Kidung diatas Tanah Jawi episode 9

Gatra 9

Sukmo Aji menarik tali kekang kudanya. Setelah beberapa lama berputar – putar berusaha mencari suara perempuan yang minta tolong itu. “ Aneh suara itu seperti lenyap ditelan hutan ini. Aku yakin suara tadi berasal dari sini “

Sukmo Aji menarik nafas. Pemuda itu lalu menerapkan Aji Sapta Pangrungu. Sebuah ilmu yang dapat mendengar suara sekecilpun dalam jarak puluhan tombak. Setelah beberapa saat berusaha menemukan suara yang dimaksud. Hasilnya nihil. Suara yang dicarinya tidak diketemukan.

“ Hmmm..tidak ada suara apa pun juga. Atau aku salah dengar? Atau itu mungkin suara penunggu hutan ini?”

“ Tapi tidak mungkin. Gerobak sapi tadi sepertinya habis dirampok. Lelaki tua tadi terbunuh. Sebaiknya aku cari orang dekat dari tempat ini. Agar dapat menyelenggarkan penguburan. Kasihan kalau sampai jasadnya di gondol macan “

Akhirnya Sukmo Aji meneruskan perjalanannya. Selang beberapa saat berguncang –guncang di atas punggung kuda. Sukmo Aji menghentikan laju tunggangannya. Berhenti di depan regol sebuah pasar. Tumenggung Anom Pajang ini memandang berkeliling dengan heran. Betulkan ikat kepala nya lalu mendesah perlahan.

“Aneh… Setahuku setiap hari pasar ini selalu ramai oleh penjual dan pembeli. Apalagi hari ini kliwon. Tapi mengapa hari ini sangat sepi sekali. Tidak ada satupun orang yang terlihat di sini. Apa mungkin karena akan hujan sehingga harus tutup lebih awal ?”

Dan lamunan Sukmo Aji buyar manakala terdengar teriakan dari ujung jalan.

“Awas! Minggir! Tolong! Minggir!” teriak orang yang mengemudikan gerobak itu. Sukmo Aji lantas cepat menepikan kudanya. Gerobak lewat disampingnya dengan cepat. Sekilas Sukmo Aji dapat melihat wajah pucat ketakutan dari si sais pedati itu.

Sukmo Aji berkerut keningnya. Nalurinya mengatakan bahwa ada yang tidak beres telah terjadi di tempat itu.

“ Apa yang sebenarnya terjadi di tempat ini? Baiklah aku akan berusaha untuk mencari tahu “

WALAUPUN GEROBAK SAPI itu tidak kelihatan lagi namun dari jejak roda yang membekas jelas di tanah jalanan Sukmo Aji dapat mengetahui ke arah mana perginya gerobak itu. Dengan mengandalkan matanya yang tajam dalam menyusuri jejak . Ia membedal kudanya ke arah timur. Dia sengaja mengambil jalan memotong. Di satu bukit kecil dia dapat melihai gerobak sapi itu meluncur di bulak panjang diantara kaki-kaki bebukitan.

Di hadapan sebuah rumah joglo yang mulai dari tiang, lantai dan dinding sampai ke atapnya terbuat dari bambu, orang yang memacu sapi hentikan gerobaknya. Lalu dengan bergegas melompat dan berlari ke arah pintu. Setelah beberapa saat memanggil – manggil maka pintu terbuka. Dan sais gerobak langsung menyelinap tergesa –gesa tanpa banyak bicara lagi.

Sukmo Aji memperlambat lari kuda tunggangannya manakala memasuki sebuah desa. Sesaat matanya melihat tulisan menggunakan aksara jawa terpancang di depan regol. Pucang Kembar. Kuda itu pun hanya sekedar berjalan saja. Menyusuri jalan desa yang sangat lengang. Rumah-rumah di kiri kanan jalan desa itu semua tertutup rapat. Beberapa saat ia berjalan tidak satupun berjumpa dengan seseorang yang dapat ditanyainya atau seseorang yang menyapanya.

“ Aneh…desa ini benar- benar sepi mencekam. Aku semakin yakin bahwa ada hal yang gawat yang sedang melanda desa ini. Apakah ada hubungannya dengan gerobak yang dirampok di tepi hutan tadi?“

Sukmo Aji mengarahkan kudanya untuk lebih masuk ke dalam padukuhan karena jejak –jejak roda pedati yang ia ikuti arahnya ke tengah desa. Tidak lama kemudian Sukmo Aji melihat sebuah bangunan joglo yang lumayan besar. Joglo itu hanya di pagari menggunakan batu yang disusun begitu rupa. Tingginya tidak lebih dari dada orang dewasa. Di halaman joglo itu terlihat gerobak yang dilihatnya di pasar tadi.

“ Ternyata benar. Orang tadi berhenti di rumah besar itu “

Sukmo Aji turun dari punggung kuda. Lantas menuntun kuda berwarna coklat itu memasuki halaman.

Tiba-tiba terasa sesuatu yang tidak wajar. Dari balik-balik pagar batu di sekitarnya, telinga Sukmo Aji yang terlatih mendengarnya tarikan nafas yang tertahan-tahan. Tidak hanya dari satu-dua orang, tetapi rasa-rasanya banyak orang yang bersembunyi di balik pagar-pagar itu. Sukmo Aji tidak mengerti maksud mereka mengintip dari balik-balik pagar. Karena itu ia pura-pura tidak mengetahui akan hal itu. Tetapi ketika ia akan melangkahkan kakinya menginjak ambang regol banjar desa, berloncatanlah beberapa orang laki-laki dari balik pagar-pagar batu di sekitarnya.

Semuanya membawa senjata. Golok-golok besar, tombak panjang dan pendek, pedang, keris dan bindi. Sukmo Aji sebentar terkejut juga, tetapi dengan cepat nalarnya bekerja. Ia segera yakin akan dugaannya. Bahwa sedang terjadi sesuatu di daerah ini. Ia juga menduga bahwa orang-orang itu tak bermaksud jahat. Mereka hanya berjaga-jaga dan waspada. Sebagai orang asing di daerah berbahaya sudah sepantasnyalah bahwa ia dicurigai. Itulah sebabnya ia mengambil keputusan untuk tidak berbuat apa-apa, dan hanya akan menurut semua perintah yang akan diterima.

Orang yang menjadi pemimpin rombongan itu berperawakan sedang. Badannya tak begitu besar, tetapi otot-ototnya yang kuat menghias seluruh tubuhnya. Diantara jari-jari tangan kanannya terselip sebuah pedang pendek. Di sampingnya berdiri seorang yang berperawakan tinggi besar, berkumis lebat.

Pandangannya tajam berkilat-kilat. Ia tak bersenjata tajam apapun kecuali sebuah cambuk besar yang ujungnya lebih dari sedepa panjangnya, dan pada juntai cambuk itu terlihat karah –karah besi yang mencuat. Rupa-rupanya ia merupakan salah seorang tokoh terbesar dari para pengawal desa itu, disamping beberapa pengawal lain yang segera mengepungnya.

“Ikut kami menemui Ki Demang Pucang Kembar!” Tiba-tiba terdengarlah sebuah perintah yang menggelegar keluar dari mulut orang yang tinggi besar itu.

Nalar Skmo Aji yang tajam langsung tanggap. Menghubungkan suasana pasar yang sepi, keadaan gerobak dengan seorang tua yang terbunuh menelungkup di tanah. Semua itu pasti ada hubungannya dengan keadaan di desa Pucang Kembar. Sukmo Aji yang sudah mengambil keputusan untuk tidak berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan keributan, menuruti perintah itu dengan patuh. Tidak lama kemudian dari dalam bangunan joglo itu bermunculan beberapa orang lengkap dengan senjata terhunus. Diantara mereka berdirilah seorang laki-laki yang sudah agak lanjut usianya.

Pemimpin rombongan serta orang yang tinggi besar langsung mendatangi orang tua itu. Sukmo Aji masih saja mengikuti di belakangnya.

“Ki Demang,” lapor pemimpin rombongan itu, “orang ini terpaksa kami curigai. Selanjutnya terserah kebijaksanaan Ki Demang.”

Orang tua yang ternyata demang dari daerah itu, mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa garis umur telah tergores di wajahnya, tetapi ia masih nampak segar dan kuat. Wajahnya terang dan bersih. Giginya masih utuh, putih berkilat diantara bibir-bibirnya yang tersenyum ramah. Namun, Sukmo Aji bisa melihat ada kedukaan di kedua mata demang itu.

“Ia sedang menyelidiki daerah ini, Ki Demang. Mungkin ia salah satu komplotan yang menculik den ayu Miranti.”

Demang itu memandang Sukmo Aji dari ujung kaki sampai ke ujung rambutnya. Umurnya yang telah lanjut, menolongnya untuk mengenal sedikit tentang watak-watak orang yang baru saja dijumpainya. Dan terhadap Sukmo Aji, ia tidak menduga adanya maksud buruk.

“Bolehkah aku bertanya?” kata Demang Pucang Sari itu dengan nada yang berat tetapi sopan dan ramah.

“Siapakah nama angger dan dari manakah asal angger ? Sebab menurut pengamatan kami, angger bukanlah orang dari daerah kami.”

Mula-mula Sukmo Aji ragu. Oleh keragu-raguannya inilah maka sampai beberapa saat Sukmo Aji tidak menjawab, sehingga ketika baru saja ia akan berkata, terdengarlah orang yang tinggi besar itu membentak, “Ayo jawab!”

Sukmo Aji sebenarnya sama sekali tidak senang diperlakukan sedemikian, tetapi ia tidak ingin ribut-ribut. Maka dijawabnya pertanyaan itu dengan sopan pula,
“Ki Demang, kalau Ki Demang ingin mengetahui, aku berasal dari Kedungtuban. Aku adalah seorang abdi dalem di Pajang, secara kebetulan lewat kademangan untuk pulang ke Kedungtuban”.

Beberapa orang tampak terkejut mendengar jawaban ini. Demang tua itu pun sedikit terperanjat. Lamunannya menerawang teringat dengan laporan Pangestu tempo hari. Bahwa, putri satu –satunya sedang terlibat hubungan rahasia dengan seorang senopati dari Pajang. Apakah anak muda ini?

Dengan cepat ki Demang menguasai dirinya. Dan sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi kemudian ia bertanya lagi dengan nada yang masih sesopan tadi.

“Menilik sikap angger, memang tepatlah kalau angger seorang abdi dalem, atau setidak-tidaknya orang-orang kota seperti yang pernah aku kenal. Tetapi kedatangan angger seorang diri kemari, merupakan sebuah pertanyaan bagi kami.”

“Orang ini ingin memperbodoh kita Ki Demang,” kembali terdengar suara gemuruh orang yang tinggi besar itu dengan matanya yang berkilat-kilat. Sekali lagi ia memandang berkeliling, kepada orang-orang yang berdiri memagari.

Sikap orang yang tinggi besar itu semakin tidak menyenangkan hati Sukmo Aji, tetapi ia masih saja menahan dirinya dan menjawab dengan ramah pula.

“Ki Demang, sebenarnya memang aku mempunyai banyak keterangan mengenai diriku, tetapi sebaiknyalah kalau keterangan-keterangan itu aku berikan khusus untuk Ki Demang, tidak di hadapan orang banyak. Sebab ada hal-hal yang tidak perlu diketahui oleh orang banyak.”

Mendengar hal itu orang yang tinggi besar itu, yang sebenarnya bernama Cangkil, dan bertugas sebagai jagabaya di Kademangan itu merasa sangat tersinggung. Ia merasa direndahkan oleh orang asing itu, dengan mengesampingkannya dari pembicaraan. Karena itu ia membentak dengan suaranya yang lantang.

“Apa perlunya Ki Demang meladeni orang semacam kau? Sekarang saja kau bicara.”

Perlakuan orang itu sebenarnya sudah keterlaluan. Tetapi Sukmo Aji masih berusaha untuk menahan diri, dan menjawab dengan baik.

“Apa yang perlu kau ketahui telah aku katakan.”

“Belum cukup,” jawab Cangkil semakin marah.

“Apa yang akan kau katakan kepada ki Demang?”

Sukmo Aji memandang kepada orang tua itu. Wajahnya yang bening menjadi agak suram. Ada sesuatu yang sebenarnya bergolak di dada demang tua itu. Namun, Ki demang menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.

“Lalu bagaimanakah sebaiknya Cangkil?” tanya Demang tua itu.

Sikap Cangkil semakin garang. Ia merasa bahwa demangnya akan menyerahkan segala sesuatu kepadanya.

“ Aku akan menantang orang itu untuk berperang tanding. Jika dia kalah maka, orang itu harus berkata sebenarnya,” katanya.

Sukmo Aji terperanjat mendengar perkataan orang tinggi besar itu.

“ Sebentar kIsanak. Apakah tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah ini tanpa harus memakai jalan kekerasan? “

“ Kau tidak ada pilihan anak muda. Kalau kau menolak tantangan ku. Terpaksa aku memaksamu ! Aku tidak akan turun tangan sendiri biarlah adikku yang akan melawan mu” jawab Cangkil tegas.

Dan jawaban ini memang diharapkan sekali oleh demang tua itu.

“Bagus… terserah kepadamu. Yang lain sebagai saksi atas apa yang terjadi,” katanya.

Keadaan berubah menjadi tegang. Tak seorangpun mengerti maksud dari kepala daerahnya itu. Sebenarnya orang-orang itu sama sekali tak menghendaki kejadian semacam itu, sebab dalam pandangan mereka, Sukmo Aji adalah orang yang sopan dan baik. Sebaliknya Sukmo Aji mengeluh dalam hati. Cepat ia dapat menangkap maksud Demang tua yang bijaksana itu dengan menangkap pandangan matanya.

“Permainan berbahaya. Demang tua itu sama sekali belum mengenal aku, sebaliknya aku pun belum mengenal orang macam apa Cangkil itu,” pikir Sukmo Aji.

Tetapi bagaimana pun, Sukmo Aji terpaksa melayaninya kalau ia tidak mau menjadi bulan-bulanan.


Kidung Diatas Tanah Jawi

Kidung Diatas Tanah Jawi

Score 8
Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Setelah kerajaan Demak semakin suram dan tinggal menunggu tenggelam dalam timbunan sejarah. Munculah kerajaan baru di atas tanah Jawa, kerajaan itu bernama Pajang rajanya adalah menantu Sultan Trenggono sendiri. Raja Demak yang terakhir. Pada masa mudanya dia terkenal dengan nama Joko Tingkir dan setelah menjadi raja beliau bergelar Sultan Hadiwijoyo. Seluruh pusaka kerajaan Demak akhirnya diboyong ke Pajang. Wahyu keraton sudah berpindah tangan. Sebagai pembuktian dirinya sebagai raja yang besar dan kuat Sultan Hadiwijoyo mengerahkan bala pasukannya dengan kekuatan empat puluh ribu prajurit yang terlatih.Pajang mulai menyerbu kerajaan –kerajaan di Jawa Timur. Sultan Hadiwijoyo sendirilah yang memimpin pasukan. Beliau duduk di atas punggung gajah perang yang diberi nama Kyai Liman sambil tangan kanannya mencengkeram tombak pusaka Kyai Pleret. Beliau didampingi oleh para panglima perang yang tangguh seperti Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Penjawi, Ki Juru Mertani, Ngabehi Wuragil, Ngabehi Wilomerto, Tumenggung Cokroyudo, Tumenggung Gagak Seta dan para wiratamtama prajurit Pajang yang bilih tanding.Penasaran dengan kelanjutannya? yuk segera simak cerita dibawah ini...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset