Love Magnitude episode 13

Epilog

“Sayang bangun, nanti telat loh.
Ayok cepetan, anterin aku.
Anterin sampai tempat aku bisa tersenyum.
Tersenyum melihat kamu dari alam yang berbeda.”

“Kenapa kamu pergi sih?
Saat aku sayang banget sama kamu.
Kamu curang bisa tersenyum di sana.
Aku di sini menangis.”

“Semua sudah dia tulis, sayang.
Mungkin kamu bisa mengerti arti sebuah pengorbanan.
Walau hasil yang kamu dapat tak selalu indah.
Tapi kamu lelaki yang tangguh, sayang.”

“Aku menangis saat kamu pergi.
Aku menyesal saat kamu pergi.
Aku ingin ikut kamu pergi.
Suatu saat, aku pasti menyusulmu.”

***

Sedikit demi sedikit, peti yang melidungi orang aku sayangi turun, masuk ke dalam bagian dari bumi ini. Aku sendiri datang ke pemakaman yang sederhana ini, banyak prosesi yang tidak bisa dilakukan dan banyak kerabat yang tidak bisa dihubungi.
Sedikit demi sedikit pula aku membantu menutup lubang kenangan yang selama ini menemaniku, walau tak tega, tapi aku ingin mengubur kenangan ini.

Prosesi semua selesai dan aku pun pamit untuk pulang, dan tak lupa ucapan terima kasih aku ucapkan dan aku akan selalu mengunjungi keluarga ini.

Hari senin ini aku berencana untuk pergi ke kantorku sebelum aku pulang ke rumah. Banyak hal yang berubah di sini, banyak hal yang aku jarang lihat selama ini.

Aku sampai depan kantorku yang masih berdiri tegak, walau beberapa kaca sudah pecah.
Aku lalu masuk dan mencari seseorang di sana, dan aku bersyukur bisa bertemu dengan Ibu Indri.
Dia sedang duduk menghadap komputernya dan suara bunyi mesin cetak yang berisik.

“Selamat siang, bu.” Sapaku.
“Eh kamu, Rud. Kamu sehat?” tanyanya sembari menyalamiku.
“Sehat, bu. Kabar semua karyawan di sini gimana ya bu?” tanyaku.
“Syukur, semuanya selamat, dan hari ini memang diliburkan, mengingat kondisinya seperti ini.” Jawabnya.
“Terus, kenapa Ibu sekarang kerja?” tanyaku.
“Laporan yang kamu buat harusnya sudah dikirim, karena tidak ada jaringan, terpaksa Ibu mau kirim pakai pos saja.” Jawabnya.
“Kalau gitu biar saya saja bu yang mengantarnya.” Tawarku.
“Ngg apa-apa, Rud?”
“Ngg apa-apa, bu. Rencana keluarga mau pindah ke kampung, bu, rumah yang di sini sedang diperbaiki dan mungkin saya akan terus bekerja di sini.” Ucapku.
“Tapi, Rud. Sepertinya perusahaan ini akan melakukan sedikit kebijakan untuk merumahkan sebagian pegawainya.”
“Oh begitu ya, bu. Kalau gitu saya mengundurkan diri, bu dari perusahaan ini.” Ucapku.
“Kamu mungkin kalau mau, bisa saya bantu untuk tetap bekerja disini.”
“Tapi aku lebih baik bersama orang tua saja bu. Dan dokumen yang akan dikirim, bisa saya ambil sekarang.”
“Kamu mau menunggu sebentar?.”
“Bisa, bu.”

Kami lalu mengobrol berbagai hal, menunggu semua dokumen selesai dicetak.
Sore jam tiga, aku pergi dari perusahaan ini, membawa dokumen dan uang gaji dan pesangonku.

Aku lalu berkemas barang-barangku yang akan aku bawa.
Mobil ayahku sudah terjual, kebetulan yang beli adalah keluarganya Ika, dan mungkin ayahku akan kembali lagi ke Jakarta saat kondisi sudah membaik untuk membereskan surat-surat.

Rumah kami tinggal tanpa penghuni dan rencana akan dikontrakan nantinya.

Malam ini, malam terakhir bagiku di Jakarta, aku tidak sempat berpamitan pada teman-temanku, tapi suatu saat aku akan mengunjungi mereka.

***

Udara sejuk kampung halamanku, tempat dulu aku bermain dengan nenekku yang sekarang dirawat oleh tetangga di sini semenjak kepergian nenekku.

Hari ini setelah satu hari aku beristirahat, aku berencana untuk pergi ke Surabaya dan memberikan berkas yang mereka butuhkan. Namun sebelum aku berangkat, aku menelpon dulu mbak Mita.

“Halo mbak Mita, Ini Rudy yang dari Jakarta.”
“Oh iyah, gimana kabar kamu?.” Tanya penasarannya.
“Baik, mbak. Sekarang di Jakarta, telekomunikasinya sedang rusak, jadinya mereka ngg bisa ngasih kabar mbak.” Ucapku.
“Terus kamu sekarang dimana?” tanyanya.
“Saya lagi di Jawa Tengah, mbak. Di rumah nenek saya, untuk beberapa waktu mungkin saya tinggal di sini.” Ucapku.
“Oh gitu, terus kerjaan kamu di Jakarta?” tanyanya.
“Saya udah keluar, mbak. Oh iya, hari ini saya mau ke Surabaya, mau nganterin berkas-berkasnya mbak.”
“Oh gitu, pacar kamu sehatkan di Jakarta?.” Tanyanya membuat aku sedih.
“mmm, dia udah tenang mbak di sana.” Ucapku.
“Di sana? Di Jakarta? Kamu putus?” tanyanya.
“Di alam lain mbak, dia udah meninggal mbak.” Ucapku sedikit menahan air mata.
“Oh maaf, Rud. Turut berduka ya.”
“Iya ngg apa-apa mbak.”
“Oh iyah, kamu kalau mau kerja di perusahaan ini bisa mbak usahain koq, nanti bawa surat lamaran aja yah.” Ucapnya.
“Emang ngg apa-apa mbak?” tanyaku.
“Ngg apa-apa koq, nanti di sini mbak juga mau ngobrol sesuatu sama kamu, Rud.” Ucapnya membuat aku penasaran.
“Baik mbak kalau gitu, makasih, saya berangkat sebentar lagi, maaf udah ganggu pagi-pagi mbak.” Ucapku
“Iyah ngg apa-apa, Rud. Sampai ketemu di sini yah.” Telepon lalu dimatikan.

Aku lalu mempersiapkan semua berkas dan surat lamaranku, aku harap ini menjadi awal yang baru, selepas aku ditinggalkan Ika.

“Hidup yang tenang di sana yah, Ka.” Ucapku menatap langit yang biru.


Love Magnitude

Love Magnitude

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Kehidupan kesehariaan seorang pria yang dipenuhi warna warni percikan cinta , namun tidak lama warna itu berubah menjadi kehitaman yang dipenuhi kesedihan.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset