Hujan kemudian turun deras sekali. Gading masih tertegak tak mampu melangkah. Dia tak tahu hendak pergi ke mana. Kalau pulang dalam keadaan babak belur seperti itu pasti akan ditanyai pamannya dan lebih parah lagi dia akan kena hajaran pula. Tapi kalau tidak pulang lantas dia mau pergi kemana? Menyusul Sukmo Aji di Pajang? Tentu itu sangat jauh dan dia juga belum tahu jalan mana yang mengarah ke Pajang.
Apapun yang akan terjadi Gading akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah pamannya dimana dia tinggal dititipkan oleh Sukmo Aji semenjak umur lima tahun sejak ibu dan ayahnya meninggal. Tiap bulan Sukmo AJi selalu menyempatkan diri untuk menjenguknya, memberi sekedar biaya hidup untuk adik satu –satunya itu.
“Ah, kenapa buruk nasibku…?” membatin pilu Gading. “Mengapa aku harus mengalami kepedihan seperti ini. Hampir beberapa tahun belakangan perangai paman berubah. Dia selalu marah –marah kepadaku, tidak jarang memukul dengan rotan terhadap sesuatu yang dinilainya itu salah. Lebih baik saat kakang Sukmo kesini aku akan ikut ke Pajang ”
Hujan masih mencurah lebat ketika Gading memasuki halaman rumah. Dari halaman dia dapat melihat seorang lelaki duduk di kursi kayu dekat pintu depan sambil minum sebumbung air sere dengan gula aren. Terlihat kepulan asap tipis dari dalam bumbung menandakan minuman itu masih panas. Itulah Ki Dadap sang paman. Gading sudah punya firasat akan mengalami sesuatu. Namun dia melangkah terus. Belum lagi dia sampai di bawah cucuran atap, Ki Dadap menggebrak meja di depannya lalu terdengar suaranya.
“Anak demit! Masih ingat pulang kau rupanya!”
“Paman, maafkan saya. Saya terhalang oleh hujan…” menyahut Gading lalu melangkah masuk ke serambi rumah. Pada saat yang sama sang paman sudah berdiri dari duduknya. Matanya melotot tajam.
“Hemm… kau terhalang hujan katamu?!” Ujar lelaki berusia hampir setengah abad itu. “Tapi mengapa kulihat pakaianmu kotor berlumpur dan ada yang robek. Tubuhmu babak belur dan bibirmu pecah berdarah!”
Gading diam saja sambil tundukkan kepala.
“Kau tidak tuli! Lekas katakan apa yang telah kau lakukan?!” bentak Ki Dadap.
“Saya dikeroyok anak-anak kademangan, paman…” jawab Gading akhirnya memberi tahu.
“Kau dikeroyok! Bagus! Berarti kau kembali berkelahi! Sudah berapa kali kukatakan agar kau jangan berkelahi!”
“Saya terpaksa melakukannya paman. Mereka yang mulai lebih dulu. Saya hanya membela diri. Tapi mereka banyak sekali. Saya dilempar kedalam kedung di tepi kademangan sana…!”
“Hanya itu saja yang terjadi?!” Gading terdiam, sulit untuk menjawab. “Anak demit! Lekas jawab. Hanya itu yang kau alami?!” bentak Ki Dadap.
“Tidak paman… Saya juga mendapat hukuman dari Demang Wiryoboga serta Ki Lampitan…” memberi tahu Gading.
Terkejutlah Ki Dadap mendengar kata-kata Gading itu. “Kau hanya menimbulkan masalah diantara kami orang-orang tua! Ceritakan apa yang terjadi!”
“Waktu itu saya berada di kedung. Lalu datang Sulastri anak perempuan Demang Wiryoboga. Di saat yang sama Ki Demang itu muncul disana. Saya dituduh melanggar paugeran terhadap anaknya. Saya ditampar olehnya. Ki Jagabaya kemudian menendang saya….”
“Akan lebih baik jika mereka membunuhmu saja saat itu!” ujar Ki Dadap.
Saat itu dari dalam rumah muncul seorang perempuan separuh baya. Perempuan itu adalah istri Ki Dadap yang bernama Nyai Rukmi. Gading hanya tundukkan kepala. Dalam hatinya dia juga menginginkan mengapa Demang Wiryoboga dan Lampitan tidak membunuhnya saat itu hingga tamat riwayatnya dan berakhir pula penderitaan hidupnya.
