Hanya lampu di meja kita yang berbinar menerangi meja. Sebenarnya aku tak kuasa menatapmu sekarang, karena saat ini jika aku melihatmu aku langsung teringat hal itu. Tapi, melihatmu yang jelas sangat membutuhkan seseorang untuk bersandar aku mencoba untuk menyingkirkan gambaran tentang hal itu.
Saat aku hendak berbicara, kamu sudah sudah bicara duluan. Kata-kataku menguap.
“Terima Kasih,” air matanmu meleleh perlahan ke ujung bibirmu. “Entah apa yang akan terjadi jika tak ada dirimu.”
Aku terdiam. Menatap kosong segelas es lemon yang mengembun. Walau kecil terdengar, tapi rintihanmu mampu menghancurkan persendian tulang-tulangku.
Kuraih tanganmu dan kugenggam erat-erat.
“Tak perlu berterima kasih. Itulah gunanya sahabat.” Aku menyentuh dagumu dan mendongakan kepalamu. Aku menatapmu lamat-lamat. Air matamu mulai surut. Aku tersenyum lemah padamu.
Kalau diingat-ingat, dua hari lalu tepat tengah malam aku mendapatkan “kejutan” yang sampai-sampai aku tidak bisa tidur setelah mendapatkan kejutan itu; 1 pesan BBM yang berisi 1 fotomu setengah bugil sedang tertidur di atas ranjang yang berantakan. Mataku nyaris pecah saat melihatnya. Kepalaku konslet tak bisa berpikir jernih. Hatiku? Jangan tanyakan. Hatiku mungkin sudah mengkerut bahkan nyaris hilang saat melihat gambar itu. Aku tidak tahu siapa yang mengirim pesan itu. Kontaknya tiba-tiba saja hilang.
Dan sampai pagi menjelang yang kulakukan hanyalah menatap handphoneku yang berlayarkan dinding chat denganmu. Aku tidak berani menanyakan hal ini. Aku terlalu lelah dan takut.
Tak lama banyak pesan yang masuk, semua isinya hampir sama: “itu gambar dia? Kok bisa sih? Wah, sayang sekali.” Aku tidak menjawab semua pesan itu. Otakku sudah terlalu rusak untuk mencerna kejadian itu. Dan tiba-tiba saja hari-hari jadi begitu sangat lambat berlalu.
Kamu sulit dihubungi saat itu. Mungkin kabarnya sudah menyebar luas dan sampai di tanganm. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu saat itu. Aku membuang jauh-jauh pikiran yang tidak-tidak tentangmu.
Besoknya, setelah aku sedikit lebih tenang, aku habiskan waktuku untuk menyelesaikan masalah ini sementara kamu entah di mana dan tak bisa hubungi. Aku matian-matian menjelaskan kepada teman-teman kita apa yang terjadi. Otakku berkerja keras untuk menyusun alasan dan alasan agar semuanya tidak terlihat begitu salah.
Terutama pada orang tuamu. Untung saja pesan itu tidak sampai pada orang tuamu.
Sore harinya setelah keadaan sedikit lebih baik, aku putuskan untuk pergi ke asrama yang kamu diami. Saat hujan lebat, guntur datang silih berganti membuat garis perak di antara awan hitam. Aku tetap pergi dengan sepeda motor menuju tempatmu.
Benar saja kamu ada di sana. Duduk diam di atas ranjang. Disampingmu tergeletak handphone yang layarnya menyala bertuliskan kontak kekasihmu. Tapi fokusku saat itu bukan pada hal itu, tapi pada dirimu. Kamu sangat berantakan. Matamu sembab, juga rambutmu ikalmu yanh sudah mengembang seperti rambut singa.
Di mulut pintu aku terdiam. Menyapamu namun tak kau jawab. Hanya menatapku dengan sisa kesedijan di matamu.
Aku seret tubuhku yang basah kehujanan mendekatimu. Aku duduk di sampingmu. Kamu tertunduk.
Astaga. Aku saat itu benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Percakapan model apa yang harus kubuat. Suasana jadi lebih hening dan mulai mencekikku.
Lalu tanpa sadar aku duduk di hadapanmu. Berjongkok menatap wajahmu lamat-lamat. Kusentuh dagumu agar menatapku. Mata kita bertemu untuk sekian puluh detik. Hingga akhirnya kamu menangis tanpa air mata di hadapanku. Aku beranjak berdiri dan memelukmu. Kamu memelukku erat dan terisak di dadaku. Biarlah, Kamu memang membutuhkannya.
Semua kata-kata yang hendak kukatakan membeku di ujung bibir. Hanya kehangatan tubuh kita yang berpagutan yang aku rasa. Perlahan pelukanmu mengendur dan semuanya berakhir. Kamu menatapku dengan senyum lemah menggantung menandakan kamu–akan–baik-baik saja. Kamu lalu memelukku lagi dan itu sebagai tanda terima kasih. Aku membelai rambutmu, mencium aroma tubuhmu yang tetap seperti itu. Selalu sama dari 14 tahun lalu.
