Malam itu, 16 Agusuts 2014, aku menunggu teman-temanku yang akan ikut aku mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 69 di Gunung Sibayak. Aku tunggu mereka di warnet, awalnya beberapa dari mereka sudah membatalkan tidak bisa ikut.
“Ok lah kalau kalian gak bisa, aku nanti sama bang Cinoy aja,” jawabku ke salah seorang temanku di facebook.
Menunggu bang Cinoy yang sedang berjualan dan menutup warungnya jam 12 malam, aku mencoba menghabiskan waktu dengan bermain game di warnet. Tiba-tiba temanku yang tadinya membatalkan niatnya mengirimkan pesan ke aku.
“Mes aku ikut yah.”
“Astaga… tadi kau bilang gak mau? cemananya? yodah datang lah kau aku tunggu di warung bang Cinoy yah, jangan gak jelas lagi!” jawabku dengan logat Medan yang sangat kental, walaupun hanya berupa tulisan.
“Ok, Mes!” balasnya.
Jam 12, aku berangkat menuju warung yang tidak jauh dari warnet tempat aku menghabiskan waktu. Seorang diri menunggu, satu persatu teman bermunculan.
“Sudah hampir semuanya yah, tinggal si Pelisoul yang belum nih,” memberitahu mereka.
“Kita ke rumahku aja dulu yok, sambil minum-minum kopi,” ucap Edo, salah seorang temanku yang ikut.
“Yodah kita tunggu di sana aja, yok semua!” balasku.
Edo langsung menyiapkan beberapa gelas kopi panas untuk kami. Tanpa basa-basi lagi aku pun langsung menyeruput kopi panas itu.
“Ahh… nikmatnya”
Kutelpon lagi si Pelisoul, “oii pel! dah sampai mana kau?”
“Dikit lagi nih Mes, sabar yah. Hehe,” balasnya.
Kunikmati lagi kopi tadi, sambil sesekali tertidur di meja, karena ngantuk.
“Gila!!! udah malam kali ini, mau sampai jam berapa lagi kita sampai ke Gunung Sibayaknya? belum lagi kita mau nyari mas Bian dan kawan-kawan sesame pendaki di sana,” aku sudah hampir hilang kesabaran.
Tak lama Pelisoul pun sampai ke rumah Edo.
“woii, minum dulu kau Pel, itu ada kopi dari si Edo,” teriakku berusaha meredam kesal.
“Oke Mes,” teriaknya dari luar.
Dia pun masuk dan menikmati segelas kopi panas setelah memarkirkan motornya di depan rumah Edo.
Semua kopi sudah habis, kami pun berpamitan dengan kedua orang tua Edo.
“Akhirnya kita berangkat juga, jalannya beriringan yah, jangan saling mendahului,” aku mencoba memberi arahan ke teman-temanku.
“OK!!!,”jawab mereka kompak.
Tanpa buang-buang waktu lagi, kami langsung berangkat, karena sudah terlalu banyak waktu yang terbuang sebelumnya. Yang kutakuti kalau pergi terlalu malam adalah, ngantuk. Betul saja, di tengah perjalanan aku sesekali tertidur sambil mengendarai motorku. Aku mencoba bertahan, dan akhirnya aku menyerah.
“Daripada aku mati konyol, mending aku nyerah,” pikirku.
“tinn… tinn… tinnn…” klaksonku mencoba memberi tanda ke teman-teman untuk berhenti.
“Aku gak sanggup woii, ngantuk kali, motorku kalian yang bawa aja, aku kalian bonceng aja,” sambil menyodorkan kunci motorku.
“Oke, mes, kau sama aku aja,” jawab Pelisoul.
Kami kembali melanjutkan perjalanan. Setelah perjalanan kurang lebih 2 jam, kami pun sampai di kaki Gunung Sibayak.
“Di sini jalannya gak sebagus jalan raya tadi yah, banyak lubang dan juga berlumpur, kalian harus lebih berhati-hati, jangan saling mendahului, gak usah terburu-buru juga,” sedikit memberi pengarahan.
“Siappppp,” sahut mereka kompak.
Sedikit informasi, Gunung Sibayak memiliki beberapa jalur naik, salah satunya jalur wisata/aspal yang biasa para pendaki jadikan jalur turun dari puncak. Di sini kita naik melalui jalur wisata/aspal, dan di pertengahan gunung juga ada beberapa pos yang dibangun oleh warga untuk mengais rezeki berjualan makanan dan minuman serta jasa penitipan motor, mobil, helm, dan lain-lain. Para pendaki juga bisa mendirikan tenda di sini, karena tempatnya yang luas.
Kami sudah setengah perjalanan menuju pos, aku sudah kembali mengendarai motorku sendiri. Di sepanjang perjalanan aku bertemu banyak sekali pendaki, wajar saja hari ini mereka semua mempunyai tujuan yang sama denganku, mengikuti upacara pengibaran bendera merah putih merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 69.
“Yuk, bang/kak, duluan yah bang/kak,” teriakku setiap kali berpapasan atau melewati mereka.
