“Kamu mau kemana?”
“Aku bakal terus di hati kamu koq, tapi maaf kalau fisikku ngg bisa ada disamping kamu, aku juga inginnya di deket kamu terus, bisa liat wajah kamu pas bangun.”
“Kita bisa koq, kamu yang kuat yah, jangan nyerah gitu.”
“Mungkin udah waktunya, Rud. Kamu hidup yang bahagia yah, jalanin semua yang kamu mau, sedikit-sedikit lepas dan lupain aku.”
“IIIIKKKKKAAAAAA!!!!!” teriakku terbangun dari tidur.
Aku baru sadar itu cuma mimpi, dan aku melihat jam saat itu masih jam tiga pagi. Aku tidak tahu firasat apa ini, “apakah aku harus pergi kerumah sakit sekarang?.” Pikirku.
Aku lalu kembali berbaring, fikirku berkhayal yang bukan-bukan, khawatirku memuncak dan aku pun ingin pergi ke RS sekarang, namun aku takut menggangunya.
Tak sadar, aku pun tertidur kembali.
Pagi jam tujuh, secangkir kopi sudah habis setengah, dan aku pun sudah siap untuk kembali pergi ke RS.
“Mau kemana kamu, Rud?” tanya mamaku.
“Mau ke RS, Mah.” Jawabku.
“Emang siapa yang ke RS.” Tanya mamaku.
“Temen, mah.” Jawabku singkat.
Aku lalu beranjak, menyalakan motorku dan berharap dia masih bisa menungguku. Aku mulai melaju, membelah jalanan dengan sangat cepat.
Setelah sampai di parkiran aku lalu langsung masuk dan menuju kamar Ika yang kemarin. Aku mengetuk pintu kamar dan langsung membuka pintunya.
Aku melihat papa dan mama Ika sedang duduk di sebelah Ika, seperti ada sesuatu yang terjadi.
“Pagi, om, tante, gimana kabarnya sekarang?” sapa dan tanyaku.
“Eh, Rudi. Tadi pagi tante kebangun pas Ika nyebut-nyebut nama kamu.” Ucapnya sedikit membuatku kaget.
“Tadi pagi juga Rudi mimpi ketemu Ika, tante.” Ucapku lanjut menjelaskan.
“Yasudah ya, Rud. Semua pasti ada jalan terbaiknya.” Jawab papanya Ika.
“Iya, om.”
Aku lalu duduk di sofa, dan melihat ke arah mereka. Keluarga yang kuat bagiku, beruntung sekali dia bisa lahir dari keluarga seperti ini.
Tak lama, Ika kembali menyebut-nyebut namaku, begitu lirih dan membuat aku semakin sedih karena kondisinya yang seperti ini.
Aku lalu bangkit dan mendekatinya, aku pegang tangannya dan aku berbisik di telinga Ika bahwa aku di sampingnya sekarang. Bibirnya kembali membeku, nafasnya terdengar semakin memelan, dan lengkungan senyumnya sedikit terlihat.
Mama Ika pun lalu memeluk anaknya, cukup lama pelukan yang begitu hangat. Mungkin jika tidak ada orang tua Ika di sini, aku akan memeluknya.
Mama Ika pun melepas pelukan, tak lama matanya berkaca-kaca sambil menatap ke suaminya. Seperti sudah mengerti, lalu mereka duduk di sofa sambil berbincang pelan dan aku hampir tidak bisa mendengarkannya.
Aku hanya berdiri di samping tempat Ika terbaring, menatap dalam ke wajah yang dua hari lalu aku lihat sama, namun dengan kondisi yang berbeda.
Pundakku lalu ditepuk oleh papa Ika, dan Mama Ika pun keluar ruangan.
“Nak Rudi, makasih selama ini sudah mengisi hidup Ika, mungkin dia bahagia sama kamu, tapi sekarang om minta pengertiannya yah. Memang berat, tapi terima kasih telah menjaga anak om.” Ucapnya tegas.
“Iya om sama-sama, Rudi ngerti om, kabarin aja ya om.” Jawabku.
Aku lalu kembali sejenak melihat orang yang aku kasihi selama setahun ini.
“Kalau gitu Rudi pamit pulang ya, om. Salam buat tante.” Aku lalu bersalaman dan keluar ruangan.
Aku berjalan dengan wajahku menghadap ke atas, mencoba menahan air mata agar tidak tumpah di sini.
Aku lalu memakai helmku dan air mataku langsung tumpah tak kuasa aku tahan lagi. Aku menyalakan motorku dan aku berjalan pelan pulang kerumah.
Sekitar dua puluh menit aku baru sampai rumah, aku terbaring di kursi, menatap kelangit dan berfikir apa yang telah terjadi hari ini.
Bagiku ini adalah pukulan telak, tak bisa aku menahan rasa kecewa, rasa sedih dan aku harus merelakan orang yang dua hari lalu bersamaku.
Aku melihat wajahnya dengan do’a agar aku bisa melihatnya sebelum dan saat aku bangun dari tidurku.
Namun Tuhan punya rencana lain, rencana yang menurutku tidak adil, mengapa aku harus dipertemukan dan merasakan bahagia bersamanya jika ia pisahkan kami saat kami belum bisa bersatu.
Rasa sesal seperti satu persatu menghampiri, seribu tanya terbayang dalam otakku.
“Andai saja aku bonceng dia pulang dari Surabaya, mungkin sekarang dia berada di sampingku.” Ucapku dalam hati mengantarkanku ke dalam tidur yang aku harap tak pernah bangun kembali.