Aku diberikan tugas untuk membuat thread (postingan) penggalangan dana di kaskus, tepatnya di regional Medan.
Beberapa hari sebelum membuat thread penggalangan dana peduli Sinabung, waktu itu aku belum ada tabungan BC*, dan karena kebanyakan donatur dari SF (Sub Forum) kaskus itu menggunakan tabungan BC* dan mereka diharuskan melakukan penyetoran ke rekening aku, mau gak mau aku pun membuatnya.
Siang itu, aku lupa hari apa tepatnya, aku datang ke BC* yang bertempat di jln. Setia Budi, Medan.
Seorang wanita paruh baya dengan senyum ramahnya memanggil nomor antrian berikutnya.
Kulihat nomor antrianku dan mencocokkannya. Giliranku pun tiba setelah menunggu antrian yang tidak terlalu lama.
“Ternyata wanita yang memanggilku cakep juga. Tapi bukan berarti aku jatuh hati ke dia loh, hehehe….”
“Hati ini sudah kuberikan ke kamu, Vir,” batinku dan kemudian bergegas menuju cs tadi.
“Selamat siang, ada yang bisa dibantu ko?” Tanya wanita itu dengan ramah.
“Aku mau buka tabungan baru, tapi di ktpku g ada nomor rumahnya bisa tolong dibantu pembuatannya, ci?” tanyaku ke wanita yang bertugas sebagai customer service itu.
“Kalau gak ada nomor rumah koko harus ada surat keterangan dari lurah,” jawabnya dengan ramah.
Aku mencoba menjelaskan walaupun aku sudah tahu hasilnya tidak akan disetujui, “tolonglah dibantu ci, aku buat tabungan ini hanya menampung donasi untuk korban Sinabung loh, bukan pribadi.” Aku menjelaskan alasanku.
“Iyah, maaf yah, kita hanya menjalankan prosedur,” jawabnya sambil tersenyum.
Ternyata tampang kerenku tidak berhasil menggoda dia. “Sial!” gerutuku emosi.
“Ok… Aku pergi minta surat dari lurah, ci. Tunggu aku yah. Makasih yah,” mencoba untuk senyum dengan manis walau aku tahu pasti senyumanku itu terlihat pahit di mata cs itu.
Aku berlalu pergi sambil tersenyum ke satpam yang bertugas dan membukakan pintu untukku. “Makasih, pak!”
“Aku nanti balik lagi, bang.” Ucapku ke tukang parkir di depan kantor BC* itu. “Mau ngurus surat lurah dulu nih.”
“Ok, bang!” balas tukang parkir sambil membantuku menarik motorku dari belakang.
Kugas motor revoku dan aku pun bergegas menuju kantor lurah.
Tak lama aku pun sampai di kantor lurah.
“Wah, bagus nih, lagi sepi,”
Aku masuk dan langsung meminta surat yang kubutuhkan tadi ke salah satu pegawai yang terlihat di situ.
“Permisi pak/buk, aku butuh surat lurah mau buat tabungan BC*, karena di ktp ku enggak ada nomor rumahnya,” aku mencoba menjelaskan kepada salah seorang pegawai di situ.
“Maaf untuk surat itu harus ada surat dari kepling (kepala lingkungan) baru bisa kami berikan,” jawab pegawai tadi.
Mendadak aku mendengar suara petir menggelegar yang entah dari mana keluarnya bersamaan dengan kata demi kata yang keluar dari mulut pegawai itu.
“Yang benar aja lah! Udah jauh mutar-mutar, eh sekarang masih harus keliling nyari rumah kepling lagi,” gerutuku dengan sedikit emosi yang kemudian tanpa buang-buang waktu lagi aku pun langsung tancap gas nyari tuh kepling di rumahnya.
Aku kembali ke rumah, aku menceritakan semuanya ke Bapakku, “Pak tahu rumah kepling kita gak?”
“Tahu, di pasar 4 rumahnya,” balas bapakku.
“Temani aku yah pak, aku mau minta surat nih ke kepling”
“Ayok,” sambil mengenakan jaketnya.
Kunyalakan motorku dan kami pun berangkat ke pasar 4, rumah kepling itu.
Kami tiba di rumah kepling, kebetulan Bapakku banyak kenalan di daerah situ. Bapakku bertanya dengan salah satu tetangga kepling, yang kemudian dijelaskan oleh tetangganya bahwasannya kepling kita sudah ganti.
“Owalah, nasib-nasib,” gerutuku masih duduk di atas kereta.
Bapakku kembali bertanya “jadi dimana alamat kepling yang baru sekarang?”
“Di pasar 3,” jawab tetangga kepling tadi.
Bapakku kembali dan menceritakan cerita dari tetangga kepling yang dari awal sudah kudengar samar-samar dari kejauhan.
“Jadi, sekarang kita balik ke pasar 3 yah pak?” (pasar 3 itu daerah rumahku)
“Iyah”
Bapakku pun naek ke motor, dan kugas motorku menuju pasar 3, yang hanya berjarak beberapa puluh meter melewati jalan setapak melewati daerah kuburan.
Tak sampai lima menit kami pun sampai di rumah kepling baru.
Tiba-tiba seorang pria paruh baya mendatangiku. Dan terjadilah percakapan antara aku dengannya.
Abang itu : “Nyari siapa, dek?”
Aku : “Nyari pak kepling, bang.”
Abang itu : “Oh… Dia abangku, dia sedang keluar.”
Aku : “Udah lama keluar bang? Kapan baliknya yah?”
Abang itu : “Sebentar aku coba telpon dulu yah. Tapi lagi gak ada pula pulsaku, coba kau telpon pake handphonemu”
Aku : “Mana nomornya, bang?”
Abang itu : “kosong lapan sekian sekian sekian.”
Aku : “Nih abang aja yang bicara, bilang aku nunggu di sini,” sambil Meminjamkan HP ku ke abang itu.
Seteleah selesai menelpon abangnya, dan mendapatkan kepastian bahwasannya pak kepling tadi akan segera pulang aku pun duduk dan menunggu.
Abang itu pun basa-basi dan menawarkan minuman untuk kami, yang langsung kuterima dan mengucapkan “makasih bang.”
Rasanya tuh campur-campur deh, aku ingin nangis, marah, ketawa, campur aduk lah semua. Udah kaya gado-gado, ramai rasanya.
Tak bosan-bosannya aku melihat jam di handphoneku.
Setengah jam pun berlalu dengan sangat lambatnya, akhirnya pak kepling pun tiba.
“Mereka mau minta surat tuh,” kata adik kepling itu dengan bahasa batak (aku hanya menebak).
“Sini masuk,” kepling tadi mempersilahkan aku dan bapakku untuk masuk ke dalam rumahnya.
Tanpa ditawari lagi minuman, kepling tadi menanyakan perihal tujuan kedatanganku. Aku pun menjelaskannya dengan semangat yang dibuat-buat.
Setelah mendengar penjelasan singkatku, pak kepling itu langsung duduk di meja kerjanya dan menulis sesuatu yang aku tidak tahu apa itu, yang pasti itu adalah sebuah surat yang kubutuhkan untuk mendapatkan izin membuat tabungan BC* nanti.
Sementara kepling tadi sedang sibuk menuliskan surat yang kubutuhkan, aku kembali bertanya-tanya dalam hatiku “Aku harus ngasih uang berapa yah? 20ribu? 50ribu? 100ribu? Ahh… enggak lah, kebanyakan itu!”
Akhirnya kebingunganku pun berakhir ketika kepling tadi memanggilku dan menyodorkan surat yang aku butuhkan. Aku tak jadi memberikan uang ‘pelicin’ tadi. Hehehe…
“Makasih yah pak!” ucapku dengan senyum sambil menyalamin pak kepling.
Aku pamitan dengan pak kepling dan adiknya yang sudah menemani setengah jam penantianku.
“Yuk, bang, makasih yah,” ucapku ramah sambil menggeser dan menghidupkan motorku.
