Demang Wiryoboga duduk dikursi jati berukir sambil mengunyah jenang alot kesukaannya. Di sebelahnya berdiri Lampitan. Setelah menyelesaikan kunyahannya, Demang Wiryoboga berpaling kearah Suto Lumpang yang saat itu tegak di hadapannya dekat tangga.
“Cerita yang kau dengar itu, apakah kau mempercayainya Suto Lumpang?” bertanya Demang Wiryoboga lalu mengambil lagi sepotong jenang alot.
“Saya… Tentu saja saya tidak mempercayainya…” jawab Suto Lumpang.
“Bagus! Kalau begitu mengapa kau repot -repot datang kemari?”
“Ki Demang, apa yang saya percayai tidak sama dengan apa yang dipercayai penduduk. Mereka memaksakan untuk membongkar kuburan di Lemah Cengkar itu…”
“Suto Lumpang! Jabatanmu adalah bekel kademangan ini! Betul begitu…?!” Suara Ki Demang Wiryoboga terdengar mulai meradang.
“Betul Ki Demang,” menyahuti Suto Lumpang.
“Nah, kalau begitu adalah kewajibanmu untuk membuat penduduk untuk tidak berpikir gila mempercayai apa kata keponakan dan istri Ki Dadap itu! Kau bukannya melakukan itu, malah datang kemari tanpa juntrungan! Seharusnya kau mencegah penduduk untuk tidak ke Lemah Cengkar, apalagi kalau sampai membongkar kuburan itu!”
“Saya… Kalau saya tidak segera memberi tahu, jangan-jangan masalahnya bisa…”
“Suto Lumpang! Kau telah menjadi bekel selama hampir tujuh tahun. Katakan siapa yang memungkinkan kau mendapatkan jabatan itu?! Ayo jawab!”
“Semua itu karena kekuasaan Ki Demang…” jawab Suto Lumpang.
“Apakah kau masih ingin memiliki jabatan itu Suto?!” tanya Demang Wiryoboga pula.
“Tentu Ki Demang. Tentu saja saya menginginkannya.”
“Kalau begitu lekas angkat kaki dari sini. Pergi ke Lemah Cengkar dan lakukan apa saja. Yang penting penduduk tidak berpikir bahwa kematian Ki Dadap ada sangkut pautnya dengan diriku! Cegah mereka membongkar kuburan itu! Kau dengar itu Suto…?”
“Saya dengar Ki Demang. Hanya saja… Bagaimana saya melakukannya? Apa yang harus saya katakan pada penduduk…?”
“Bekel tolol!” yang membentak adalah Lampitan.
“Itu urusanmu! Jangan bertanya pada Ki Demang!”
Suto Lumpang tundukkan kepala. Setelah memberi hormat dengan membungkuk beberapa kali bekel ini segera tinggalkan rumah kediaman Ki Demang Wiryoboga dan memacu kudanya menuju pekuburan Lemah Cengkar.
Begitu Suto Lumpang berlalu, Demang Wiryoboga berpaling pada Lampitan. “Ada tugas baru untukmu!”
“Katakan saja Ki Demang. Saya segera akan melakukannya!” jawab sang jagabaya.
“Culik keponakan Ki Dadap itu dan bunuh!”
“Baik Ki Demang!” jawab Lampitan lalu tinggalkan tempat itu.
Ketika Suto Lumpang sampai di pekuburan Lemah Cengkar ternyata kuburan telah digali dan mayat Ki Dadap kelihatan terhampar menggeletak di dalam lubang kuburan. Walau sebagian wajahnya kotor oleh tanah merah yang basah dan ada gelimangan darah namun semua orang yang menyaksikan sangat mengenal dan memastikan bahwa yang ada dalam kubur itu memang adalah mayat Ki Dadap.
Di pinggir lubang kubur yang menganga Nyai Rukmi merasakan tanah yang dipijaknya seperti amblas. Dia menjerit lalu menangis. Sambil memeluk Arya Gading yang ketakutan perempuan ini melangkah sempoyongan, dipapah oleh dua orang. Saat itulah Suto Lumpang turun dari kudanya dan berhadapan dengan Nyai Rukmi.
“Ki bekel…,” ucap Nyai Rukmi dengan suara bergetar. “Semua orang sudah menyaksikan kebenaran ucapan keponakanku. Semua mata melihat bahwa mayat yang ada dalam lobang itu adalah mayat suamiku! Ada darah di sekujur tubuhnya. Dadanya luka menganga! Pertanda bahwa dia memang ditikam menggunakan keris!”
Suto Lumpang tak tahu apa yang musti dilakukannya. Akhirnya sambil memandang berkeliling dia berteriak menyuruh orang banyak kembali ke Kedungtuban.
“Walau mayat dalam lobang dikenali sebagai suami mu Nyai, namun urusan ini belum tuntas. Masih perlu dicari dan dibuktikan siapa pembunuh Ki Dadap! Kalian semua kembali ke kademangan!”
Suara orang banyak yang bergumam bahkan setengahnya ada yang memaki pertanda bahwa mereka tidak suka mendengar ucapan dan melihat sikap bekel itu.
“Keterangan Gading jelas benar! Mayat dalam lubang jelas mayat Ki Dadap! Bukti apa lagi yang diperlukan?!” berkata seseorang.
“Yang harus dilakukan ialah melaporkan kejadian ini pada Adipati Jipang!” seorang lain berkata dengan suara keras.
Suto Lumpang melotot dan membentak. “Soal lapor melapor adalah tanggung jawabku! Jangan ada diantara kalian yang berani mendahuluiku! Semua kembali ke kademangan! Tiga orang tetap disini untuk menimbun kubur itu kembali!”
Baru saja bekel itu berucap begitu tiba-tiba ada dua ekor kuda dipacu memasuki pekuburan. Penunggangnya sengaja memacu ke arah orang banyak hingga mereka berpencaran takut tertabrak. Dua penunggang kuda ini mengenakan pakaian serba gelap. Wajah dan kepala masing-masing ditutup dengan kain gelap pula.
Selagi semua orang, termasuk Ki bekel tidak tahu apa yang hendak dilakukan dua penunggang kuda itu, tiba-tiba salah seorang dari mereka menerjang ke kiri dimana istri Ki Dadap dan anak lelakinya berada. Cepat sekali gerakan penunggang kuda satu ini. Tahu-tahu Gading sudah dirampasnya lalu dibawa pergi.
“Gading! Keponakan ku diculik!” teriak Nyai Rukmi.
Para penduduk kademangan Kedungtuban seperti ternganga. Mereka baru sadar manakala mendengar jeritan Nyai Rukmi. Sontak beberapa orang diantaranya berusaha mengejar. Bahkan Ki bekel setelah terkejut sebentar segera melompat ke punggung kudanya. Namun penunggang kuda kedua cepat melintas. Dia bukan saja menghalangi tetapi pergunakan sebatang canggah untuk menghantam. Dua orang terkapar kena pukulan canggah. Ki bekel dengan nekat coba melompati penunggang kuda itu. Namun sodokan ujung gagang canggah pada perutnya membuat bekel ini jatuh ke tanah. Perutnya serasa diaduk-aduk sementara punggungnya serasa berpatahan tulangnya.
“baik penculik!” teriak Ki bekel. Dari balik bajunya dia mengeluarkan sebuah pisau kecil.
Senjata tajam ini kemudian dilemparkannya ke arah penunggang kuda yang tadi menyodok perutnya dengan garan canggah. Ternyata orang yang diserang dari belakang itu memiliki kepandaian cukup tinggi. Begitu dia mendengar suara berdesing dibelakangnya, tanpa mengurangi kecepatan kuda yang dipacunya dan sama sekali tanpa menoleh dia memiringkan tubuhnya ke kiri. Ujung pisau hanya lewat sejengkal dari tubuhnya. Dua penunggang kuda itu, satu diantaranya mengempit tubuh Gading di tangan kiri sesaat kemudian lenyap di ujung pekuburan. Kini hanya tinggal suara orang banyak berteriak-teriak dan suara jerit raung Nyai Rukmi yang telah kehilangan keponakannya.
Di sebuah lembah sunyi dua orang yang wajah dan kepalanya ditutupi kain gelap itu hentikan kuda masing-masing.
“Kita selesaikan disini saja” penunggang yang mengempit Gading membuka mulut. Gading sendiri saat itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri karena dipukul tengkuknya sewaktu dilarikan di atas kuda dengan kencang.
Penunggang kuda di sebelah belakang memandang seantero lembah. Lalu tangan kirinya membuka kain penutup muka dan kepalanya. Ternyata dia bukan lain adalah Lampitan, jagabaya dan tangan kanan Demang Wiryoboga. Sekali lagi dia memandang berkeliling, mengamati dan memasang telinga. Lalu kepalanya dianggukkan.
Orang di sebelah depan turun dari kudanya, melangkah ke arah sebatang pohon waru. Dia berpaling pada Lampitan dan bertanya, “Aku atau kau yang melakukannya…?”
“Aku ini seorang pajineman yang sudah kawentar hingga pantai utara Jawa. Biasa membunuh orang-orang besar, orang –orang ternama yang memiliki kedudukan penting. Apa layak kau suruh aku mengotori tangan membunuh bocah ingusan itu! Lakukan sendiri olehmu!”
“ Untuk itu kau dibayar!” terdengar Lampitan menjawab. Lalu dia lemparkan canggah di tangan kirinya ke arah orang yang masih mengempit Gading.
“Pukul kepalanya! Selesai urusan kita!”
Orang dibawah pohon menyambut canggah yang dilemparkan. Tubuh Gading kemudian dijatuhkannya di kaki pohon. Jatuh di tanah yang keras membuat Gading siuman dan begitu membuka mata dia terkejut mendapatkan dirinya berada di tempat yang serba asing itu. Di sebelah kiri dilihatnya sosok tubuh Lampitan.
Sedang di hadapannya ada orang yang kepala dan mukanya ditutup dengan kain gelap. Orang ini menimang-nimang sebuah canggah di tangan kanannya. Tangan kirinya menarik lepas lepas kain hitam yang menutupi kepalanya. Kelihatanlah satu wajah yang sangat hitam seolah-olah memakai bedak dari jelaga arang. Keseraman tampang manusia ini bertambah lagi karena memiliki dua pipi cekung dan sepasang mata besar. Tampang seram ini tampak menyeringai memperlihtkan susunan giginya yang besar dan tidak rapi.
Gading menjerit ketakutan melihat tampang mengerikan ini. Lalu tiba-tiba dilihatnya si hitam cekung menghujamkan tongkat di tangan kanannya ke arah kepalanya. Si anak kembali menjerit sambil menutupkan kedua telapak tangannya ke muka. Ujung canggah menderu ke arah kening Gading. Anak itu menjerit sekali lagi.
“Wutttt…!” Trakkk…!”
Sebuah ranting kecil sepanjang satu jari melesat di dekat pohon waru langsung menghantam ujung canggah yang akan menghunjam batok kepala Gading. Ujung canggah patah sedang canggah itu sendiri terlepas dari pegangan orang berwajah hitam dan cekung. Telapak tangannya terasa pedas dan panas. Lampitan terkejut, melompat turun dari kudanya dan memandang berkeliling. Dia sama sekali tidak melihat siapapun.
“Keparat siapa yang ikut campur urusan kami!” teriak si muka cekung marah sekali.
Baru saja dia berteriak begitu tiba-tiba sebuah benda melayang ke arahnya dan plaak, benda ini menghantam mulutnya hingga dia berteriak kesakitan. Ketika memperhatikan ke bawah, ternyata benda yang barusan menghantam mukanya itu adalah sebuah ranting kecil sebesar jari kelingking orang dewasa!
“Jahanam, berani mempermainkan! Berani berlaku kurang ajar terhadapku Kebo Peteng!” si muka cekung kembali berteriak marah.
Tetapi sesaat kemudian mereka dikejutkan lagi oleh suara berdentangnya orang menebang pohon. Ini adalah suatu keanehan baru, sesudah bertubi-tubi terjadi peristiwa-peristiwa yang aneh berturut-turut. Pada saat itu, meskipun matahari belum tenggelam, tetapi sinarnya sudah demikian lemahnya sehingga tidak dapat lagi menembus rimbunnya daun-daun pepohonan besar yang tumbuh memenuhi tiap jengkal lembah itu, sehingga suasana menjadi agak gelap. Pada saat yang demikian, tidaklah biasa seorang blandong menebang pohon.
Apalagi di tengah hutan lembah yang jarang dijamah tangan manusia. Orang-orang yang mencari kayu, baik kayu bakar maupun untuk membuat rumah, tidak akan menebang kayu di tengah rimba yang demikian lebatnya. Tentu banyak bintang buas dan liar yang menghuni di dalamnya. Tetapi ternyata suara itu terus terdengar. Bahkan semakin lama semakin jelas.
Makin nyatalah, bahwa sumber suara itu tidak begitu jauh. Lebih mengherankan lagi, suara berdentangnya pohon yang ditebang itu, bagaikan berputar –putar memenuhi gendang telinga dan menyebabkan desir-desir aneh di dada. Dalam keadaan yang demikian, suasana berubah menjadi sunyi. Suara berdentangnya pohon ditebang itu menjadi bertambah jelas seakan-akan memenuhi seluruh rimba. Gemanya bersahut-sahutan di segala arah sehingga amat sulitlah untuk mengetahui dengan pasti sumber suara itu.
Sebentar kemudian suara itu menjadi agak menjauh dan semakin sayup perlahan-lahan pula. Tetapi sementara itu disusullah dengan mendengungnya suara baru yang juga seharusnya tak mungkin terjadi. Di tengah-tengah rimba yang liar pekat, dan yang diliputi oleh suasana hawa pembunuhan itu, menggemalah sebuah tembang yang disenandungkan dengan suara yang indah. Tembang itu sedemikian mempesona, sehingga Lampitan dan Kebo Peteng tertegun – tegun mendengarnya.
Lampitan diam-diam merasa tidak enak. Tapi sikapnya lebih tenang dari pada Kebo Peteng.
“Kebo Peteng, mendekat kemari..,” ujar Lampitan setengah berbisik. Ketika si muka cekung itu mendekat, Lampitan berbisik, “Ada orang pandai tengah mempermainkan kita. Hati- hati…”
“Jangankan orang pandai, setan atau iblis pandaipun aku tidak takut. Akan kupecahkan kepalanya, kubeset kulitnya dan kupanggang tubuhnya!” jawab Kebo Peteng. Kedua tinjunya dikepalkan kuat-kuat.
“ Mari kita lihat wujud dari orang itu, tapi berhati hatilah Kebo Peteng “
Seperti berjanji, mereka segera meloncat ke utara sembari Lampitan menyambar tubuh Gading lalu meletakkan bocah yang pingsan itu di pundak sebelah kiri. Mereka berdua menduga, bahwa dari arah utara sumber suara tadi datangnya.
Tetapi setelah agak jauh mereka menyusup ke dalam hutan, yang mereka temui hanyalah bekas luka pada pokok sebuah pohon raksasa. Meskipun mereka hanya menemui bekasnya saja, namun telah cukup menggetarkan hati mereka. Sebab menurut pendengaran mereka, waktu suara menebang pohon itu hanyalah sebentar saja, sedang yang mereka lihat bekasnya adalah luar biasa. Sebatang pohon raksasa yang besarnya lebih dari empat pemeluk orang dewasa, ternyata telah luka hampir separonya. Sedang tatal kayu bekas tebangan itu, berbongkah-bongkah berhamburan tidak tentu arah. Sungguh mengagumkan. Apalagi ketika disamping pohon itu, yang mereka ketemukan hanyalah sebuah bambu kuning sepanjang setengah depa yang menancap hingga hampir tembus ke belakang pohon besar itu.
”Luar biasa,” desis Lampitan.
Kebo Peteng mengangguk mengiakan.
”Aku tidak dapat mengira kekuatan apa yang telah membantu orang itu, sehingga ia dapat berbuat sedemikian mengagumkan hanya menggunakan sepotong bambu kuning.”
Lampitan. Tampaknya ia sedang berpikir keras. Akhirnya setelah dipertimbangkan bolak-balik ia mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu serta mengurungkan maksudnya membunuh Gading.
“ Kebo Peteng, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Biarlah bocah ini kita lemparkan di tengah hutan ini. Tentu dia tidak akan bertahap hidup di mangsa macan kumbang atau digigit ular bandotan yang masih begitu banyak di tempat ini “
“Lampitan, bagaimana dengan Demang Wiryoboga? Apakah kau akan bertanggung jawab ?”
“Jangan tolol Kebo Peteng, apakah kau mau mempertaruhkan nyawa dengan bayaran beberapa kepeng emas? Tentu tidak bukan?! Nyawa kita lebih dari beberapa kepeng emas“
Selesai mengucapkan kata-kata itu, segera dengan lincahnya Lampitan meloncat dan lenyap diantara lebatnya hutan. Setelah sebelumnya melemparkan tubuh Gading ke atas semak belukar. Kebo Peteng yang melihat Lampitan melesat pergi tidak membuang waktu lama. Orang berwajah hitan dan bermuka cekung itu pun menyusul kemana arah Lampitan berkelebat lenyap.
Baru saja kedua orang itu pergi tiba-tiba dari atas pohon preh yang berdaun lebat tampak meluncur sesosok tubuh dengan ringannya. Orang yang turun dari pohon ini mengenakan pakaian panjang berwarna putih menyerupai jubah. Kepalanya memakai sebuah caping lebar. Dari bawah caping menjulur rambutnya berwarna kelabu tanda dia adalah seorang lanjut usia.
“Olala… ladalah… Anak sekecil ini hendak dipateni. Apa salahnya!! apa dosanya! terdengar orang bercaping berkata.
“Ngger, mari kugendong. Lalu kau ikut aku…!” Orang itu membungkuk. tangan kanannya diselipkan dibawah pinggang Gading yang masih tergeletak di tanah dalam keadaan pingsan.
“Huuppp!” Orang bercaping berseru.
Tubuh Gading yang tadi terbujur di tanah kini seperti terkait melesat ke atas dan bukk… jatuh tepat di atas bahu kiri orang bercaping!