Satu pagi Ayah yang sudah mulai jengah melihat tingkah anak kesayangannya itu, menghadang Dira saat hendak beranhkat kerja.
“Dewasa sedikit, nak. Jangan kayak anak kecil.”
Dira tersenyum kecut. “Maksud Ayah apa?”
“Tentang hal yang ayah bicarakan beberapa hari yang lalu, ayo kita ngobrol, jangan malah musuhiin ayah.”
“Ngobrolin soal hubungan ayah sama wanita itu yang entah siapa? Buat apa? Apa ayah gak bisa baca sikapku? Sikap yang jelas2 menolak keras keberadaan orang lain disini.”
Ayah menghela nafas. “Ayah sudah bilang. Ibumu tak pernah tergantikan oleh siapapun, dia punya tempat khusus dihati ayah. Dia hadir bukan untuk merebut apapun dari siapapun, Dy. Paling tidak kamu lihat dulu orangnya, kenali dulu orangnya.”
“Apapun alasannya, siapapun dia, aku gak peduli! Dan aku gak berminat untuk mengenalnya sedikitpun, sekalipun dia seorang bidadari yang turun dari khayangan!”
“Diandra!” Suara Ayah meninggi. “Pernahkah kamu pikirkan perasaan Ayah? Atau kamu hanya peduli dengan egomu sendiri?”
Dira membuang muka. “Aku sayang ayah, aku sayang ibu. Apa ayah mengerti maksudku?”
Dira berlalu pergi, membuka pintu. Ayah termangu tak bisa bicara lagi. Anak perempuan satu2nya itu sangat keras kepala, mirip dengannya saat muda dulu.
Dira sebenarnya dalam hati merasa tak anak pada ayah. Dia sudah kurang ajar karna tidak mau mendengar ayahnya selesai bicara. Dira kesal kalo ayahnya tetap kekeuh ingin berhubungan serius dengan wanita yg belum ia kenal itu. Dira tidak mau ayahnya menikah lagi.
Pikiran ini sampai terbawa ke kantor. Dira beberapa kali melakukan kesalahan, hingga harus mengulang dari awal lagi pekerjaannya dan membuang banyak waktu. Jelas saja dia jadi sasaran empuk ibu manager galak. Beberapa kalimat umpatan pun harus ia terima.
“Dasar gak becus!”
“Kamu ini bodoh atau gimana!”
“Kalah sama tukang pulung cepet kerjanya!”
Dira hari ini sedang tak semangat untuk berdebat, jadi ia menelan bulat2 semua omelan managernya yang super galak itu. Walau hatinya sebenarnya sebal juga dibentak2, tapi Dira menahan diri.
Sepulang kerja Dira memutuskan untuk pergi jalan2, melepas lelah dan membuang penat. Tapi kali ini dia hanya sendiri, tadi Dan menaearkan tumpangan, tapi Dira menolaknya dengan halus.
Dira memilih sebuah kafe yang berada disebuah mall. Kafe dengan suasana yang cozy dengan iringan lagu2 jazz dari dalam negeri, seperti Tompi, Raisa, Sandy Sandoro, membuat Dira nyaman duduk sendidian ditemani susu oreo hangat dan sepotong sandwich tuna.
“Lho, Dira ya?”
Suara wanita itu membuyarkan lamunan Dira. Dira menoleh kemudian tersenyum setelah tau kalo wanita itu adalah Kak Nadine, kakak sulung Dan.
“Kak Nadine?”
“Iya.. Kamu kok sendirian? Biasanya sama Dan.”
“Lagi pengen sendiri aja kak.”
“Tempat asik begini kok sedirian neng, neng.”
“Kakak sendiri, sendirian.”
“Hahaha, tadi aku abis reuni sama temen2 disini, baru bubar tadi. Terus aku liat kamu disini. Boleh kan aku duduk disini?”
“Boleh donk kak. Silakan.”
Kak Nadine memperhatikan wajah Dira dalam2. Wanita berhijab modern ini seperti tau Dira sedang banyak pikiran, makanya sejak tadi tidak banyak bicara.
“Hey say..” Kak Nadine menepuk pundak Dira pelan. “Kamu lagi ada masalah ya?”
Dira tersenyum tak langsung menjawab. Hatinya bingung, harus cerita atau tidak. Dia belum lama kenal dengan kak Nadine, tapi kak Nadine adalah kakaknya Dan. Ingin cerita tapi Dira malu.
“Kamu jangan malu, cerita aja sih. Siapa tau aku bisa bantu ringankan pikiranmu.”
Dira kaget. Kak Nadine seperti bisa membaca pikirannya.
“Anggap aja aku ini kakakmu juga, jangan sungkan.”
Dira tersenyum. Akhirnya memberanikan diri untuk bercerita dari A-Z. Dari ibunya meninggal sampai sekarang ayahnya tiba2 punya hubungan khusus dengan wanita lain, dan dirinya yang menolak keras hubungan itu.
“Oh.. Jadi begitu.” Kata kak Nadine
“Iya kak. Apa aku salah?”
Kak Nadine tersenyum lagi
“Aku sama Dan juga pernah ngalamin hal yg sama kayak kamu. Kamu pasti tau kan kalo orang tua kami bercerai.”
Dira mengangguk.
“Kamu mending, ayahmu setelah dua puluh tahun baru punya keinginan menikah lagi. Ayah kami, baru satu bulan cerai dengan ibu, dia sudah minta izin ke kita untuk nikah lagi. Awalnya aku sama Dan menolak, sangat menolak keras, kita gak mau punya ibu tiri, malu sama orang2 lah, apa ayah gak pikirin perasaan mama kita. Tapi lama2, kita sadar, kita terlalu egois. Kita hanya memikirkan diri kita sendiri, tapi gak mikirin perasaan ayah.”
Dira menyimak dalam2 penjelasan kak Nadine.
“Kita masih muda, jalan hidup masih panjang dan masih bisa urus diri sendiri, tapi ayah sudah mulai menua, dia tinggal sendirian dirumahnya, sepi. Kami berdua gak ada yang mau tinggal sama dia, karna kasian sama mama kalo jauh dari anak2nya. Kami cuma tengokin beliau seminggu sekali kalo libur. Kasihan juga kami pikir, ayah butuh seseorang yang bisa membantunya dirumah. Bukan sekedar pembantu rumah tangga, tapi seseorang yang bisa menyayanginya, mengurus hidupnya, menjadi sandaran disaat ayah lelah dan ayah gak kesepian lagi dirumahnya. Akhirnya kami mengalah dan mengizinkan ayah menikah lagi.”
Dira menghela nafas pendek.
“Aku gak bisa terima orang lain kak dirumah, apa lagi harus nerima dia sebagai ibu baru.”
“Kalo kamu belum bisa, gag perlu terima dia sebagai ibu tiri, gag perlu memaksakan diri kok, tapi terima dia sebagai pasangan ayahmu, yang ayahmu sudah pilih.”
“Berat kak, susah.”
“Kamu bisa ngomong gini karna kamu masih sendiri belum menikah, masih merasa bisa menemani ayahmu. Suatu saat kalo kamu nikah, kamu dibawa pergi pindah suamimu, ayahmu tinggal sendirian, kesepian, gak ada yang ngurus, cuma ditemani perabotan aja. Apa kamu tega?”
Dira terdiam. Sedikit banyak kata2 kak Nadine memang ada benarnya. Kasihan ayah kalo nanti dia menikah dan pindah dari rumah, ayah akan sendirian berkawan dengan kesepian.