Akhirnya pagi ini Dira dengan hati yang masih sedikit berat, mau bicara pada sang ayah. Sebelum berangkat ia menemui sang ayah yang sedang duduk minum kopi diteras rumah.
“Temuin aku sama orang itu. Aku cuma pengen ketemu, gak lebih.” Kata Dira, lalu pergi.
Walau anaknya bicara dengan nada sinis, tapi ayah tetap senang akhirnya Dira mau bicara padanya. Setidaknya Dira mau bertemu dulu dengan wanita pujaannya. Untuk saat ini itu sudah cukup.
Ayah langsung mengeluarkan ponselnya menghubungi seseorang.
Sore ini juga ayah mengajak Dira bertemu dengan wanita pujaannya. Dira mengiyakan dengan sedikit terpaksa. Ia tak tega menolak permintaan sang ayah yang terdengar sangat bahagia.
Untung saja hari ini ibu manager galak sedang baik hati, sebelum jam 17:00 beliau sudah mengintrimuksikan karyawannya untuk pulang. Semua bersorak senang.
Dira juga bersorak dalam hatinya. Setidaknya dia tidak perlu lama2 berhadapan dengan singa betina itu. Sepulang kerja Dira langsung menuju restoran yg dijanjikan sang ayah untuk bertemu.
Dira datang lebih dulu. Ia langsung duduk ditempat yang sudah dipesan oleh ayahnya. Sebuah ruangan private direstoran jepang yang tertutup rapat.
Setengah jam kemudian.
“Dy..” Panggil ayah
Dira berdiri merapikan bajunya, menengok kearah pintu. Dan shock ketika melihat siapa yang datang bersama sang ayah. Seseorang yang tidak asing lagi baginya.
Ibu manager galak! Sedang apa dia disini, bersama ayah?
Ibu manager galakpun tak kalah shocknya ketika melihat Dira disana.
“Ayah, dia?” Tanya Dira tak percaya.
“Iya. Dia yang ayah ceritakan sama kamu tempo hari.”
“Kamu?” Kata ibu manager galak, sama tak percayanya.
Entah kenapa ibu manager galak tidak terlihat galak dan ketus seperti saat dikantor. Dari wajahnya ia terlihat lebih lembut dan keibuan.
“Lho, kalian saling kenal?” Tanya ayah senang.
Dira tersenyum sinis. “Jelas aja kenal. Dia yang bikin aku pingsan gara2 asam lambungku kumat tapi didiemin, dia yang bikin aku hampir mati karna phobia gelapku. Ayah inget?”
Ayah tertegun. Seketika ruangan sepi.
“Bukan, bukan maksudku mencelakaimu, Dira.” Ibu manager galak angkat suara.
“Tapi pada kenyataannya anda hampir membuat saya mati.”
“Sudah.. Sudah.. Masalah dikantor kalian jangan dibawa kesini. Ayo kita makan dulu.” Kata ayah tersadar dari lamunannya.
“Maaf ayah, aku udah gak selera makan. Aku pamit.” Dira beranjak bangun dengan wajah penuh penolakan.
Sementara ibu manager galak terlihat kecewa dengan sikap Dira.
Ayah mengusap2 bahu ibu manager galak “Maafin dia, dia memang masih kekanak2an.”
Ibu manager galak tersenyum, lalu mengangguk.
“Nanti dirumah aku bicara lagi sama dia.”
“Iya, mas.”
Dira tak langsung pulang malam itu. Pikirannya sangat kalut, ingin rasanya dia meninju tembok sampai hancur. Dia berharap yang tadi itu cuma mimpi. Ibu manager galak bukan kekasih ayahnya.
Kenapa dunia ini begitu sempit. Dari sekian banyak wanita yang cantik, baik dan pintar, kenapa harus wanita galak itu yang ayah pilih. Jelas jalan ayah untuk mendapat izin dari Dira akan sulit.
Dira datang kesebuah bar yang berada dikawasan kota. Entah setan apa yang merasukinya, dia melampiaskan kekesalannya dengan meminum bir, padahal sebelumnya dia tidak pernah minum minuman keras apapun.
Untunglah baru seteguk, Dan datang. Seperti biasa pria ini datang untuk menyeret Dira pulang kerumah.
“Lo gila!” Sentak Dan menjauhkan gelas bir dari Dira.
Dira menoleh lalu tersenyum getir.
“Lo lagi.”
“Kenapa? Apa gak boleh gue cari lo?” Tanya Dan kesal.
“Asal bukan buat belain bokap gue, gue gak masalah lo ada disini.”
Dan menarik tangan Dira pergi dari bar yg sudah mulai ramai itu.
“Kita pindah tempat.”
Akhirnya Dan membawa Dira kerumahnya. Mengajak Dira bicara ditaman belakang rumahnya.
“Kenapa sih lo selalu ada tiap gue lg mumet?” Tanya Dira
Dan terdiam sebentar sebelum bicara. “Bukannya gue udah pernah bilang, kalo gue sayang sama lo.?”
“Itu kan lo sayang karna gue temen terdekat lo.”
Dan tertawa kecil. “Lo beneran gag ngerti? Atau pura2 gag ngerti sih?”
Dira yg terdiam kali ini.
“Gue tau lo ngerti, tapi lo gak bisa terima kenyataan itu. Kalo gue punya perasaan lebih dari sekedar teman.” Jelas Dan.
“Sejak kapan?” Tanya Dira pelan.
“Sejak semester dua kita kuliah.”
“Kenapa baru sekarang bilang? Kenapa dulu lo biarin gue ditembak Dimas dan jadian sama dia.”
Dan menatap Dira dalam. “Gue gak mau. Waktu itu gue belum siap.”
“Kenapa? Lo takut gue tolak?
“Gak. Bukan itu. Gue bukan takut ditolak. Gue gak mau buru2. Waktu itu gue baru kuliah semester dua. Masih belum terlalu dewasa. Makanya gue biarin lo jadian sama Dimas, gue tahan perasaan ini selama bertahun2, sampe akhirnya kalian putus. Gue gak seneng kalian putus, gue malah sedih liat lo nangis terus.”
“Terus? Kenapa gak tembak gue sekarang? Lo tau kan gue udah move on dari Dimas.” Tantang Dira.
Dan tersenyum, pandangannya dialihkan ke langit yang terang karna cahaya bintang.
“Gue gak mau tembak lu dengan kata-kata ‘would you be my girl friends’. Gue maunya disaat yg tepat, gue tembak lo dengan kata2 ‘would you be my wife?'”
Dira tertegun.
“Gue tahan perasaan ini selama ini, bukan buat jadiin lo pacar, tapi jadiin lo istri gue, pendamping hidup gue. Selamanya.”