Dira membuka perlahan matanya. Bau obat2an yang menusuk hidungnya membuatnya terbangun. Ah, dia baru sadar, dia sedang dirumah sakit. Entah berapa lama sudah dia tertidur setelah pengambilan darah tadi.
Tangannya ditusuk jarum infus. Dira memutar pandang ke seisi ruangan. Ia tak sendirian, disebelahnya masih ada pasien. Kasur mereka dibatasi oleh gorden tinggi berwarna biru muda.
Dira ingin bangkit, tapi masih belum kuat. Tubuhnya masih lemas dan kepalanya masih terasa berat. Tak ada orang lain disana yang ia kenali, hanya suster ysng datang untuk memeriksa.
“Suster, udah berapa lama saya tidur?” Tanya Dira pelan.
“Satu hari, mbak, mbaknya pingsan setelah proses pengambilan darah.” Jawab si suster tersenyum ramah. “Keluarga mbak lagi pulang dulu, nanti siang mereka kembali kesini.”
“Keluarga?” Tanya Dira heran.
“Iya. Ayah, Ibu dan kakak perempuan mbak.”
“Oh, begitu.”
“Iya, mbaak.”
Si suster lalu pergi lagi setelah meletakkan nampan makanan.
Dira hanya tersenyum menanggapinya. Ibu! Apa yang dia maksud itu Liz? (ibu manager galak). Dira tersenyum sinis, tak suka Liz dianggap ibunya oleh siapa pun.
Dira mencoba membangunkan tubuhnya. Mengambil nampan makanan yang berisi bubur kacang hijau, roti cokelat dan susu yang sedari tadi tersaji dimeja. Perlahan iapun menyantap semua makanan itu, agar tenaganya kembali pulih.
“Uhuk.. Uhuk..” Terdengar suara batuk dari pasien sebelah.
Dira tertegun. Dia seperti mengenal suara itu. Dira memperjelas pendengarannya.
“Uhuk.. Uhukk.. Uhukk..”
Perlahan Dira pun berdiri dan berjalan perlahan membuka gorden pembatas kamar.
“Dan!” Dira menangis haru. Dan terlihat baru membuka matanya.
“Dy..” Panggil Dan dengan suara parau.
“Dan.. Alhamdulillah lo udah sadar.” Dira duduk disamping Dan, merangkul lengan Dan yang sebelah kanan.
“Dy, gue..”
“Sssstt.. Jangan banyak ngomong kalo masih lemes.” Kata Dira sambil menghapus air matanya.
Dan tersenyum. Tangannya perlahan terangkat mengusap pipi Dira yang basah oleh air mata.
“Dengerin gue baik2 Dan. Gue jawab pertanyaan lo tempo hari.” Dira tersenyum yakin. “Gue sayang sama lo. Gue.. Gue mau jadi istri lo.” Dira tersipu malu.
Dan tersenyum bahagia. Mulutnya masih sulit berkata banyak, hanya “Makasih.” Yang terdengar dari mulutnya.
“Iya, Dan. Sama2. Makasih juga selama ini udah sayang sama gue.”
“Kreekk.” Suara pintu dibuka.
Dokter dan suster datang merusak suasana.
“Pagi..” Kata suster dengan senyum terbaiknya.. “Kita cek lagi ya.”
Dira menyingkir sedikit, membiarkan suster dan dokter memeriksa Dan.
“Wah, ajaib ini dok. Semalam tensinya sampai 180/100. Sekarang sudah kembali normal.” Kata suster terlihat heran.
Dokter memeriksa denyut nadi dan jantung Dan, lalu tersenyum tapi dengan wajah heran.
“Detak jantung dan nadinya juga sudah normal.”
Dira mendekati sang dokter. “Kapan dia bisa pulang kerumah dok?”
“Ya.. Mungkin beberapa hari lagi mbak. Kalo kemajuannya setiap hari seperti ini bisa lebih cepat.” Jawab dokter
Dira mengangguk senang.
“Ini pasti karna mbaknya ada disini, pasien jadi merasa tenang dan nyaman, jadi kondisinya juga cepat membaik.” Tambah suster.
Dira tersenyum malu. “Saya bersyukur banget sus kalo bener begitu. Kalo gitu biar saya disini tial hari, biar dia cepat sembuh.”
Dokter tertawa kecil. “Percaya atau tidak, rasa senang dan bahagia itu bisa mengurangi rasa sakit.”
Tak lama, dokter dan susterpun pamit pergi.
Dira tersenyum bahagia mendengar kabar itu, konisi Dan mengalami kemajuan pesat.
“Makasih, Diandra.” Ucap Dan pelan
“Ya.. Iya Dan, iya.” Kata Dira senang. Saking senangnya Dira sampai memeluk tubuh Dan yang masih sakit.
“Au.. Aau” Dan meringis kesakitan.
“Eh, eh, maap, maap..” Dira salah tingkah.
Setelah Dira menyuapi Dan makan. Dira kembali ke tempat tidur untuk istirahat.
“Dy, gue sayang sama lo.”
Dira yang mulai mengantuk menjawab dengan dengan samar. “Iya, Dan. Gue juga sayang.” Lalu tertidur seketika.
Malamnya Dira terbangun lagi. Orang yang pertama kali dilihatnya adalah Bu Liz. Dira langsung memasang wajah sebal.
“Ngapain ibu disini?” Tanya Dira ketus.
“Gantiin ayahmu, dia ada keperluan diluar sebentar.”
“Gak perlu, ibu pulang aja. Aku udah sehat.” Dira beranjak bangun.
“Ayahmu udah nitip kamu, aku gak bisa pergi.”
“Saya bukan anak kecil. Gak perlu ditungguin.”
“Tapi ini amanah.”
Suster masuk mengantarkan makan malam.
“Gantian jaga ya, bu sama bapak.” Kata suster dengan ramah.
“Dia bukan ibu saya, sus! Ibu saya udah meninggal.” Tukas Dira. Lalu pergi kekamar Dan.
Ibu Liz terdiam, tak bisa berkata lagi.
Dan sedang diam sendirian diatas kasur. Wajahnya terlihat bosan.
“Hai..” Sapa Dira
“Hai, Dy..” Jawab Dan sumringah. Kali ini suaranya terdengar lebih lantang
“Lo udah makan?”
Dan menggeleng. “Gue belom bisa makan sendiri. Kak Nadine blm datang.”
Dira tertawa kecil. “Sini biar gue yang suapin.”
Dan nyengir “Boleh banget.”
Dira menyuapi Dan perlahan. Dan terlihat lahap menyantap makanan rumah sakit yang rasanya hambar itu. Mungkin karna yang menyuapi adalah orang yang tersayang, jadi rasanya terasa lezat dilidah.
“Dy, jangan terlalu kasar sama ibu manager.” Ucap Dan sesaat setelah selesai makan.
Dira berhenti dari aktifitasnya memijit lengan Dan.
“Jangan ngomongin dia, aku males.”
Dan menghela nafas. “Oke.. Oke.. Aku gag ngomongin itu.”
Tiba2 kak Nadine datang membawa sekeranjang buah.
“Ciyee… Udah jadian ya?” Goda Kak Nadine.
“Apaan sih kak.” Jawab Dan malu.
“Gak usah lama2 pacarannya, cepetan nikah aja.”
Dira tersipu malu.
“Doain dulu adikmu cepet sembuh, baru ngomongin itu.” Kata Dan
Kak Nadine mendekati Dan lalu mengusap2 bahu Dan. “Iya adeku sayang, aku pasti mendoakanmu cepet sembuh, biar bisa cepet nyiapin pernikahan kalian.”
Dira hanya bisa tersenyum, bingung mau jawab apa.
“Kak Nadine, bawel!” Balas Dan.
Kak Nadine hanya tertawa melihat pasangan itu tersipu malu.