Pagi2 selesai sarapan, Dira dan Dan diminta berkumpul diruang tamu.
Ada ayah, nenek, paman dan…. Liz. Dira langsung malas melihat sosok itu..
“Ada apa?” Tanya Dira malas.
“Bulan enam nanti, ayah dan Liz akan melangsungkan pernikahan.”
Dira langsung terbelalak. “Menikah? Ayah bener2 mau nikah sama dia?”
“Iya. Ayah mau menikah dengan Liz.”
“Buat apa aku diajak kesini, cuma buat dengerin ini.”
Nenek menenangkan Dira dengan mengusap2 pundaknya. “Ayahmu ingin kamu tau, kamu kan anaknya.”
“Ayah sejak awal udah gak anggap aku anak, dia udah ambil keputusan sendiri, nek.”
“Ayah bingung sama kamu Dy. Ayah panggil kamu kesini, kamu blg buat apa, nanti kalo ayah gak panggil kamu kesini, kamu pasti blg ayah gak anggap kamu. Mau kamu apa sih?”
“Mauku, ayah gak nikah sama dia.” Tunjuk Dira kearah Liz.
Ayah melotot. “Jaga sopan santunmu, Dy!”
Dira beranjak bangun. “Sekarang terserah ayah deh mau gimana, terserah! Besok lusa aku ke Bali, pulangnya langsung tinggal dirumah Dan.”
Dira lalu pergi naik kekamarnya.
“Biar aku yang ngomong pelan2 sama dia.” Kata Dan menyusul Dira kekamar.
Dikamar. Dira sedang menangis diatas kasur sambil memeluk bantal gulingnya. Dan mendekat, membelai rambut Dira yang panjang.
“Jangan nangis.”
“Gue gak mau si manager galak jadi ibu gue! Gak mau!”
Dan memeluk Dira dengan erat. “Didunia ini ada beberapa hal yang kita gak bisa kendaliin, yaitu cinta.”
Dira masih menangis.
Dan terus membelai rambut Dira. “Gue gak akan banyak ngomong, semoga lo bisa cerna kata2 gue tadi.”
Dira melepaskan diri dari pelukan Dan. “Maksudnya gue harus terima pernikahan itu, gitu? Iya?”
Dan tak mau menjawab.
“Iya kan? Bener kan?”
Dan masih tak menjawab. Ia langsung memeluk Dira kembali.
“Iya kan maksudnya gitu?”
Dan kesal, ia langsung meraih wajah Dira agar mendekat kewajahnya, lalu mencumbu mesra istrinya itu.
Dira berontak melepaskan diri. “Orang lagi kesel juga. Malah dicium.”
“Biarin. Abisnya sebel liat istri ngomel mulu.”
“Cari moment tuh yg tepat donk, jangan pas lagi sewot gini.”
“Makanya jangan ngomel, biar gue bisa dapet moment yang pas.”
“Bikin gue biar gak ngomel makanya.”
“Yaudah sini gue ‘ehem’in.” Canda Dan
“Gak.. Gak sekarang, mood lg jelek nih.” Kata Dira sambil berjalan keluar kamar.
“Nenek pengen punya cicit tuh.” Kata Dan setengah teriak.
“Tunggu sampe gue mood begituan.” Dira keluar
Dan hanya tertawa kecil melihatnya.
Hari keberangkatan ke Bali pun tiba. Kalau kata orang2 sih bulan madu, kebetulan Dan dapat dua tiket pesawat pulang pergi dan sebuah hotel bintang 3 gratis dari saudaranya, bulan madu yg super irit.
Dira yang masih kesal tak mau pamit pada ayahnya. Begitupun dengan sang ayah yang mengurung diri dikamar saat Dira sedang berpamitan pada neneknya. Hanya Dan yang memberanikan diri menemui ayah.
“Kita berangkat dulu, yah.”
“Kalian hati2 ya. Titip anak itu Dan, kamu tau kan dia gimana.”
“Iya, yah. Maafin Dira ya.” Kata Dan merasa tak enak.
“Gak apa2 Dan. Sudah biasa dia begitu.”
Setelah menyalami ayah, Dan pun pergi.
Ditaksi Dira sudah menunggu dengan bosan.
“Yakin gak mau pamitan sama Ayah?”
Dira menggelengkan kepalanya.
“Seminggu diBali lumayan lama loh, gak takut kangen?”
Lagi2 Dira hanya geleng2.
“Yaudah. Pak kita jalan sekarang.”
Taksipun melaju meninggalkan kediaman Dira. Diam2 Dira melirik kaca spion yang memantulkan rumahnya dengan sedih. Ayahpun demikian, dari balik gerbang yg cukup tinggi, beliau tanpa kata meratapi kepergian anak semata wayangnya.