Dira diam seribu bahasa, bingung mau jawab apa.
“Would you be my wife, Diandra?” Tanya Dan sambil menatap dalam wajah Dira yang terlihat bingung dan salah tingkah.
Dira menghela nafas panjang. “Dan, gue gak bisa jawab sekarang. Gue beneran lagi bingung sekarang. Ayah pasti udah cerita kan sama lo tentang kejadian tadi sore direstoran?”
Dan mengangguk. “Ya, gue ngerti. Gue juga gak minta lo untuk jawab secepat ini kok, Dy.”
“Makasih pengertiannya Dan.”
“Iyaa.. Sama2. Terus soal bokap lo, gimana?”
Dira tertawa kecut. “Lucu banget hidup gue. Orang yang gue benci dikantor, malah mau jadi ibu tiri gue. Gue gak mau, gue gak bisa terima itu.”
“Gue juga heran kok mereka bisa kenal. secara background pendidikan mereka jauh berbeda, tempat tinggal juga jauh.”
Dira mengacak2 rambutnya sendiri. “Entahlah Dan, gue males tanya juga.”
“Lo harus ngobrol sama bokap lo. Jangan kabur2an kayak anak SMA labil aja.” Ledek Dan.
Dira mengelak. “Yee.. Gue bukan kabur ya, gue cuma menghindar dari pada terjadi peperangan yang lebih besar.”
Dan tertawa kecil. “Oke.. Oke.. Alibi diterima..”
Dira memukul bahu Dan.
Baiklah, Dira harus bersikap dewasa layaknya gadis berumur 25 tahun. Dira harus bicara empat mata dengan ayahnya. Dira harus menyampaikan semua isi hatinya.
Sesaat setelah sarapan, Dira mulai membuka pembicaraan serius itu.
“Maaf soal kemarin, yah. Harusnya aku gak pergi begitu aja.”
Ayah tersenyum, mengelus bahu Dira. “Gak apa2, ayah mengerti perasaanmu.”
“Tapi aku tetap pada pendirianku. Aku keberatan kalo ayah menikah sama wanita itu. Ayah boleh menikah dengan siapapun, tapi tolong jangan dia.”
Ayah menghela nafas. “Apa alasannya karna dia adalah atasanmu yg kamu bilang kejam dan tidak berperi kemanusiaan?”
Dira mengangguk pelan. Jelas saja soal itu, dia tidak mau nanti jadi anak tiri yang teraniaya yang setiap hari disiksa oleh ibu tirinya yang kejam, seperti difilm cinderella.
“Dira.. Dia tidak sekejam yg kamu bayangkan. Iya, ayah akui dalam bekerja dia memang agak keras, tapi aslinya dia orang yg sangat lembut.”
“Apapun yg ayah bilang, aku tetap menolak keras keinginan ayah yang satu itu.”
“Tapi, Di.. Ayah mengenalnya sudah 15 tahun ini, sejak dia menjadi murid ayah dikelas memasak, ayah tau seperti apa sebenarnya dia.”
Ya. Ayah dulu pernah mengajar kelas memasak disalah satu hotel bintang lima di Jakart. Dira saja hampir lupa hal ini. Dan siapa yang sangka ibu manager galak itu suka memasak.
“Terserah ayah. Mau pilih aku atau ibu manager yg galak itu. Yang jelas aku gag akan bisa hidup berdampingan dengan dia. Bagiku dia seperti macan betina yang buas yang siap menerkamku kapan saja.”
Ayah menatap Dira sedih. “Kamu salah paham tentang dia, Dy.”
“Imagenya dimataku sudah buruk, yah. Aku juga gak rela kalo ayah menikah dengan wanita galak yang suka ngatur.”
Ayah hanya bisa geleng2 kepala. Anak semata wayangnya ini benar2 keras kepala. Sulit meluluhkan hatinya yang keras. Hanya Tuhan yang bisa membalikkan hati Dira.
Malamnya, Dira mengajak Dan minum kopi bersama dikafe langganan mereka. Hubungan mereka mulai mencair lagi setelah kejadian semalam. Walaupun lamaran Dan belum dijawab oleh Dira, tapi keduanya masih santai seperti biasanya, tidak kaku lagi.
“Apa gak sebaiknya lo kenali dulu si bu manager, Dy. Baru ambil keputusan untuk nerima atau nolak.”
Dira mengaduk2 kopi capuccinonya. “Lo sama kayak ayah, nyuruh gue ngenalin dia dulu lebih jauh.”
Dan menepuk jidadnya “Ya kan kadang setiap orang itu punya cara yg berbeda2 buat nunjukkin keprofesionalitas kerja mereka, bukan berarti tabiat mereka sama dengan sikap mereka saat kerja.”
Dira melotot. “whatever, bagi gue dia tetep macan betina yang galak.”
“Gue kenal ayah lo, gak mungkin dia sembarangan pilih orang buat dijadiin istri. Coba pikir pake sudut pandang seorang ayah, jangan pake sudut pandang seorang anak. Kebanyakan anak akan menolak kehadiran ibu tiri dirumahnya.”
Dira garuk2 kepala. “Dan, cukup! Gue ajak lo kesini buat ngopi, bukan buat ngomongin si macan betina itu. Ganti topik!”
Dan tersenyum hangat. “Oke ganti topik. Gimana jawaban buat ajakan gue kemarin?”
“Belum, Dan. Gue belum bisa jawab.”
Dan pura2 kecewa “Ah sayang sekali, padahal gue pengen denger jawabannya sekarang, mumpung gue masih ada disini.”
“Emang lo mau pergi?”
Tanya Dira bingung.
“Ya siapa tau aja ya kan. Jangan sampe lo nyesel karna terlambat kasih jawaban”
“Sabar ya, Dan. Pasti gue jawab, tapi jangan sekarang. Gue masih mumet sama bokap gue.”
“Iya, Dira.” Jawab Dan santai.
Dan malam itu terlihat berbeda. Dia bahkan mengajak Dira nongkrong sampai tengah malam dikafe. Seolah ngopi2 ini adalah salam perpisahan. Beberapa kali Dan menatap Dira penuh arti, membuat Dira salah tingkah.
Lewat tengah malam barulah keduanya pulang kerumah masing2. Dira yang sudah ngantuk berat langsung masuk ke kamar dan menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
Jam 05:00 Dira terbangun karna suara panggilan telepon dari ponselnya. Dengan mata yang masih berat, Dira mengangkat telepon tersebut. Dari nomor area jakarta.
Dira : Halo.. Siapa ya?
Cewe : Halo mbak, saya dari Rumah Sakit Cipto. Saya nemuin nomor mbak dari panggilan terakhir diponsel saudara Dan.
Dira : Iya, kenapa ya? (kaget)
Cewe : Saudara Dan mengalami kecelakaan, sekarang dia diruang IGD, keadaannya sangat parah. Kami butuh kehadiran orang terdekatnya untuk datang kesini.
(Dira terperanjat, panik bukan main)
Dira : Saya Kesana sekarang.(telepon dimatikan)
Tanpa pikir panjang, tanpa berganti pakaian ataupun cuci muka, Dira langsung bergegas pergi kerumah sakit yang dimaksud. Dia bahkan lupa bilang pada ayahnya.