Dan sadarkah kamu, itu adalah cara kita berbicara ketika dalam keadaan yang sangat berat. Hanya ada kejujuran tanpa suara dan semuanya beres. Aku mengerti kamu dan kamu mengerti aku. Itu sudah lebih dari cukup.
Dan tadi siang kamu menelpon minta ingin bertemu. Aku langsung menerimanya dan langsung memesan restoran ini selepas tutup.
Tanganku masih memegang erat tanganmu. Jari-jarimu tetap halus. Aku suka. Lalu menatapmu yang sudah jauh lebih tenang.
“Kamu tahu kalau yang melakukan semua itu adalah mantan pacarku?” Katamu sambil mengelus-ngelus punggung tanganku.
Aku mengangguk. Aku sangat tahu. Karena itulah setelah pulang dari asramamu aku langsung pergi ke tempat mantan pacarmu dan memberikan sedikit “ucapan terima kasih” atas kejutan yang sudah dia buat. 2 bogem mentah dan 1 tendangan ditambah sumpah serapah. Itu mungkin cukup untuk apa yang dia lakukan. Aku tidak habis pikir, lelaki macam apa yang tega melakukan hal gila semacam itu cuma karen diputusin sama kamu.
Sudah 2 tahun berlalu dan ini adalah untuk pertama kalinya kita bertemu kembali. Dan selama itu banyak yang aku tidak tahu tentang kehidupanmu. Foto itu mungkin akibat dari pergaulanmu yang tidak aku ketahui. Aku masih menatap wajahmu. Lalu kamu bertanya.
“Maafin aku, pasti kamu jijik melihat sekarang? Kamu pasti marah, yah?” Lalu kamu tertunduk lagi. Belaian dipunggung tanganku terhenti.
Jika ditanya, apakah aku marah saat melihat foto itu? Betul. Aku sangat marah. Aku marah karena aku sayang padamu. Mana mungkin kamu yang aku kenal selama 14 tahun bisa sampai melakukan hal sehina itu. Tapi aku tahu itu bukan sepenuhnya salahmu, aku tahu teman-temanmu itu yang menghasutmu agar terseret pergaulan yang nista.
Tapi ya sudahlah. Sekarang kamu di sini sekarang. Bersamaku, dan berusaha membuat semuanya kembali normal.
“Betul. Aku marah,” Ucapku datar. Kamu tiba-tiba mendongak dengan mata melotot menusuk mataku. “Aku marah karena aku sayang kamu.” Perlahan kelopak matamu kembali ke posisi semula.
Aku mencondongkan tubuhku ke arahmu, meraih pipimu dengan sebelah tanganku. Mengupas pelipis dengan ibu jariku.
“Percayalah. Aku tidak marah atau bahkan membencimu. Hal ini mungkin sudah seharusnya terjadi,” aku berkata nyaris berbisik. “Kalau aku benar-benar membencimu, lalu untuk apa aku melakukan semua ini?” Kata-kataku mulai bergetar.
Kamu mulai menatapku lagi dan kembali menangis. Aku beranjak dari tempat dudukku dan berdiri di sampingmu. Kedua tanganku memopongmu untuk berdiri, lalu… Hap, Kamu memelukku. Erat sekali. Kamu merintih di dadaku. Biarlah. Kamu memang membutuhkannya.
“Entah apa yang harus aku bilang selain terima kasih. Kamu selalu baik sama aku.” Katamu sambil terisak.
Aku membelai rambutmu dan mencium aroma tubuhmu.
“Tak apa. Itulah gunanya aku. Sahabatmu.” Aku merangkul lehernya. Aku merasakan dia mengangguk di dadaku.
Kemudian kesunyian mulai menyelimuti kita lagi. Hanya saja yang ini malah membuatku sangat lega.
Tubuh kami tetap berpagutan dan menghangat. Ada banyak yang ingin aku ucapkan padamu. Tapi hanya hanya ada satu kalimat yang ingin aku ucapkan dari sekian banyaknya kalimat yang diucapkan di dunia ini: Aku mencintaimu.
Tapi biarlah. Dengan memelukmu aku pikir kau pun tahu apa perasaanku padamu saat ini. Ini adalah cara kita berbicara, sayang. Kejujuran tanpa suara yang kita ucapkan.
Wahai waktu, berhentilah sejenak sampai aku merasa bosan dengan dia di pelukanku, walaupun aku tahu aku tak akan pernah merasa bosan dengan dia berada di sana. Di pelukanku.
Sehina apapun dirimu, hal apapun yang sudah kamu lakukan sampai seperti ini, aku adalah orang pertama yang memaafkanmu dan membantumu menjadi yang lebih baik kembali. Karena aku sahabatmu. Sahabat yang menyangimu…. Dan mencintaimu.