“Lima tahun bersama kami kau hanya mendatangkan kesulitan saja! Memang benar ku akui, kakak mu selalu memberikan kepeng untuk membiayai hidupmu. Tapi itu tidak cukup, aku selalu saja selalu merogoh kepeng dari kampilku sendiri. Sebaiknya kau angkat kaki dari sini Gading…!”
“Kang…” Istri Ki Dadap hendak mengatakan sesuatu tapi segera dibentak dan diperintahkan masuk oleh suaminya. Perempuan adik almarhumah ibu Gading itu yang memang sangat takut pada suaminya segera saja masuk kedalam rumah dengan tergopoh – gopoh dan muka pucat pasi.
“Maafkan saya paman. Saya tidak bermaksud menyulitkan paman…” terdengar kata-kata Gading.
“Tidak bermaksud… Tidak bermaksud! Nyatanya kau selalu memberi kesulitan. Dan kini kesabaranku sudah sampai pada puncaknya anak demit! Kau telah menyulut api masalah dengan Demang Wiryoboga! Hubungan baik denganku pasti akan segera diputuskan. Segala hutangnya pasti akan segera ditagih! Kalau kepalamu ini bisa kupakai untuk menyelesaikan semua urusan itu, sudah kupatahkan batang lehermu saat ini juga!”
“Paman, kalau memang kematian saya bisa menolongmu, saya rela paman bunuh…” berucap Gading dengan bibir gemetaran.
Ki Dadap yang tengah melangkah mondar – mandir menahan kemarahannya kini jadi meledak mendengar kata-kata keponakan istrinya itu.
“Anak keparat! Kumpulkan pakaianmu! Pergi dari sini! Jangan berani kembali!” teriak Ki Dadap.
“Saya… saya harus pergi kemana paman…?”
“Perduli setan kau mau pergi kemana!” sentak Ki Dadap. Dijambaknya rambut Gading lalu anak itu dilemparkannya keluar serambi.
“Paman… saya mohon maafmu. Tapi jangan usir saya dari sini…”
“Anak demit! Benar-benar keparat! Sekali aku bilang pergi kau harus pergi, susul kakak mu ke Pajang!” teriak Ki Dadap.
Kini kakinya yang bergerak. Tendangannya mendarat di pinggul Gading. Anak ini terlempar jauh dan jatuh di halaman yang becek. Bagi Gading sakit yang diderita tubuhnya tidak seberapa dibanding dengan kepiluan hati diperlakukan seperti itu. Lalu rasa takut karena tidak tahu harus pergi kemana. Jalan satu –satunya menyusul Sukmo Aji ke Pajang. Jika orang sudah tidak sudi memeliharanya lagi bagaimana mungkin dia memaksa untuk tetap tinggal di rumah itu.
Tanpa mengambil pakaiannya yang ada di dalam rumah dengan terhuyung-huyung Gading melangkah menuju pagar halaman. Hujan masih turun dengan deras. Gading berjalan kemana saja kakinya melangkah. Pakaiannya basah kuyup, sekujur tubuhnya dingin dan sakit. Di atas langit mengelam tanda sebentar lagi malam akan turun. Di bawah sebatang pohon gayam yang besar Gading akhirnya hentikan langkah dan memandang berkeliling. Saat itulah disadarinya bahwa di depannya ada sebuah jalan kecil becek berlumpur. Lalu diseberang jalan kecil ini terletak pekuburan Lemah Cengkar. Pekuburan dimana makam kedua orang tuanya berada.
Gading berpikir sejenak. Akhirnya anak ini memutuskan, sebelum pergi-pergi ke Pajang, sebaiknya dia menyambangi pusara kedua orang tuanya terlebih dahulu untuk sekedar berpamitan dan meminta doa restu. Maka, Gadingpun melangkah menyeberangi jalan kecil itu. Meski hujan lebat dan cuaca mulai menggelap tidak sulit bagi Gading mencari makam ibu dan bapanya karena dia memang sering datang kesitu, terutama jika hatinya sedang gundah dan sedih menghadapi penderitaan hidup. Tak jarang dia bangun pagi-pagi dan pergi ke makam Itu, bicara seorang diri seolah-olah mengadukan nasib dirinya yang malang pada kedua orang tuanya yang berada di alam lain. Alam keabadian.
Kilat menyambar. Pekuburan itu sekejap menjadi terang benderang. Gading bersimpuh di samping makam ibu dan bapanya yang terletak berdampingan. Kayu nisannya sudah rusak karena lapuk dan tanahnya mulai ditumbuhi rumput liar.
“Ibu…Bapa Aku anakmu datang bersimpuh dihadapanmu. Mungkin ini kali terakhir aku menyambangimu. Aku tidak tahu kapan bisa kembali kemari. Aku harus pergi ibu bapa. Aku akan ke Pajang menyusul kakang Sukmo Aji. Kalau ibu dan bapa masih hidup tentu nasibku tidak seperti ini…”
Gading diam sejenak. Dia menggigit bibirnya keras-keras. Betapapun derita yang dihadapinya saat itu, dia tak mau hanyut oleh perasaan, pantang menitikkan air mata apalagi sampai menangis! Sampai disini anak lelaki itu kembali terhenti menyuarakan suara batinnya. “Ibu bapa… aku harus pergi sekarang. Anakmu mohon doa restumu…”
Gading bangkit berdiri perlahan-lahan. Mendadak dia merasakan ada seseorang tegak dibelakangnya. Sesaat tengkuknya terasa dingin. Dia berpaling.
“Sulastri! Kau kah itu?” seru Gading. Setengah tidak percaya dengan yang ia lihat.
“Bagaimana kau bisa berada disini?!”
“Aku… aku menyelinap dari rumah. Aku sangat mengkhawatirkan dirimu Gading. Bapa dan Ki Lampitan pasti telah menyakitimu…”
Gading menggeleng. “Tidak, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka pergi setelah kau berlalu”, jawab Gading sengaja berdusta.
“Sampai di rumah aku langsung masuk ke dalam bilik lalu diam-diam menyelinap lewat jendela. Aku pergi ke kedung. Tapi kau tak ada lagi disitu, aku mengendap-endap ke rumahmu. Beberapa tetangga dekat mengatakan kau diusir pamanmu. Dia tak tahu kau pergi kemana. Tapi aku seperti bisa menduga kalau kau datang kesini. Bukankah kau pernah bercerita kalau kau sering ke makam Ibu Bapa mu kalau sedang sedih… Tenyata kau memang ada disini.”
“Sulastri kau baik sekali padaku. Aku sangat menghargaimu. Tapi harus pulang Sulastri. Cepat. Nanti kalau Ki Demang atau Lampitan mengetahui kau tak ada di rumah, lalu mereka mencarimu dan menemui kita berdua lagi disini, kau pasti akan kena marah. Pulanglah Sulastri, lekas…”
“Aku hanya ingin tahu, kau mau pergi kemana Gading…?” bertanya anak perempuan itu.
“Aku akan ke Pajang menyusul kakak ku…,” jawab Gading.
“Kau tidak boleh pergi Gading. Kau harus tetap di Kedungtuban ini. Pajang sangat jauh dari sini. Aku takut kau mengalami bencana di tengah jalan…”
“Tapi disini tak ada orang yang menyukaiku Sulastri. Tak ada yang mau menerimaku. Bahkan pamanku mengusirku…”
“Tidak semua orang benci padamu Gading. Mereka adalah orang-orang gila yang hanya mencari alasan supaya harus membencimu. Aku menyukaimu. Aku menyukaimu. Aku temanmu…”
Gading memegang kedua tangan Sulastri erat-erat. “Kau temanku yang baik… sangat baik yang pernah kupunyai. Aku tak akan melupakan semua kebaikanmu, semua ucapanmu. Kalau kelak nanti aku kembali ke Kedungtuban ini, kaulah yang kelak akan kucari…”
Sulastri hanya bisa diam. Anak ini sadar kalau dia tidak mungkin menahan Gading agar tidak pergi. Perlahan-lahan anak lelaki itu lepaskan pegangannya. Di bawah guyuran hujan yang masih tercurah dengan deras tubuh Gading hilang ditelan rerimbunan di gerbang pekuburan.