Aku antar bapakku kembali ke rumah dan aku langsung bergegas menuju kantor lurah. Tak butuh waktu lama di siang yang terik itu untukku sampai ke kantor lurah. Ruangan itu masih sepi, hanya ada beberapa pegawai tanpa ada tamu lainnya selain aku.
“Permisi pak, buk. Ini surat keplingnya,” sambil menyodorkan surat ke salah seorang pegawai yang terdekat dariku.
Setelah melihat dan membaca surat dariku.
“Lurahnya lagi kondangan,” jawab ibu itu, ibu yang membaca surat dariku tadi.
Aku merasa kembali mendengar suara petir yang menggelegar sangat kuatnya di gendang telingaku yang masih belum tahu dari mana asal muasal suara petir itu, pastinya suara petir itu datang bersamaan dengan kabar ‘buruk’ dari ibu pegawai tadi.
Aku sempat berfikir, “mungkin mereka ini ada hubungannya dengan dewa petir, Zeus.”
“Jadi aku harus menunggu sampai lurah itu pulang hanya untuk tanda tangannya?” batinku kesal.
“Bapak tunggu saja di situ, sebentar lagi bapak lurahnya kembali,” jawab salah seorang pegawai lainnya.
Aku menganggukkan kepala dan menuju kursi yang berjarak 2 meter dari tempat aku duduk dan menyerahkan surat kepling tadi.
Jujur, dalam hati aku sudah ingin sekali menyerah, tapi niat baik untuk Sinabung dan kedua lesung pipi Vira yang terlihat di fotonya akhirnya melelehkan emosiku.
“Nunggu pun gapapa deh,” sambil mengistirahatkan diri di sofa.
Aku mencoba memainkan game ‘Angry Bird’ (waktu itu lagi booming nih game) yang ada di handphoneku dan sesekali melihat foto Vira yang sudah diam-diam kusimpan dari facebooknya.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit pun berlalu, tak terasa setengah jam pun berlalu, tapi belum juga ada tanda-tanda batang hidung dari pak lurah tadi.
“Dek, coba kemari sebentar!” Salah seorang dari mereka tiba-tiba memanggilku dan memecah keheningan di kantor lurah itu bersamaan dengan suara petir yang menggelegar di lautan awan jauh di atas kepala ku. Kali ini suara petirnya nyata.
“Gawat, udah mau hujan pula,” gerutuku mulai gelisah.
Aku beranjak dari kursiku dengan wajah sedikit memelas dan melihat ke segala penjuru arah, “apa lurahnya udah pulang yah? kok gak klihatan masuknya? dia masuk dari mana?”
“Nih dek suratnya,” ibu pegawai yang tadi menyimpan surat itu menyodorkan sebuah kertas putih yang entah bertuliskan apa dan dengan tanda tangan ‘pak Lurah’.
“Darimana orang ini dapat tanda tangannya yah, padahal pak lurahnya belum datang, kalau bisa gini, kenapa bukan dari tadi bah orang ini ngasihnya, arghhhh!”
Aku masih tidak mengerti kenapa aku harus disuruh menunggu, apa karena aku tidak memberi ‘uang pelicin’? Hanya Tuhan dan mereka yang tahu jawaban itu.
“Ahh tidak pentinglah, yang penting aku sudah dapat surat lurahnya,” ucapku kesal.
Sudahlah, semuanya sudah terjadi dan semuanya sudah beres saatnya kembali ke kantor BC*. Disaat aku baru saja mau beranjak keluar kantor lurah tadi, cobaan yang lain pun tak mau kalah dan ikut mengambil bagian untuk menguji kesabaranku, yah, hujan, dia datang setelah memberi aba-aba suara yang menggelegar tapi tanpa bertanya “apa aku sudah siap atau belum.”
Aku benar-benar merasa sangat diuji kali ini. Aku gak bisa berlama-lama di sini, kalau aku menunggu hingga hujannya reda kantor BC* pasti sudah tutup. Aku harus berangkat sekarang juga walaupun harus mandi hujan. (Aku tidak pernah membawa mantel hujan di dalam motorku).
Di tengah perjalanan, kurang lebih 200 meter dari kantor lurah, ternyata tidak hujan bahkan setitik air di jalanan pun tak terlihat, dan matahari bersinar dengan sangat teriknya. Seolah ingin berkata “Haiii Mesachi, di sini gak hujan loh, lu kok basah?”
Dan aku ingin membalasnya.
“Kampret lu om Matahari!”
Aku senyam-senyum sendiri ketika kuhentikan motorku di persimpangan empat jalan ring road, Sunggal, ketika lampu merahnya menyala. Aku terlihat seperti orang bodoh yang sedang basah-basahan di siang yang terik itu.
Lampu merah akhirnya berganti menjadi hijau, kugas motorku tanpa ragu menuju kantor BC* di jalan Setia Budi.
“Aku balik lagi kan bang?” ucapku ke abang parkir yang bertugas di situ sambil menaikkan ke dua alisku.
Aku peras bajuku di tempat parkir sebelum masuk ke dalam kantor BC*, setidaknya untuk meminimalisir dingin, kalian pasti tahu dinginnya ruangan kantor full ac kan?
“Makasih, pak.” Ucapku ke pak satpam yang membukakan pintu untukku.
Aku kembali mengambil nomor antrian.
Tidak seperti pertama kalinya yang mengantri sambil duduk, kali ini aku mengantri sambil berdiri dan sambil mengigil kedinginan pastinya.
Menunggu nomor panggilku disebut, aku menggigil kedinginan karena baju yang masih basah dan dinginnya ac.
“Pak duduk aja pak,” ucap seorang satpam sambil tersenyum.
“Gapapa, pak, lagian aku basah nih, nanti kursinya jadi basah gara-gara celanaku,” jawabku juga dengan senyum sambil sesekali gemetaran.
Pak satpam tadi terus-terusan memintaku untuk duduk, yang kemudian aku pun duduk di kursi antrian, agar bapak itu tidak terus-terusan memintaku.
Giliranku pun tiba, ketemu lagi dengan cs tadi. Sepertinya kami memang berjodoh, hehehe…
Dengan sedikit heran dia pun bertanya “surat lurahnya sudah ada?”
“Udah, ini suratnya, tolong dibantu yah,” balasku.
Setelah terjadi percakapan yang lumayan rumit dan sedikit menggoda, akhirnya BC* ku siap untuk dipakai.
“Makasih yah, ci,” ucapku pelan sambil tersenyum.
“Terima kasih, ko,” balasnya dengan senyum dan kemudian memanggil nomor antrian berikutnya.
Aku tidak tahan berlama-lama di situ, walaupun aku tahu wajah cs tadi lumayan cakep, dingin kali ruangan itu bro.
“Makasih lagi pak,” ucapku ke pak satpam yang lagi-lagi membukakan pintu untukku.
“Ini bang, uang parkirku,” menyerahkan uang seribu logam kepada tukang parkir di situ.
“Makasih bang,” sambil membantuku menarik motorku.
“Vir, lu berhasil jadi peredam emosi aku hari ini, hahaha…” ucapku dalam hati dengan bahagianya dan langsung bergegas kembali ke rumah.
Langsung kubuat thread penggalangan dana sepulangnya dari sana, dan setelah mandi tentunya.
Aku bercerita tentang kejadianku mengurus tabungan BC* ku hari ini ke Vira. Dia cemburu, aku tahu dia cemburu saat aku menceritakan tentang cs yang cantik itu ke dia.
“Wakakakakaka,” aku tertawa ketika melihat isi pesan Vira.
“Semoga besok-besok ketemu cs yang cantik lagi yah, kamu kan senang lihat cewek-cewek cantik,” isi pesan Vira.
Mungkin dia membalasnya sambil cemberut yah, walaupun aku tidak melihatnya langsung, hehehe….
Kecemburuannya itu seolah-olah memberiku aba-aba.