertanda alam yang akan muncul setiap seribu tahun sekali. Pertanda alam itu akan di awali dengan munculnya seekor ular yang sangat besar. Ular itu konon katanya memakai simping di kepalanya. Dan tidak seperti ular kebanyakan. Ukurannya yang sangat besar dan memiliki empat kaki dengan kuku –kuku yang tajam menyerupai alap –alap”
“ Binatang besar itu akan muncul dari balik Grojogan Sewu yang berada di timur kotaraja Pajang. Dan yang tidak kalah penting yang akan membuat dunia persilatan di tanah Jawa ini geger adalah ular itu memiliki batu mirah delima di dalam mulutnya. Barang siapa yang memiliki batu ini maka ia akan hidup abadi dan kesaktiannya akan meningkat pesat “
“ Kau tentu tahu, orang –orang dari dunia persilatan baik golongan hitam atau putih tentu ingin memiliki batu mirah delima itu. Aku menaruh kecurigaan kemunculan Tunggul Ireng dari puncak Lawu ada hubungannya dengan peristiwa alam ini. Karena sudah lama orang itu menyepi di puncak Lawu “
“ Aku juga merasa suasana panas dan suram tengah memayungi Pajang dan Jipang Panolan. Sebenarnya Haryo Penangsang bisa dibujuk untuk tidak merebut tahta dari Mas Karebet. Karena wahyu keprabon masih sangat kuat ada di Pajang. Hanya saja orang –orang disekitar Haryo Jipang itu yang selalu mempengaruhinya untuk merebut tahta. Apalagi mendiang ayahnya Pangeran Sekar Sedo Lepen terbunuh oleh orang Demak. Hal itu lah yang semakin membuat darahnya mendidih “
“ Perang saudara tidak akan bisa dihindarkan. Itu sudah seperti ketetapan yang tertulis di langit”
Sukmo Aji menghela nafas panjang. Pemuda itu sudah menyangka bahwa perang saudara antara Pajang dan Jipang akan segera meletus. Ibarat bisul yang sudah sangat matang dan tinggal menunggu waktu untuk pecah.
“ Setelah peristiwa itu akan ada lagi peristiwa yang akan membuat rajapati lagi. Di selatan Alas Mentaok di sebuah daerah pinggir laut di sebuah bukit. Akan jatuh sebuah benda dari langit. Benda itu akan menimbulkan kekacauan dan bencana. Aku harap angger bisa mengatasi kejadian itu sebelum memakan korban. Tepatnya kapan benda itu akan jatuh setelah sebulan perang Pajang dan Jipang terjadi “
“ Lantas apa yang harus saya lakukan Ki Ageng? “
“ Persoalan di Grojogan Sewu itu biarlah orang –orang dunia persilatan yang akan mengatasinya. Aku sendiri yang akan datang ke tempat itu. Kalau sampai batu Mirah Delima itu jatuh ke tangan pendekar berwatak jahat. Dunia persilatan akan timbul kekacauan”
“ Aku hanya minta tolong untuk berjaga –jaga setelah perang benar – benar terjadi. Tolong sampaikan kepada Sultan Hadiwijoyo untuk mengirim orang –orang ke selatan Alas Mentaok. Peristiwa alam itu akan sangat nggegirisi. Aku melihat di mimpiku warna merah darah seperti mengguyur beberapa wilayah di sekitar bukit kematian itu “
Sukmo Aji mengangguk –anggukan kepala. Awalnya pemuda itu sedikit tidak percaya. Namun, manakala ia teringat sorot mata Ki Ageng Pandan Arum yang seperti menelannya kedalam lubang yang dalam. Pemuda itu mempercayai semua yang dikatakan oleh lelaki tua paman gurunya itu.
“ Kalau begitu malam ini juga sya akan melanjutkan perjalanan ke Kedungtuban kiai. Saya harus bergegas pulang ke Pajang untuk menyampaikan kabar yang kurang mengenakkan ini“
“ Urungkan niatmu ke Kedungtuban. Tidak ada sanak kadangmu disana “
“ Maksud Kiai? “
“ Sanak kadang mu telah tiada “
LANTAS LELAKI tua yang bernama Pandan Arum itu menceritakan peristiwa yang terjadi di Kedungtuban beberapa waktu yang lalu. Perihal kematian pamannya lantas nyawa Arya Gading yang nyaris terbunuh oleh dua orang pendekar bayaran demang Wiryaboga. Sesaat kemudian lenyaplah bayangan itu bersama dengan lenyapnya butiran-butiran yang pernah berkilau di hatinya. Sekali lagi Sukmo Aji lemas seperti kehilangan segala tulang-belulangnya. Sebagaimana manusia biasa, ia merasa betapa sedihnya peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba itu.
Terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah terjadi, sejak pertama kalinya ia menitipkan Arya Gading kepada paman dan bibinya di Kedungtuban. Terbayang pula bagaimana pada saat itu setiap sasi Sukmo Aji selalu menengok adiknya. Hingga pada akhitnya Sukmo Aji harus menunaikan tugas sebagai seorang prajurit. Pada saat Sultan Hadiwijoyo memutuskan untuk melebarkan kekuasaan Pajang hingga ke Bang Wetan.
Hal itu yang membuatnya tidak dapat mengunjungi Kedungtuban dalan jangka waktu yang lama. Sukmo Aji terduduk di rerumputan liar sambil menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Ingin ia segera melenyapkan segala kenang-kenangan itu. Tetapi semakin keras ia berusaha, semakin jelas gambaran-gambaran itu menerawang di hatinya. Ki Ageng Pandan Arum juga masih saja berada di depan Sukmo Aji, dapat merasakan kesedihan Sukmo Aji sepenuhnya.
Pada saat itulah tubuh Sukmo Aji semakin gemetar, serta peluh dingin mengalir membasahi seluruh badannya. Pada saat itu, Sukmo Aji yang tidak puas dengan pelepasan amarahnya, mendadak meloncat dari tempat duduknya.
“Setan, rupanya aku harus membunuh demang keparat itu !“
Wajah Sukmo Aji yang lunak, kini telah berubah menjadi merah membara dibakar oleh kemarahannya. Kedua tangannya yang terkepal telah terisi ajian Lebur Seketi.
Kini nafas Sukmo Aji benar-benar menjadi sesak. Amarahnya telah memuncak.
“ Sabar Ngger, kakang Danapati tidak mengajarimu membalas dendam dengan serampangan. Ingat kau seorang pemimpin, seorang tumenggung anom dan senopati Pajang. Apa pantas mengumbar nafsu amarah seperti itu ?“
Ternyata kata-kata yang diucapkan oleh Ki Ageng Pandan Alas dapat menyentuh kesadaran Sukmo Aji. Apalagi ketika Sukmo Aji sejenak memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas. Mata itu begitu teduh dan sejuk. Demikianlah, maka sedikit demi sedikit Sukmo Aji dijalari kembali oleh sifat-sifatnya, serta sedikit demi sedikit pikirannya dapat bekerja kembali. Sejalan dengan itu pegangan tangannya pun menjadi semakin kendor dan kendor, sehingga akhirnya ditariknya ajian Lebur Seketi.
“Maafkanlah saya Ki Ageng, bagai,mana dengan Arya Gading?” bisik Sukmo Aji.
Sukmo Aji menundukkan kepala. Setelah diam sunyi mencekam beberapa saat Ki Ageng Pandan Arum berkata, “ Adik mu Arya Gading sekarang berada di padepokan ku. Ngangsu kawruh. Ilmu sastra, ilu pengobatan meskipun tidak sehebat ilmu pengobatan dari kakang Danapati. Dan ilmu kanuragan. Sejak peristiwa yang terjadi di Kedungtuban beberapa bulan yang lalu”
“ Arya Gading menjadi sering murung, wajahnya sering kali kosong dan bersedih. Aku paham pasti jiwanya tergoncang hebat. Aku sengaja membawanya ke padepokan agar batinnya menjadi kuat. Anak itu kelak akan menjadi seorang pendekar yang digjaya di tanah Jawa ini kalau aku berhasil mendidiknya”
Hati Sukmo Aji sedikit tenang. Wajahnya yang semula terlihat murung kini berubah sedikit tenang.
“ Bagaimana dengan bibi Ki Ageng ?”
“ Bibi mu juga ada di padepokan ku. Aku berhasil membawanya dari Kedungtuban “
“ Terimakasih Ki Ageng, saya berulang kali telah berhutang budi kepada Ki Ageng. Saya sangat ingin bertemu dengan Arya Gading. Sudah lama saya tidak bertemu dengan anak itu. Saya sangat merasa berdosa dan bersalah. Karena kesibukan saya di Pajang. Anak itu sedikit terabaikan “
Ki Ageng Pandan Arum tersenyum, “ Jangan kau risaukan, belum waktunya kau temui adik mu itu ngger. Biarlah Arya Gading mapan dan matang ilmunya. Dia seorang anak yang rajin dan mudah bergaul. Jika nanti sudah waktunya aku sendiri yang akan mengantarkan ke Pajang untuk menemuimu “
Sukmo Aji mendengarkan semua nasihat itu dengan saksama. Memang pekerjaan yang akan dilakukan bukanlah pekerjaan yang gampang. Dengan petunjuk-petunjuk yang diterima dari Ki Ageng Pandan Arum, semakin teranglah jalan yang akan ditempuhnya.
”Nah Sukmo Aji,” kata Ki Ageng Pandan Arum akhirnya, ”memang sebaiknya kau tidak banyak membuang waktu. Kau dapat segera berangkat sekarang juga. Kalau tidak ada halangan, besok malam kau sudah akan sampai ke Pajang. Ingatlah, hindari jalan –jalan yang sering dilalui orang. Ambillah jalan sebelah selatan, ambillah waktu ketika matahari telah terbenam.”
Sekali lagi Sukmo Aji mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Dan sesudah itu ia mohon diri untuk segera pulang ke Pajang. Ia sudah memutuskan untuk mengikuti segala petunjuk yang diberikan oleh Ki Ageng Pandan Arum. Namun, sebelum pergi Sukmo Aji sempat menyakan perihal rumah yang kata orang –orang pedesaan sangat angker dan wingit. Mendengar hal itu Ki Ageng Pandan Arum tertawa terbahak –bahak.
“ Itu tidak benar Ngger. Aku sengaja menghembuskan berita –berita itu agar tidak ada orang yang berani mendekati rumah itu. Karena terkadang kalau aku lelah dari pengembaraan rumah kayu itu sebagai tempat istirahat ku “
Ketika itu, ketika ia telah agak jauh meninggalkan tengah bulak itu, bulan telah condong ke timur. Angin yang bertiup agak kencang dari hutan terasa betapa silirnya. Meskipun demikian dingin embun yang dipantulkan oleh debu-debu di jalan terasa seperti menyengat-nyengat kaki. Karena itu Sukmo Aji semakin mempercepat langkah kudanya. Sekali-kali ia menggebrak kudanya dengan kencang sehingga kuda itu seperti lari terbang di atas rumput yang tumbuh di tepi-tepi jalan. Sebentar kemudian Sukmo Aji telah meninggalkan daerah-daerah persawahan itu. Ia mulai memasuki daerah-daerah padang ilalang dan hutan-hutan kecil untuk segera sampai ke induk hutan yang berada di sekitar pinggiran kademangan Pucang Kembar.