Malam itu, aku benar-benar merasakan kehilangan yang teramat sangat, kehilangan orang yang benar-benar aku sayang, seorang wanita yang pernah menjadi alasanku untuk tersenyum setiap hari, seorang wanita yang benar-benar kuat dan mampu untuk tetap tertawa dengan segala cobaan yang sedang dihadapinya. Aku ingin menangis sejadi-jadinya, mengeluarkan semua rasa sedih dan kecewa ini, sampai akhirnya aku sadar Martin sudah tertidur di kursi.
“Dia sudah sangat capek dan dia harus pulang,” pikirku.
“Tin, kau pulang duluan aja Tin, kau kan capek, makasih yah udah antar aku, aku malam ini tidur di sini aja tin, aku mau menemani Vira untuk terakhir kalinya,” sambil melap air mataku aku berbicara dengan membelakangi Martin.
“Udah gapapa, aku temani lu di sini Mes, aku tidur di sini,” jawabnya santai dan kemudian dia mengambil posisi tidur di kursi yang sudah berbaris rapi di pinggir tembok.
“Yodah kau tidur aja dulu yah tin,” balasku.
Semua kenangan yang pernah kita lalui walau hanya melalui sebuah handphone terus berputar-putar di kepalaku “hari itu, hari dimana kita pertama dipertemukan tanpa disengaja, hari pertama kita saling berkomitmen, aku juga pernah berdoa dan berharap suatu saat takdir akan mempertemukan kita. Tapi, siapa yang menduga, kita memang dipertemukan, tapi dengan cara yang sangat tidak biasa, cara yang sangat kejam, menurutku.”
Air mata takkan mampu membohongi isi hati, sekuat apapun kau menahannya dia akan berusaha untuk keluar dan menceritakan apa yang hatimu rasakan. Akhirnya aku pun tertidur. Sambil memandangi fotonya di depan peti itu, aku berharap dia hadir di mimpiku malam itu. Hingga aku pun terbangun jam 6 pagi. Entah kenapa aku tak ingin bertemu dengan paman, bibi, maupun sepupunya yang memberikan ‘tempat tinggal’ untuknya selama ini.
Aku titipkan selembar kertas sketsa wajahnya kepada wanita penjaga. “Ini kado ulang tahun ke-21nya dariku untuknya, aku terlambat memberikannya ke dia, tolong serahkan ke keluarganya untuk dibakarkan/dikebumikan bersama jenazahnya nanti,” pesanku ke wanita yang bertugas disitu.
“Selamat ulang tahun yah Vir, maaf yah aku telat ngasihnya,” dan aku memberi tiga kali penghormatan terakhir di petinya.
Aku pun meminta izin kepada pamannya yang baru saja tiba, dan wanita penjaga tadi.
“Yuk Tin, kemana kita sekarang?” dengan gaya pura-pura bersemangat.
“Balik ke rumah gw dulu Mes, letakin barang-barangmu, terus istirahat,” jawab Martin sambil berjalan menuju lift.
“Ok, Tin, ayuk!” aku pun ikut masuk ke dalam lift.
Kami langsung berangkat ke rumah Martin.
Entah kenapa sinar mentari pagi itu tidak lagi terasa hangat, aku merasakan kedingingan dan kehampaan yang teramat sangat di pagi itu.
“Ini rumahku Mes, ayuk masuk aja, jangan malu,” teriak Martin sambil membuka pintu rumahnya dan membuyarkan lamunanku.
“Ok, Tin, gak lah, ngapain malu-malu, hahaha…,” jawabku sambil tertawa.
Mama Martin sudah menyiapkan satu kamar untukku tidur di lantai 1. “Mes lu tidur sini yah,” kata Martin.
“Ok Tin, makasih yah, aku tidur dulu yah Tin, makasih banget Tin.”
Aku berusaha untuk tidur, aku berusaha untuk memejamkan mataku, tapi air mata ini terus-terusan keluar. Aku ingin menjerit dan menangis sekuat-kuatnya, tapi aku tidak bisa aku gak ingin mengganggu keluarga Martin.
Kuletakkan tangan kiriku menutupi kedua mataku dan tangan kananku menutupi mulutku, aku terus mencoba untuk tidur, walaupun tanganku terus basah oleh air mata.