Love Magnitude episode 4

Chapter 4

Jam setengah lima aku dibangunkan oleh dering ponselku, setelah aku lihat, Ika menelponku.

“Halo sayang, baru bangun yah?” tanyanya.
“Huuh.” jawabku singkat.
“Jadi pergi jam berapa?”
“Jam enam kayanya, masih ngantuk tapinya.”
“Yaudah sana mandi cepetan, biar ngg ngantuk.”
“Iyah.” aku lalu bangun ke posisi duduk.
“Yaudah, hati-hati yah disana, aku juga mau mandi, ada kuliah soalnya.”
“Oh iyah, kamu juga hati-hati yah.”
“Dadah sayang.” lalu dia menutup telponnya.

Dengan keadaan yang masih mengantuk, aku paksakan untuk mandi. Jika kalian menyangka Jakarta itu selalu panas, buktinya tidak, karena setiap pagi air disini cukup sejuk.
Setelah selesai, lalu aku panaskan motorku, dan pergi sarapan. Kebetulan mama ku sudah bangun jam segini, walaupun hari libur tapi kebiasaan mamaku selalu bangun pagi. Papaku? Sudah tak perlu bahas dia, kita sama bung.

“Pergi jam berapa Rud?” tanya mamaku.
“Jam enam ma.”
“Itu mama udah siapin bekal kamu, sama cemilan buat dijalan, jadi kamu ngg perlu beli lagi dipinggir jalan.” ucapnya.
“Cuma buat sehari ma?” tanyaku.
“Iyalah sehari, kalau buat seminggu keburu basi.” jelasnya.
“Ya lumayankan ma, Rudi ngg perlu beli lagi makanan disana.” ucapku.

Setelah selasai dengan sarapan, lalu aku berganti pakaian dan pergi menonton tv untuk melihat berita pagi hari karena jam enam masih setengah jam lagi.
Orang tuaku memang sudah biasa aku pergi untuk tugas seperti ini, karena tugasku dulu di divisi lapangan kebanyakan keluar kota, bahkan luar pulau, memang waktu itu pasti aku bersama teman-teman kerjaku dan transportasi perusahaan lah yang menjamin.
Oh iya, hanya untuk kalian tahu, aku dan pacarku memang tidak terlalu sering melakukan chatting, tapi setidaknya kami pasti memberi kabar walau sehari sekali. Ya karena tidak terlalu jauh juga rumahku dan rumahnya.
“Beep!” jam tanganku berbunyi menandakan sudah jam enam, lalu aku berpamitan dengan mamaku.

“Ma, Rudi pergi yah, bilangin juga ke papa.” seruku.
“Iyah Rud hati-hati, papamu pasti masih tidur.” jawabnya

Lalu aku mengeluarkan motorku dari halaman rumah, setelah itu lalu aku mulai memacu motorku. Rute yang aku ambil melalui jalan kalimalang, kebetulan aku akan isi bensin disitu, karena aku selalu isi bensin di SPBU dengan kode 31, entahlah itu hanya mitos atau memang fakta.

“Full tank, mas” ucapku.
“Mulai dari nol yah.” kata-kata yang tidak asing lagi.

Dari kalimalang sampai bekasi memang tidak ada yang istimewa, macetpun bukan hal yang istimewa menurutku. Mungkin tak ada yang bisa banyak aku ceritakan dalam perjalananku, dan rute yang aku laluipun mungkin bukan rute yang istimewa, apalagi bagi para pendatang Ibukota.

Aku melakukan perjalanan dengan jarak waktu tiga jam sekali aku beristirahat, dan beberapa kota yang menjadi tempat rehatku adalah Cirebon, Pekalongan, Semarang. Setelah Semarang aku langsung menuju Rembang,Tuban, Kemudian Lamongan sebagai tempat rehat terakhir sebelum Surabaya.

Total jam perjalanan adalah sekitar dua puluh empat jam atau sama dengan sehari. Dengan setiap istirahat kurang lebih satu jam, yang aku gunakan untuk urusan perut, toilet dan tidur.

Baru kali ini aku merasakan suasana jam enam di hari weekend dan di luar kota Jakarta. Lalu aku mencari masjid terdekat untuk numpang mandi dan sejenak beristirahat. Aku memang terlahir non-muslim, namun aku sering ikut beristirahat di mesjid, tentunya di luar waktu beribadah agar tidak mengganggu.

Selama ini, aku bertemu dengan orang-orang yang baik, terkadang ada yang mengajakku untuk shalat, tapi setelah aku beritahu, mereka malah meminta maaf kepadaku padahal mungkin aku yang salah beristirahat ditempat yang bukan hakku. Tapi tak apalah, aku juga tahu diri, karena aku sering mengisi kotak amal di mesjid sebagai ucapan terima kasih.

Sekitar jam setengah sembilan aku lalu beranjak dari masjid untuk mencari sarapan, karena makan yang aku bawa sudah habis di jalan tentunya. Keliling kota yang aku belum tahu rasanya seru sekali, jarang-jarang aku bisa begini saat berada di divisi lapangan, karena waktu sudah tidak bisa ditawar lagi waktu itu.

“Mas, buburnya satu.” pesanku kepada penjaja pinggir jalan.
“Njeh mas, mangan neng kene, mas?” tanyanya.
“Maaf mas, saya ngg ngerti bahasa Jawa.” jelasku.
“Oh, wong saya juga ngerti mas, saya juga cuma iseng.” sambil tertawa. “Mau makan disini, mas?” tanyanya lagi.
“Jangan isengin pembeli mas, nanti kualat loh. Makan sini aja mas.” lalu aku duduk di kursi.

Dengan wajah tersenyum dia lalu membuatkanku semangkuk bubur. Pagi itu memang begitu berbeda, dengan suasana yang berbeda pula. Di jalan ini mungkin terbilang cukup ramai dengan orang yang berolah raga, mungkin karena hari minggu juga.

“Ini mas buburnya, monggo.” sembari tersenyum.
“Makasih yah mas.” akupun menerima lalu menikmati bubur tersebut.
“Mas emangnya datang darimana?” penjual bubur membuka pembicaraan.
“Saya dari Jakarta mas, ke sini ada kerjaan satu minggu.” jawabku.
“Oh gitu, masnya kalau bisa bahasa Jawa enak loh mas, bisa dapet harga lebih murah di pasar-pasar gitu mas.”
“Ya saya juga ngg tau mas, lagian saya juga cuma seminggu dan paling ngg bisa masak juga, jadi saya beli makanan jadi kaya gini.” jelasku.
“Emang masnya tinggal dimana selama seminggu ini?” tanyanya.
“Di hotel Alpa mas, saya juga ngg tau dimana.”
“Hotel Alpa yang itu bukan mas?” lalu dia menunjuk ke seberang jalan.
“Waduh iya juga ya mas, saya tadi niatnya cari sarapan dulu, jadi ngg ngeh hotelnya disitu, bisa langganan di sini dong mas, bisa dapet diskon nih.” dengan wajah tersenyum dan menaik-turunkan alis mata.
“Mas ini bisa saja, yo. Yasudah mas tenang saja, bisa-bisa kita akrab nanti.” penjual buburpun tertawa.

Lalu ponselku berdering tanda ada telpon masuk, kemudian aku angkat.

“Halo.” ucapku singkat.
“Halo sayang, seharian ngg ngabarin sih kamu.” dengan suara manjanya.
“Ini siapa ya?” bercandaku.
“Udah ilang seharian, pake lupa lagi sama pacar sendiri.” terdengar nada sedikit marah.
“Hehe, iyah sayang maaf, kemarin aku ngejar waktu juga, pas istirahat juga aku pake tidur biar ngg terlalu kecapean.” jelasku.
“Oh yaudah deh, syukur kalau kamu udah sampe. Oh iya, kamu nginep dimana?” tanyanya.
“Di hotel Alpa, nih udah ada di sebrangnya, aku lagi sarapan bubur.”
“Loh, jam segini udah bisa check in yah.” bingungnya.
“Ngg, tadi aku niatnya cari sarapan tapi kebetulan pas banget tukang buburnya sebrang hotel.” jelasku.
“Eh, nanti lusa aku mau …” telponpun terputus.

Aku rasa pulsa dan kuotanya habis, aku lalu menghabiskan bubur yang sudah mendingin dan aku lihat penjual bubur sedang sibuk dengan pembelinya. Sembari menghabiskan buburku, aku melihat hotel yang tidak terlalu besar, mungkin sekelas bintang tiga. Aku baru tersadar untuk mencari kantor dari klien yang akan aku datangi, tapi sejauh mata memandang tidak terlihat ada bangunan tinggi, hanya satu hotel, beberapa deret ruko dan pemukiman, tidak terlihat adanya kantor.

“Mas, tau kantor ini ngg?” aku bertanya sambil menyimpan mangkuk bubur yang telah habis.
“Oh itu kalau ngg salah, disebelah sana deh mas, yang ruko sebelah sana itu mas.” tunjuknya.
“Perusahaan perkapalan bukan sih mas ini tuh?” tanyaku.
“Iya bener mas, ya cuma mereka baru dua-tiga tahunan ya mas, jadinya masih di ruko-ruko gitu.” jelasnya.
“Oh gitu ya mas.”
“Mas kerja disitu yah?” tanyanya.
“Bukan mas, saya dari perusahaan konsultasi di Jakarta ada tugas di sini, jadi ini tuh klien saya mas.” jelasku.
“Ngg ngerti saya mas sama yang begituan.” sambil tertawa.
“Semuanya jadi berapa mas?” lalu mengeluarkan dompet.
“Rp.10.000 aja mas.” jawabnya, lalu aku memberikan uang pas.
“Ini, mas. Makasih yah.”
“Matur suwun, besok kesini lagikan mas?” tanyanya.
“Iyah, kalau lagi pengen bubur lagi.” candaku.

Lalu aku pergi ke ruko untuk melihat perusahaan tersebut. Dan benar saja, mereka menyewa dua ruko dengan tiga tingkat saling berdempetan.
“Mungkin mereka lagi membangun gedung.” pikirku.
Setelah tahu, aku sedikit berkeliling di kota ini, ya sekalian menyegarkan pikiran walaupun tubuh sudah rindu akan tempat tidur, namun aku baru bisa check in sekitar jam 1 siang, “Masih lama, masih ada dua jam lagi, jalan-jalan sajalah.” pikirku.

Tak sengaja, aku melihat indikator bensinku sudah berkedip, aku lupa mengisinya. Akupun mencari sekitar hotelku saja, biar nanti aku tidak terlalu jauh kembali. Setelah sekitar jam dua belas, akupun kembali ke arah hotel dan aku masuk kedalam parkirannya.

Lalu aku mencoba check in, namun aku masih harus disuruh menunggu oleh resepsionis dengan alasan kamar yang aku tempati masih dibersihkan.

“Sayang, pulsa kamu habis?” sambil menunggu akupun mencoba menchat pacarku. Namun, sampai aku check in masih belum dia balas.

“Akhirnya bisa tidur dikasur.” Aku lalu meloncat ke tempat tidur dan tertidur pulas, sampai aku tidak sadar bahwa ponselku bergetar.


Love Magnitude

Love Magnitude

Status: Completed Tipe: Author: Dirilis: 2017 Native Language: Indonesia
Kehidupan kesehariaan seorang pria yang dipenuhi warna warni percikan cinta , namun tidak lama warna itu berubah menjadi kehitaman yang dipenuhi kesedihan.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset