Aku siap berangkat, aku menuju ke bandara Kuala Namu dengan revoku. Aku yang baru pertama kali naek motor ke Kuala Namu mengandalkan informasi dari teman-temanku dan google maps tentunya. Aku memilih memakai motor ketimbang kereta api karena keuangan yang pas-pasan, jujur saja.
Kuparkirkan motorku di parkiran bandara.
“Titip untuk beberapa hari yah, pak.” Ucapku ke pak satpam yang bertugas di parkiran hari itu.
“Ok”, balas satpam ke aku.
Dia pun meminta uang jaga, karena aku belum ada pengalaman parkir di sini, aku pun memberinya 10ribu.
Sudah mau jam 6, aku buru-buru masuk ke ruang tunggu. Dimana tiba-tiba ada pemberitahuan yang memberitahukan bahwasannya penerbangan dengan rute Medan – Jakarta akan mengalami delay hingga pukul 19:00 WIB. Aku mendadak gelisah. “Apa-apaan ini!” jeritku dalam hati. “Kalau aku berangkat jam 7 malam, sampai sana jam 10 malam, perjalanan 1 jam, bisa jam 11 aku baru tiba.”
Jarum pendek jam hampir menunjukkan angka 7 dan terdengar lagi suaru pemberitahuan.
“Tolong, jangan delay lagi, kalaupun delay jangan pesawat yang akan kutumpangi, TOLONG!!” jeritku dalam hati. Tak bisa dielakkan lagi, ternyata pemberitahuan itu adalah pemberitahuan delay untuk nomor penerbanganku.
Aku terduduk, aku hanya bisa menerima nasib. “Aku bisa apa? Aku mau nyalahin siapa? Aku mau marah siapa? Yah… aku tak bisa berbuat apa-apa.” Aku hanya bisa pasrah saat itu, sambil memperhatikan jam setiap menitnya dan berusaha menghibur diri.
Akhirnya panggilan keberangkatan pun terdengar, aku langsung menuju barisan dan masuk. Sepanjang perjalananku, lagu “dulu pernah ada” dan “lebih indah” terus-terusan kudengarkan dan menjadi teman yang setia selama perjalanan.
“Aku datang, Vir!”
Aku tiba di Bandar Soekarno Hatta. Martin temanku sudah menungguku.
“Ayok Tin!” panggilku.
“Jakarta malam hari ini terasa sangat dingin, tidak seperti malam biasanya di Medan. Kuberanikan diri untuk menemuimu, Vira. Kukumpulkan semua rasa yang kita rajut selama beberapa bulan ini. Sungguh aku merindukanmu.”
“Tunggu aku yah Vir,” kukirim pesan ke bbm Vira.
“…”
Seperti biasanya, tak ada balasan dari Vira.
Jam 1 malam akhirnya kami pun tiba. Langkahku berat menyusuri jalan menuju ruangannya, tiba-tiba mataku melihat sebuah kertas yang tertempel di pintu kaca yang bertuliskan namanya. “Ini ruangannya, tin!” teriakku ke Martin.
Kutelusuri setiap inch ruangan, tak ada lagi kulihat seorang pun keluarga maupun teman-temannya yang menjaganya.
Ada, ada 1 orang yang sedang tertidur di kursi di pinggir.
Kuberanikan diri untuk masuk dan menyapa Vira.
“Vir, aku udah datang nih Vir”
“Vira, kenapa kamu diam? Aku ada disini untukmu, Vir.”
“Kenapa disaat aku ingin melampiaskan kerinduanku dan ketika banyak sekali yang aku ingin tanyakan ke kamu, kamu hanya diam dan membisu.”
“Vir…, tau ga kamu betapa banyak perjuangan yang telah kulalui untuk menemuimu malam ini. Kenapa kamu cuma diam saja?”
“Vira, begitu aku tau kabar kamu, aku langsung kesini. Aku berusaha mencari pinjaman ke boss aku. Beliau sampai terheran-heran, sedemikian ngototnya aku meminjam uang demi seorang wanita. Ya, itu kamu Vira.”
“Vira, mana yang sakit. Vir, jangan diam saja dong Vir, masa kamu g mau cakapin aku?”
Aku tertunduk demikian lama di depan peti jenasahnya. Terdiam memandang fotonya. Memandangi senyumnya yang dulu pernah dia lemparkan kepadaku.
Iya, vira telah meninggalkan dunia ini. Dia telah meninggal 1 hari yang lalu, 23 Oktober 2014. Aku masih sempat shock ketika mendapat kabar dari teman-temannya.
“Mes, kau tahu Vira sudah meninggal dunia?” Tanya temanku lewat whatsapp.
“Woiii…, yang bener kau? Jangan gitu lah becandanya! Beberapa hari yang lalu, aku masih chatting dengan Vira. Memang dia mengkomsumsi obat, memang katanya maag dia akut. Tapi jangan kau bilang dia meninggal” Aku sedemikian emosi dan kalut ketika mendapat kabar itu. Aku berharap temanku cuma bercanda.
“Beneran Mes, aku dapat kabar dari sepupunya Vira.” Balas temanku
Aku terdiam sejenak.
“Vira, benarkah Vira meninggal?”
Dan dengan sendirinya airmataku menetes jatuh. Entah kapan terakhir aku meneteskan air mata untuk seorang wanita.
“Vira, kenapa kau pergi sangat cepat. Aku bahkan belum menepati janjiku untuk membawamu mendaki gunung dan menyaksikan betapa indahnya Matahari terbit dan samudra awan yang selalu aku bangga-banggakan ke kamu.”
“Kamu masih ingat kan Vir? Aku pernah ngajakin kamu naik gunung,” ucapku terisak-isak.
Kemudian aku menyalakan 3 buah dupa/gaharu untuk memberi penghormatan terakhir untuknya. Dan martin pun duduk di kursi di sisi sebelah kanan agak jauh dari letak peti jenazah.
Aku terduduk menatapi peti itu, aku menyesali semua perbuatanku, semua janjiku yang belum sempat kutepati ke dia, tatapan mata yang kosong, yang sesekali basah karena air mata yang terus-terusan keluar.