Setiap cerita pasti memiliki akhir, begitu juga dengan cerita ini, dan kita sudah hampir tiba di penghujung cerita ini. Happy Ending? Sad Ending? Silahkan menilainya sendiri.
Kami tidak lagi berstatus pacaran, sekarang kami hanya teman biasa. Aku tidak bisa lagi menghubungi dia terus menerus, aku harus membatasi frekuensi percakapan ini, karena aku gak boleh terjebak di masa lalu lagi.
Seminggu setelah ucapan terima kasih dia, aku mencoba untuk chatting dengannya kembali. Sebenarnya aku penasaran dengan display picture bbm dia, kenapa dia pasang dp di rumah sakit, aku pun sedikit berbasa-basi aku memulainya dengan mengomentari status dia hari itu.
Aku: “Oi! Lu opname lagi ?”
Vira: “Kagaaaa:
Aku: “Ow. Iyah. Ini kan dp (display picture) kemarin2 yah”
Vira: “Iya mes. Dp (display picture) yg kmrn”
Aku: “Haha. Itu sakit ga sih di suntik2 di situ?”
Vira: “Awal iya. Tp pas masuk selang udh nggak. Disuntik lg obat 2 suntikan. Pas infus dicabut kan diplester tanganku. Eh kluar darah banyak”
Begitulah sepenggal percakapanku dengannya hari itu. Ternyata dia masuk rumah sakit. Aku memberanikan diriku bertanya kenapa bisa sampai masuk rumah sakit.
Dia dengan semangat menceritakannya dengan detail ke aku. Sedikit membuat candaan, aku berusaha untuk menghiburnya meskipun tindakanku terlihat tolol, hingga akhirnya dia pun tertidur dan tak lagi membalas chattingku.
Walaupun aku tidak menghubungi dia lagi tapi aku terus memperhatikan statusnya, aku berharap kalau dia baik-baik saja di rumah sakit itu, dan kalau bisa cepat sehat dan keluar dari sana.
Bulan Oktober, tanggal 10, seperti biasa, aku masih tetap setia memperhatikan setiap perubahan statusnya, hari itu dia mengeluh tentang makanan rumah sakit yang gak enak.
Sore itu aku mencoba menghubungi dia.
“Lu masuk rumah sakit lagi?” tulisku.
“Iyaa mes. Di opname,” jawabnya.
“Kenapa cobaanmu gak habis habis yah?” tanyaku dalam hati. Aku beranikan diri bertanya kepadanya lagi, ternyata dia mengidap infeksi paru-paru. Aku speechles, aku hampir gak bisa berkata-kata. Aku coba menghiburnya, “seandainya aja aku di Jakarta, aku pasti jagain kamu Vir.”
Dia pun tertawa dan menjawab “gak dijaga juga gapapa sih, gw dah biasa apa-apa sendirian, mes.”
“Ciyee yang single fighter. Haha…,” candaku. Yang kemudian dia pun tertidur dan tak lagi membalas chattingku.
Kantorku sangat hening siang itu, seperti siang-siang sebelumnya. Tiba-tiba suara handphoneku berbunyi dan bergetar tanda bahwa ada pesan masuk via blackberry messenger. Dan siang yang hening itu menjadi terpecah oleh pesan masuk tadi dan ketika kulihat pesan itu ternyata dari Vira.
“Hey! Kamu chat aku duluan nih Vir? Apa gak salah lihat aku?” ucapku saking senangnya melihat dia menghubungiku duluan.
Vira bercerita tentang pasien baru di ruangan dia, seorang wanita yang urat jari tangannya putus, dan seorang pria yang kepalanya dijahit akibat tabrakan, dan seorang lagi yang kena stroke yang ngomongnya jadi cadel. Saking terkejutnya, tadinya aku kira Vira yang dijahit kepalanya. Aku pun ngelus dada ketika ternyata yang kulihat di chatting kami tadi bukan Vira yang dimaksud.
Hari ini dia sangat antusias chatting denganku, aku gak tahu kenapa, aku pun mengimbanginya, dia bercerita tentang apa saja kegiatannya selama di rumah sakit, mulai dari dibanguni suster jam 5, suntik, makan obat, terapi jalan karena kakinya sakit dan dia susah untuk berjalan, bahkan mandinya yang harus dilap oleh suster karena selang infus yang setiap hari menempel di tangannya, sementara aku bercerita tentang pengalamanku menjaga mamaku di rumah sakit dan dia pun membacanya dengan antusias.
16 Oktober, aku mencoba menghubungi dia lagi, “udah baikan?” tulisku.
“…”
Tak ada balasan darinya.
“Dia pasti lagi tidur, atau mungkin lagi terapi,” aku pun melanjutkan kerjaanku seperti biasa.
Esok harinya, dia membalas chattinganku yang kemarin belum sempat dia balas. Ternyata dia masih di rumah sakit, dia mengikuti terapi berjalan hampir setiap harinya.
“Kamu masih opname?” tanyaku.
“Iya mes,” jawabnya. Dan dia juga memberitahukanku tentang semua penyakit yang sedang dihadapinya sekarang. Lambungnya yang sudah kronis, infeksi paru-paru, anemia kronis, infeksi belakang rahim, dan kakinya yang sakit. Dia juga bercerita tentang dia yang harus mengkonsumsi obat yang jumlahnya tidak sedikit, 11 obat dan 1 suntikan sebanyak 3 kali sehari.
Aku berusaha untuk tidak bersedih, karena dia saja tidak menunjukkan kesedihannya, “ya mau gimana lagi mes, harus diterima sakitnya,” tulisnya pasrah.
Aku mencoba menghiburnya, “semangat, semangat. ntar kalau udah sembuh kita nae gunung”, hiburku. Dan akhirnya dia pun tertidur.
Sehari tanpa ada kabar darinya, aku pun mulai gelisah, tapi aku berusaha menahan diri untuk tidak mengganggunya, “mungkin dia sedang istirahat atau sedang fisioterapi,” gumamku.
19 Oktober, dia kembali menghubungiku duluan, dia membalas chattinganku yang belum sempat dia balas dua hari lalu.
“Gimana hari ini?” tanyaku.
“Masih seperti kemarin,” jawabnya.
Aku pun tak kuasa menahan sedih hingga tanpa sengaja aku mengirimkan emot “” yang langsung dijawabnya “aku yang sakit kok km yang kluar air mata?”
“Aku kan pura-pura ikut ngerasain sakitmu,” candaku mencoba tegar.
“Jangan ikut rasain, mes, hahaha…,” balasnya cepat.
Aku harus menyemangati Vira, bagaimanapun caranya, hanya itu yang bisa kulakukan sekarang ini.