Kebanyakan mereka berjalan kaki walaupun ada beberapa juga yang mengendarai motor bahkan mobil.
Aku meminjamkan motorku ke salah satu temanku karena kulihat motornya tidak lagi sanggup membawa beban 2 orang, dan aku berjalan kaki menuju pos yang sedikit lagi hampir sampai.
Edo dengan nafas yang sudah terengah-engah dan hampir putus memanggilku “pek, aku udah gak sanggup lagi, capek kali, aku tunggu di sini aja yah.”
“Jangan lah do, dikit lagi nih, aku juga harus nyari orang mas bian yang aku pun gak tau mereka mendirikan tenda dimana,” jawabku.
“Aku gak sanggup lagi pek, kau duluan aja gapapa lah,” balas Edo dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
“Yah sudah do, kau tunggu di sini aja, sekalian nunggu kawan-kawan kita, aku duluan yah, aku mau nyari kawanku dulu, mas Bian,” sambil berlalu.
“Oke mes,” jawab edo dengan nafas yang masih belum bisa teratur.
Aku pun menemukan tenda mas Bian dan teman-teman.
“Oiiii… do, pel, semuaa!!! Kami di sini yah, parkir motor kalian di situ!” teriakku ke arah mereka yang baru saja sampai di pos.
Kami pun langsung berbaur dengan kumpulan mas Bian.
“Oiii… drian, ini Mie nya boleh dimakan kan?” teriakku.
“Makan aja,” jawab Andrian temannya mas Bian.
Aku langsung melahapnya tanpa ampun dan kemudian mengeluarkan sleeping bag ku untuk tidur.
“Selamat malam semua! Selamat malam, Vira.”
“Hoahhmmmmm….” aku merenggangkan semua otot tubuhku.
Udara pagi di gunung benar-benar segar.
“Jam berapa upacaranya mas?” tanyaku ke mas Bian.
“Sebentar lagi, yuk kita beres-beres dulu, barang-barang yang gak perlu dibawa ditinggal di dalam tenda aja,” jawab mas Bian.
Hari itu, banyak sekali manusia yang berdatangan ke Gunung Sibayak, mulai dari kelompok mapala, motor, mobil, vespa, fotografer dan masih banyak lagi yang aku tidak tahu. Bukan hanya di jalanan Medan aja yang bisa macet, jalan menuju ke puncak gunung pun ternyata bisa macet dikarenakan ada beberapa orang yang turun dari atas jadi kita harus bergantian karena jalurnya yang sempit hanya 1 jalur.
Satu jam perjalanan, akhirnya kami pun sampai di puncak, tempat pelaksanaan pengibaran bendara dan lomba-lomba tujuh belasan akan dilaksanakan. Aku sudah tidak sabar menunggunya.
Upacara pengibaran bendera pun akan segera dimulai. Panitia meminta kepada semua pendaki untuk berdiri agar upacara dapat dimulai.
Aku sedikit heran, “kenapa masih ada saja pendaki yang tidak mau berdiri di beberapa sudut gunung?”
Upacara pun dimulai tanpa harus menunggu lagi semua pendaki berdiri.
Hari ini, jiwaku benar-benar bergetar dan tubuhku merinding selagi aku menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’. Upacara pengibaran bendera paling berkesan seumur hidupku.
“TEGAK GRAK!” teriak pemimpin upacara tanda bahwasannya lagu Indonesia Raya telah selesai dinyanyikan dan bendera sudah mencapai tempat tertingginya.
Pembina upacara memberikan sedikit pidato kepada para pendaki, yang akhirnya barisan pun dibubarkan oleh pembina upacara setelah pidato selesai. Saat yang ditunggu-tunggu para pendaki pun tiba, yah, perlombaan tujuh belasan.
Lomba makan kerupuk, tarik tambang dan puncaknya lomba panjat pinang.
Aku benar-benar menikmati suasana tujuh belas Agustus di puncak gunung Sibayak, yang sudah beberapa tahun ini hilang tak pernah aku rasakan, tepatnya semenjak aku lulus SMA tahun 2009 silam.
Mataku tak bisa luput dari semua kegiatan lomba itu, sesekali aku tertawa melihat ekspresi mereka yang sedang berlomba, tarik tambang misalnya.
“Wakakakaka, coba kalian lihat itu ekspresinya,” teriakku ke teman-teman yang duduk di dekatku.
Lomba panjat pinang akan segera dimulai, aku mengambil posisi terbaik dan memandang fokus ke pohon pinang itu. Tak henti-hentinya para pendaki tertawa ketika para peserta mulai berusaha memanjat, dan gagal, apalagi ketika salah satu pendaki yang celananya tertarik sehingga hanya kelihatan celana dalamnya.
“Bruakakakaka,” aku tertawa sangat keras.
Waktu pun berjalan begitu cepatnya, kami pun kembali menapaki jalan turun menuju tenda dan kemudian bergegas kembali ke Medan.
Terima kasih para pahlawan! Tanpa kalian, kami tidak akan pernah merasakan udara kemerdekaan ini.