Namaku Alim. Aku terlahir ditengah keluarga sederhana di sebuah desa di Provinsi Jawa Barat. Ayahku adalah seorang petani dan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa yang merawat dan mendidik kami dengan berbagai ilmu agama dan kemandirian yang luar biasa. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara, karakterku dan kedua saudaraku berbeda-beda, hanya aku yang paling pemberontak dan ingin selalu mencoba hal yang baru.
Selepas tamat SMP, aku ingin pindah ke Ibukota Bandung. Rasa bosanku akan hidup di desa yang monoton membuatku bersikukuh membujuk kedua orang tuaku untuk mengizinkanku hijrah ke Bandung.
Ayah : Kamu sekolah disini saja, gak usahlah ikut-ikutan teman-temanmu ke Bandung. Mau kelihatan gaul apa?
Alim : Bukan yah, aku hanya ingin memperluas pengalaman dan pengetahuanku saja kalau hidup di ibukota. Di desa hidup selalu monoton dan serba terbatas.
Ayah : Pokoknya kamu tidak boleh ke Bandung. Kamu hidup, tinggal dan mati disinii!!
Alim : Meski ayah dan ibu tidak mau membiayai, aku tetap akan berangkat ke Bandung. Aku akan sekolah disana. Ada sekolah negeri yang menerimaku karena nilaiku bagus.
Perdebatan ayah dan anak pun semakin sengit. Watak mereka yang keras memang tak bisa disatukan dalam diskusi apapun. Selalu saja ada yang bentrok dan mau ingin menang sendiri. Terkadang, ibu Alim lah yang memecahkan kekakuan saat mereka berdua berdiskusi.
Satu minggu berselang, Alim masih nekad untuk pindah ke Bandung. Awalnya dia ingin berpamitan dengan ayahnya, namun rasa kesal terhadap sang ayah akhirnya mengurungkan niatnya. Hanya dengan ibunya, Alim berpamitan. Ibunya tak bisa melarang keinginan kuat anaknya yang ingin maju dan sukses di kota besar. Hanya doa dan air matalah yang mengiringi kepergian anak pertamanya ini. Sedangkan kedua adiknya tidak tahu kalau kakaknya sudah berangkat ke Bandung.
—
Tiga tahun berlalu dan Alim sukses membuktikan kepada orang tuanya bahwa ia bisa bertahan dan hidup seorang diri di Bandung. Berbagai pekerjaan part time dia lakoni, mulai dari jadi loper koran, semir sepatu, mengamen di jalan hingga jadi karyawan di salah satu makanan cepat saji terkenal di Bandung. Karena prestasi yang membanggakan di sekolahnya, Alim akhirnya lolos masuk perguruan tinggi islam negeri di Bandung tanpa seleksi.
Meskipun ia lulus penerimaan mahasiswa baru, namun Alim kembali dipusingkan dengan pembayaran uang kuliah per semester dan tempat tinggal. Karena, tempat tinggalnya dulu sudah digusur dan ia tidak tahu harus kemana lagi.
Satu bulan.. Dua bulan.. Enam bulan.. Satu tahun.. Alim berusaha menyisihkan sedikit upah kerja part time untuk menyewa kos didekat kampus. Namun, seringkali uang yang didapatkannya tak cukup untuk membiayai kebutuhan kuliahnya.
Sampai akhirnya, Alim melihat ada ruang kosong di deretan kamar mandi pria di jurusannya. Lalu, ia mengecek kondisi kamar mandi yang tak terawat tersebut. Kondisinya agak berbau dengan warna cat yang sudah pudar serta langit dinding yang sudah dipenuhi rumah laba-laba. Tanpa pikir panjang, Alim segera mencari penjaga kampus di jurusannya dan meminta agar ruangan kamar mandi itu bisa digunakannya untuk tempat tinggalnya.
Awalnya, penjaga kampus yang memang dituakan di kampus tersebut menolak. Karena tidak masuk akal dan tidak manusiawi kalau dia mengizinkan mahasiswa di kampus islam ternama di Bandung untuk tinggal di ruangan kamar mandi.
Alim : Saya mohon pak, izinkan saya tinggal di ruangan itu. Saya tidak ada uang sama sekali untuk menyewa kamar kos.
Penjaga Kampus : Kamu yakin mau tinggal disana. Itu bekas kamar mandi. Tidak terpakai karena toiletnya sudah rusak. Disana bau dan jorok.
Alim : Nanti akan saya bersihkan pak. Itu toiletnya juga sebenarnya tidak mampet, Cuma memang karena tidak diurus saja jadinya terbengkalai. Masalah bau dan jorok, bisa dibersihkan kok pak.
Penjaga Kampus : Apa kamu tidak malu dengan mahasiswa lain? Kan itu juga bersebelahan dengan kamar mandi mahasiwa yang selalu dipakai?
Alim : Saya mah masa bodok sama malu, yang saya mau itu bisa kuliah tanpa kepikiran dimana saya akan tinggal. Saya harap bapak bisa mengerti dengan kondisi saya dan mengizinkan saya tinggal di ruangan itu pak.
Melihat air mukanya yang tampak menyedihkan, akhirnya penjaga kampus itu memberikan izin kepada Alim. Tak sia-sia Alim bergabung di UKM teater di kampusnya, jadi dia bisa bermain karakter wajah saat meyakinkan penjaga kampus akan nasibnya. Padahal, Alim tak begitu sedih-sedih amat dengan nasibnya. Bahkan, jika tidak dibolehkan, dia akan mencari lokasi lain yang gratisan tapi strategis dekat dengan kampus.
Bersama teman-temannya, Alim membersihkan ruangan tersebut. Awalnya teman-temannya mengira Alim hanya bercanda, namun dengan ekspresi datar Alim yang memang menandakan keseriusannya, teman-temannya akhirnya percaya dan bahu membahu membantu Alim.
Nama Alim pun tersohor di kampus sebagai Mahasiswa Toilet. Walau julukannya sudah menyebar ke seluruh jurusan dikampusnya, Alim tetap cuek. Dia tidak peduli dengan cemooh orang lain tentang dirinya. Alim juga aktif dalam UKM forum mahasiswa yang suka orasi dan demo gitu deh (simpulin sendiri yak..xixxii). Sehingga namanya semakin dikenal, terlebih Alim sering ditunjuk sebagai Orator dalam berbagai kegiatan maupun demo-demo yang dilakukan mahasiswa di kampusnya.