Keesokan harinya Dan mengajak Dira makan malam dikafe kawasan kemang. Dan yang baru pulang kerja masih mengenakan setelan kemeja rapi, sedangkan Dira yang sudah jadi pengangguran hanya memakai t-shirt putih, celana jeans robek dan sendal jepit berwarna biru.
“Kapan lo siap?” Tanya Dan sesaat setelah selesai makan.
“Siap apa?” Tanya Dira bingung.
“Siap dikirim ke Suriah.”
“Lha, dikata gue ISIS kali.”
“Siap gue lamar lah, secara resmi. Gue sama keluarga gue nanti dateng kerumah lo, nemuin lo dan bokap lo.”
Dira berpikir sejenak. “Emang bokap gue mau gitu? Secara gue masih marah sama dia.”
“Mau. Kemaren dia bilang, apapun keputusan kita, dia dukung aja. Nah, sekarang giliran lo. Kapan siapnya?”
“emm..”
“Kenapa?”
“Gue siap, kapanpun itu.”
Kali ini Dan yang berpikir sebentar. “Oke. Minggu ini gimana?”
Dira sedikit kaget tapi tak protes. “Oke, I’ll ready.”
“Oke deh. Nanti gue hubungi kak Nadine dan keluarga yang lain.”
“Oke bos.”
Berita inipun sampai ke telinga ayah dengan cepat. Ya, siapa lagi yang mengabarkan kalau bukan Dan. Ayah mulai mempersiapkan perlengkapan untuk acara lamaran akhir minggu ini.
Beberapa kali ayah meminta pendapat Dira, tapi Dira yang masih kesal hanya menjawab dengan mengangguk atau berdehem.
Tapi untuk yang satu ini Dira tak langsung mengangguk. Ayah meminta Liz untuk menemani Dira membeli kebaya.
“Gak, aku bisa sendiri kok, yah.” Tolak Dira
“Jangan pergi sendiri!” Kata ayah tak mau kalah.
“Aku bisa minta anter Dan.”
“Dan sibuk kerja, sibuk juga nyiapin untuk acara nanti, kamu tega ngerepotin dia juga?”
Dira diam.
“Memangnya kenapa harus sama dia sih, yah?”
“Karena ayah sibuk. Dan kita gak punya saudara lain dijakarta.”
Dira diam lagi. Ayah menganggapnya setuju. Ayah langsung menghubungi Liz dan memintanya datang.
Sejam kemudian Liz datang. Ayah langsung memintanya menemani Dira ke butik untuk memesan baju.
Sepanjang perjalanan dimobil Liz, Dira terlihat malas2an dan merasa tak nyaman. Liz sendiri hanya bisa diam, bingung harus bagaimana.
Dibutik, Dira juga terlihat mau tak mau memilih baju. Setengah jam berputar2 didalam butik, Dira tak benar2 mencari, dia hanya berjalan tak jelas.
“Ada yang cocok?” Tanya Liz.
Dira menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak bisa lama2 diluar. Dikantor banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.”
“Ya kalo gitu, ditinggal aja.”
Liz menghela nafas panjang. Tanpa babibu, ia berjalan menuju sebuah rak gaun kebaya modern berwarna cokelat muda dengan payet yang menghiasi kerahnya. Liz mengambil kebaya itu. Lalu mengambil kebaya model sederhana dengan warna senada, serta baju batik untuk pria dengan warna yang sama. Seragam!
Liz menuju kasir lalu membayar semuanya.
“Siapa yang mau lamaran sebenarnya.” Kata Dira sinis.
“Aku cuma mengikuti pesan ayahmu.” Jawab Liz berjalan kearah parkiran.
“Dan mengatur semuanya.”
“Terserah kamu mau bilang apa.”
Liz benar, dia hanya mengikuti pesan ayah. Kalo Dira tak mau memilih baju, biar Liz saja yang pilih, ayah tau warna favorit Dira, coklat. Maka Liz memilih warna tersebut untuk acara nanti.
Malamnya Dan bertandang kerumah Dira. Yang dimaksud sedari tadi hanya cemberut, tak bersemangat seperti biasanya.
“Kenapa lagi? Cemberut mulu kayak vantat panci tuh muka.” Ledek Dan
“Sebel. Ayah minta bantuan perempuan itu buat urus persiapan acara nanti.”
Dan mengacak2 rambut Dira. “Dalam situasi sekarang, kesampingkan dulu ego. Kita butuh bantuan banyak orang. Kita gak bisa nyiapin semua sendiri.”
Dira tersenyum. “Iya, Dan.”
“Nah gitu donk, jangan cemberut mulu, jelek mukanya.”
Dan mencubit pipi Dira dengan mesra.
Dan.. Hari yang dinantikan pun tiba, dimana Dan beserta keluarganya datang untuk melamar secara resmi.
Dira hari itu terlihat sangat cantik. Make upnya sempurna mengubah dirinya bak seorang putri raja. Dan sampai tak bisa melepas pandangannya dari Dira.
Acarapun berlangsung khidmat. Lamaran diterima. Tanggal pernikahan pun sudah ditentukan, yaitu tanggal 11 Januari, kurang lebih dua bulan lagi.
“Dira, itu mamamu ya? Cantik ya, kayak kamu.” Tanya salah seorang kerabat Dan.
“Oh bukan tan, dia cuma temen ayah saya.”
Tak sengaja Liz yang lewat dibelakang Dira mendengar semua itu, dirinya terlihat terluka dengan kata2 Dira, tapi dia mencoba untuk tetap tenang dan mengendalikan diri.
Dan datang menarik Dira menjauh dari keramaian.
“Lo cantik banget hari ini.”
“Makasih. Kan semua buat lo.”
“Gue sayang lo, Dy.”
“Gue juga, Dan.”
“Aduh, gue jadi berasa jatuh cinta lagi sama lo.” Kata Dan salah tingkah.
“Bisa aja lo.” Dira tertawa kecil.
Tiba2 kak Nadine muncul ditengah2 mereka.
“Ya ampyuuun.. Udah mau nikah, masih aja gue-elo-an, pliss deh. Ganti pake panggilan kesayangan kenapa.” Kata Kak Nadine langsung pergi.
Dira dan Dan tertawa.
“Beb?” Tanya Dan.
Dira menggeleng.
“Cinta?”
Dira menggeleng lagi.
“Yank?”
Dira terdiam seperti berpikir tentang suatu.
“Yonk.”
Dan bingung. “Dih, apaan itu yonk.”
“Yonk itu berasal dari kata sayonk atau sayank. Biar anti mainstream kita pake yonk aja, yah?”
Dan tertawa. “Oke.”
“Oke apa?”
“Oke sayong.”
Keduanya tertawa.
Sejak hari itu keduanya mulai sibuk mempersiapkan pernikahan mereka, terutama Dira dari pihak perempuan.
Tak jarang ayah meminta bantuan pada Liz untuk menemani Dira mencari sesuatu. Tapi seperti biasa, Dira bermalas2an kalau pergi dengan Liz. Dan seperti biasa akhirnya Liz yang mengambil keputusan barang mana yang dibeli, sesuai komando ayah.
Entah ada angin apa, saat perjalanan pulang dari butik, Dira tiba2 buka suara.
“Apa ibu benar2 mencintai ayah saya?” Tanya Dira tanpa menoleh yang bersangkutan.
“Ya, saya mencintai beliau.”
“Tapi usia kalian terpaut jauh, 10 tahun bedanya. Ayah 45 tahun, sementara anda 35 tahun.”
“Cinta tidak pernah memilih dimana dia akan hinggap.”
“Yaa.. Apapun alasannya. Jangan pikir akan mudah untuk masuk kedalam keluarga saya.”
“Apa ini ancaman?”
“Bukan. Ini hanya pemberitahuan.”
“Bagiku ini lebih terdengar seperti ancaman.” Kata Liz datar
“Terserah.” Jawab Dira membuang muka.