Lost In Love episode 14

Part 14

Senin, 18 Agustus aku pergi ke kantor ko Tommy untuk mengambil hasil sketsanya, dan membayarnya tentunya.

“Sorry yah ko, baru bisa ambil sekarang, semalam aku pergi ke gunung Sibayak,” dan mengeluarkan uang kemudian membayarkannya ke ko Tommy.

“Gpp, Mes” balas ko Tommy.

“Thanks yah ko!” dan pamit kembali ke kantor.

“Ok, hadiahnya sudah ada, tinggal ditambahi sedikit bumbu lagi untuk menjadi kelihatan lebih sempurna, meskipun hanya hadiah murahan,” gumamku.

Aku pun menyusun rencana, merencanakan hadiah yang akan kuberikan di saat ulang tahun dia nanti, 31 Agustus. Walaupun di tanggal 31 Agustus itu bukan hanya dia saja yang berulang tahun, ada ulang tahun regional ku (RPM), dan regional tetangga (Regional Riau Raya), dan juga aku. Tapi semangat memberikan hadiah ini kepadanyalah yang membuatku berjanji takkan mundur.

Setelah sebelumnya aku gagal mengambil fotoku dengan foto ‘fotonya’ di puncak Gunung Sibayak, aku berjanji Sabtu depan aku gak boleh batal lagi, apapun yang terjadi, aku harus berhasil!!

Minggu, 24 Agustus aku sebenarnya ada pekerjaan di kampus, aku diwajibkan ikut mengawasi masa pelatihan simulasi orientasi mahasiswa baru oleh para trainer (mahasiswa senior) dan aku diharuskan ikut mereka naik mobil dari Medan.

Aku berunding dengan puket 1 kampus ku, aku ceritakan alasan-alasanku kenapa aku harus mengendarai motor sendiri, dan dia pun akhirnya mengizinkanku tentunya dengan bertanya “kamu yakin kan mes?”

“Yakin ko” jawabku.

Semuanya sudah kupersiapkan, sektsa wajah dia, spanduk, perlengkapan mendaki, dan tekad yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi. Hari sabtu, 23 Agustus, aku masuk kerja seperti biasa. Aku pulang jam 14:00 WIB dan aku langsung berangkat menuju tempat aku biasa ngegym ‘Queen GyM’.

Satu jam lebih berlalu begitu cepat, setelah selesai ngegym aku pulang untuk tidur dan beristirahat untuk mempersiapkan stamina untuk perjalanan malam ini. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat hari ini. Aku bangun dari tidurku dan kembali mengecek semua perlengkapan yang akan ku bawa malam ini, kemudian jam 9 malam aku kembali lagi ke gym untuk makan malam dan ngobrol bareng teman-teman di sana yang akhirnya mereka pun mengataiku.

“Gila kau mes, pigi sendiri kau?” begitu kata bang Budi kepadaku.

“Iyah, bang, udah bulat tekad ini bang, hari ini kesempatan terakhir, Sabtu depan udah gak bisa lagi,” kataku yakin.

Jam pun menunjukkan pukul 10 lewat yang akhirnya temanku si Pelisoul Hutagalung mengirimkanku pesan untuk datang menjemput headlamp ku yang ketinggalan di tempatnya di Diski. Aku yang tidak begitu menguasaai daerah dan nama jalan di Medan pun mulai gelisah.

“Dimana lah Diski ini,” tanyaku.

Bang Budi pemilik ‘Queen Gym’ memanggilku dan menjelaskannya kepadaku.

Akhirnya aku pun berangkat setelah mendapat penjelasan panjang lebar dari bang Budi. Kami ketemuan di Ind*maret di Jalan Diski.

Motor revo dengan lampu yang pas-pasan, tidak terlalu terang dan tidak terlalu redup, mata yang rabun ketika malam, dan sendirian tentunya, aku siap untuk berangkat. Ku gass revoku dan berangkat menuju Gunung Sibayak, saat itu jam 11 malam.

Jalanan yang sepi membuatku melajukan motorku dengan cepat, penerangan motorku dan mata yang rabun membuatku lebih berhati-hati, pergi sendirian membuat ku kreatif. Sepanjang jalan aku mengendarai motorku di belakang motor orang lain ataupun mobil lain, selain untuk berkamuflase agar tidak kelihatan kalau aku pergi sendirian, dan aku juga memanfaatkan lampu kendaraan mereka yang lebih terang tentunya.

Aku merasa sangat cerdik hari itu.

Akhirnya aku sampai di bawah kaki Gunung Sibayak, yah kolam pemandian air panas Sidebuk-debuk. Tanpa pikir panjang lagi kugas revoku untuk menelusuri jalan setapak menuju ke post pertama G. Sibayak. Kali ini aku gak bisa lagi memanfaatkan lampu kendaraan orang, benar-benar harus berusaha sendiri. Jalanan yang rusak, tanjakan yang lumayan terjal, dan gelap.

“Ahh… kekmana lah kalau tiba-tiba ada rampok keluar dari pinggir hutan ini yah, bakal mati konyol dan gak ada yang tahu apalagi kalau sampe mayat aku nanti dibuang ke jurang,” kataku pelan. “Enggak, enggak boleh, aku harus maju terus, aku gak boleh mundur, ini kesempatan terakhirku!” aku meyakinkan diriku.

Aku pun akhirnya sampai ke post jam 01.30 malam setelah melalui semua kesulitan sepanjang jalan sendirian.

Aku parkirkan revoku, ke tempat abang langgananku parkir, bang Amat.

“Mas Bian gak naek yah, bang?” basa basiku.

“Gak nih,” jawabnya.

“Ok lah bang, aku numpang tidur yah bang, bisa kan bang?” tanyaku lagi.

“Oh, bisa, bisa, kalau mau tidur di kamar ini juga gpp,” jawab bang amat.

“Gpp lah bang, di sini aja aku,” jawabku. Aku pun mulai untuk memejamkan mata dan tidur, yang tak lama kemudian aku terbangun karena terlalu dingin dan sesak kencing. Aku sengaja tidak memakai sleeping bag ku karena aku tidur di tempat bang Amat meletakkan helm-helm titipan pendaki, dan posisi tempat aku tidur sangat sempit, aku takut nanti jadi susah bang amat meletakkan helm-helm.

“Ahh… dinginnya malam ini, Vir” gumamku, tak lama aku pun tertidur.

Jam 5 pagi aku pun terbangun, aku bergegas untuk berangkat memburu sunrise yang akhirnya aku terbengong sejenak karena di luar ternyata gerimis.

“Arghh… kenapa harus gerimis, kekmana aku naiknya kalau di atas nanti hujan deras?” ucapku kecewa.

Aku meyakinkan diriku “aku sudah sejauh ini, aku harus naik, harus!”

Setelah mengumpulkan nyawaku yang bertebaran entah kemana dalam tidur tadi, aku pun mulai melangkahkan kakiku untuk menyusuri jalan setapak menuju puncak dan berburu sunrise. Aku bertemu teman baru dalam perjalananku menuju puncak, sepanjang perjalanan kami pun bercerita untuk mengalihkan rasa lelah.

Bobot tubuhku yang bisa dibilang tidak ringan membuatku mudah lelah. Aku pun sesekali berhenti untuk mengatur nafas. “Sedikit lagi, Mes, sedikit lagi!” terus-terusan mencoba memotivasi diriku. Kulanjutkan lagi perjalananku selangkah demi selangkah melewati jalan yang penuh batu dan lumayan terjal. Capek kali, benar, capek kali aku hari itu, sampai aku melihat cahaya keemasan dari ujung tertimur kita, yah, sebentar lagi mentari akan terbangun dan menyapa kita, aku harus sampai ke puncak sebelum dia menunjukkan keseluruhan wajahnya.

Semangatku mendadak muncul lagi, capek yang tadi kurasakan seakan hilang terbawa dinginnya udara pagi itu.

“Aku berhasil! akhirnya aku sampai juga ke puncak,” teriakku dalam hati.

Tak lama aku merasa senang kekecewaan mulai datang menyapa ketika kabut menutupi sekeliling puncak menghalangi lautan awan dan mentari yang sebentar lagi akan menampakkan wujudnya, kami tak bisa melihat apa-apa dalam jarak pandang yang lumayan pendek sekitar 10-20 meter.

“Tidakkk, ini tidak boleh begini, perjuangan ini, semua perjuangan ini, sia-sia kah?”

“Ahh… aku gak boleh gini, aku harus bersyukur yang penting aku sudah berusaha dan sekarang aku sudah sampai. Aku tunggu aja sampai kabutnya menghilang. Walau gak dapat sunrise pun tak apalah,” mencoba menghibur diri.

Ternyata kabutnya hanya datang untuk menguji kesabaran kami. Hehehe….

Perlahan kabutnya pun menghilang, tanpa buang waktu lagi aku pun mengabadikan momen-momen indah itu.

“Ah… Terlalu indah ciptaan mu ini, Tuhan,” gumamku sambil sesekali mengabadikannya ke dalam handphoneku.

Aku meminta tolong ke teman-teman pendaki yang baru kutemui di sini untuk mengabadikan foto-fotoku yang akan kuberikan sebagai hadiah ulang tahun untuk Vira nanti.

“Dan, di atas lautan awan ini aku persembehkan Kado Spesial ini untuk kalian, teman-temanku

Selamat ulang tahun Vira, RPM dan R3.

Semoga kita bisa berteman selamanya.

Salam Rimba!

dari teman gembelmu, Mesachi,” ucapku dalam hatiku.

Teman-teman pendaki yang lain pun tak mau kalah, mereka ingin ikut mengucapkan selamat ulang tahun ke Vira.

Setelah puas berfoto aku keluarkan roti gandumku dan membaginya kepada teman-teman pendaki, “ayok-ayok silahkan diambil, siapa cepat dia dapat,” aku sedikit berteriak dan tertawa. Dan mereka memberikan secangkir capucino hangat untukku. “Terima kasih,” kukatakan ke mereka. Lapar dan dingin membuat Aku pun cepat-cepat menikmati secangkir capucino hangat dan roti gandum tadi.

Aku kemudian pamitan dengan mereka dan bergegas untuk pulang, kembali ke Gelora Kasih untuk bergabung bersama teman-teman kampus yang sedang bertugas.

Seminggu telah berlalu, sekarang tanggal 30 Agustus.

Hari ini aku ikut menjadi panitia orientasi mahasiswa baru di Gelora Kasih. Tidak seperti tahun sebelumnya, teman-teman marketingku memberikanku kejutan dengan sebuah kodok yang dimasukin ke dalam kotak, dan tulisan “selamat ulang tahun, Mesachi.” Aku tidak akan pernah bisa melupakan malam itu. Malam yang sangat istimewa.

Kali ini teman-teman yang tahun sebelumnya sangat antusias memberikanku kejutan tidak lagi memberikan kejutan itu ke aku.

Malam ini para panitia yaitu adik kelasku yang memberikan kejutan dengan menyanyikan lagu “selamat ulang tahun” dan menyuruhku meniup mancis yang disodorkan oleh Vincent Fulvian yang sedang menyala sebagai simbolis tepat setelah jarum jam menujukkan jam 12 malam pas dan aula sudah kosong dari mahasiswa baru.

Malam ulang tahun yang sangat berkesan.

“Terima kasih,” ucapku sambil berusaha menahan air mata bahagia yang berusaha untuk keluar dari ke dua mataku.

Tak langsung tidur aku pun mengucapkan “Selamat ulang tahun” ke Vira melalui blognya dan facebooknya tak lupa aku post foto-foto yang berhasil kuburu di puncak Sibayak minggu lalu.

Namun tak ada tanggapan dari dia, di blog maupun dari facebooknya.

“Ah…. Apa sebegitu bencinya dia kepadaku? Sepertinya enggak deh, mungkin dia sibuk, yah dia pasti sibuk.” Mencoba menghibur diri.


Lost In Love

Lost In Love

Status: Completed Tipe: Author: , Dirilis: 2016 Native Language: Indonesia
Namaku Mesachi, margaku Sarumaha dan aku Seratus persen seorang pria, dan tidak mempunyai bakat menulis.Tidak ada keturunan Jepang sama sekali, aku adalah anak dari pasangan Bapak Nias dan Mamak Tiong Hua. Dan sekarang tinggal di Medan tepatnya di Sunggal.Harusnya aku adalah anak ke dua dari 3 bersaudara. Kakak pertamaku sudah menikah, dan aku hampir mempunyai seorang adik wanita yang sayangnya tidak berhasil diselamatkan oleh pihak rumah sakit, sehingga aku menjadi anak bungsu sekarang ini (menurut cerita Mamakku).Dari awal sekolah aku sangat menyukai kegiatan ekstrakurikuler, contohnya pramuka, walaupun aku hanya sempat naik pangkat menjadi ‘penggalang ramu’, hehe… Aku juga mengikuti drumband di sekolahku dulu, aku lupa hari itu memperingati hari apa, tapi seingatku aku ikut pawai dari jalan Setia Budi sampai ke Istana Maimoon sambil meniup trompet (orang Medan harusnya tahu seberapa jauh jaraknya ini).Sekarang aku bekerja sebagai admin di salah satu perguruan tinggi swasta di Medan, tempat aku menamatkan S1 komputerku tahun 2013 dulu. Di kantorku/kampusku hanya ada 4 orang termasuk 1 orang OB. Sangat hening di sini kalau pagi hari, aku hanya berdua dengan seorang OB, hingga siang nanti 2 teman kerja lain datang, mereka masuk kerjanya siang. Perkuliahan di sini di mulai jam 17:30 WIB dan berakhir jam 20:00 bersamaan dengan jam pulang kerjaku.Aku suka mendaki gunung, aku juga suka kegiatan sosial.Aku beberapa kali ikut kegiatan sosial bersama teman-teman RPM kaskus. Buat yang gak tahu RPM itu apa, RPM adalah salah satu regional yang ada di kaskus, Regional Profesional Medan
Ohyah, cerita ini tentang cerita cinta LDR penulis dengan seorang wanita yang tinggal di Jakarta.Tahu LDR kan?

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset