Dira dan Dan kaget bukan main saat mendengar ternyata ayah sudah membatalkan rencana pernikahannya dengan Liz.
“Kenapa, nek?” Tanya Dira bingung.
Nenek menghela nafas. “Sehari setelah keberangkatan kalian ke Bali, ayahmu menghubungi nenek, dia bilang mau membatalkan pernikahannya dengan Liz. Dia sedih karena kamu seperti membenci rencana pernikahan itu. Lalu dia pikir dari pada dia kehilangan anak semata wayangnya, lebih baik dia yang mengakhiri hubungannya dengan Liz. Hari itu juga dia mengakhiri hubungannya dengan Liz. Dan sejak hari itu juga ayahmu setiap hari kelihatan murung, tak bersemangat, kecelakaan kemarin pun, karna ketidak fokusan ayahmu berkendara. Pikirannya pasti sedang berkecamuk saat itu.”
Dira tertegun mendengarnya. Begitu juga Dan.
“Tapi bukannya waktu sebelum aku berangkat, ayah ngotot sekali ingin menikahi wanita itu, nek.” Kata Dira heran
“Kenyataannya, ditinggal kamu pergi beberapa hari saja hati ayahmu terasa sepi dan sakit, apa lagi waktu itu kamu sedang marah padanya, hatinya seperti diiris sembilu, dia merasa sudah kehilangan anaknya. Dia tak mau hal itu benar2 terjadi. Jadi, dia putuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Liz, dan tetap memilih kamu sebagai anaknya.”
“Ayah memilih Dira, dari pada Liz. Tapi hatinya berat untuk melakukan itu.” Tambah Dan.
“Setau nenek, ini kedua kalinya ayahmu terlihat sangat mencintai seseorang. Pertama pada ibumu, kedua pada Liz saat ini. Ayahmu bukan orang yang mudah jatuh cinta, kalau dia sudah mencintai seseorang, nenek yakin dia sudah jatuh cinta pada orang yg tepat.” Jelas nenek
Perasaan Dira jadi tak karuan mendengarnya. Entah ia harus senang karna ayahnya batal menikah dengan ibu manager galak, atau ia harus bersedih karna ayah sudah mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi Dira.
“Terus aku harus gimana sekarang, nek?” Tanya Dira, menangis.
“Sudah.. Sudah.. Lebih baik sekarang kita berdoa saja untuk kesembuhan ayahmu. Nenek mau ke mesjid dulu.” Kata nenek beranjak bangun lalu pergi.
Dan merangkul Dira, seolah memberi semangat pada istrinya itu.
“Yank?” Kata Dira
“Kenapa?”
“Apa semua ini salah gue?” Tanya Dira dengan tatapan kosong.
“Apa maksudnya sih?” Tanya Dan tak mengerti.
“Ayah membatalkan pernikahannya. Ayah kecelakaan karna gak fokus sama pikirannya. Apa semua salah gue?”
Dan memeluk Dira untuk kesekian kalinya.
“Enggak.. Bukan salah lo.. Ini semua udah takdir yg harus ayah hadapin. Gue yakin ayah kuat.” Jawab Dan, sambil mengusap2 pundak Dira.
“Tapi kenapa gue ngerasa, awal dari semua musibah ini adalah karna gue.”
“Jangan suka mengira2, bikin capek hati. Mendingan sekarang qt berdoa buat ayah.”
“Iya.” Jawab Dira sedih
Dira berjalan menuju ruangan sang ayah dirawat inap, diikuti Dan yang tak sedetikpun meninggalkannya.
Didalam ruangan, Liz masih setia menunggui ayah sambil menggenggam tangannya erat. Wajahnya menyiratkan banyak harapan agar ayah bisa segera sadarkan diri.
“Ayah butuh seseorang, Dy. Seseorang yang benar2 menyayanginya dengan tulus. Bukan cuma orang yg bisa ngurus, tapi yg bisa sayang sama dia sepenuhnya” Kata Dan pelan.
Dira menoleh pada Dan dengan wajah penuh tanya.
Dan melanjutkan. “Manusia gak bisa hidup sendiri, Dy. Apa lagi dengan kondisi seperti ayah sekarang. Punya anak cuma satu, udah nikah dan ikut suami, gak bisa sepenuhnya kasih perhatian buat beliau.”
“Gue tau itu, gue ngerti yank.” Jawab Dira
“Ayah gak bisa hidup sendiri selamanya. Terima kenyataan itu.”
“Terus gue harus gimana?” Tanya Dira pelan.
“Pahami ayah.”
Dira terdiam, seperti tertusuk oleh kata2 Dan.
“Gue ke kantin dulu, cari minum.” Dan berlalu pergi.
Dira kembali memandangi ayahnya dari luar ruangan. Liz menyadari itu, ia pun bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar. Diambang pintu, Liz berpapasan dengan Dira.
“Belum ada perkembangan.” Kata Liz berlalu pergi.
Dira hanya menunduk. Setelah Liz pergi, Dira masuk duduk disamping ayah, memegangi lengannya sambil mengajaknya bicara.
“Ayah.. Maafin Dira.. Dira kekanak2an, Dira egois. Dira yg bikin ayah jadi begini ya? Kalo ayah bangun, ayah boleh marahin Dira sepuas hati ayah.” Dira menangis lagi.
Dan sedang minum kopi sendirian dikantin. Tak lama kemudian Liz datang sambil membawa sebotol air mineral. Ia pun langsung duduk dibangku yang berhadapan dengan Dan.
“Hidup ini kadang penuh kejutan, ya.” Kata Liz memulai pembicaraan.
Dan tersenyum. “Iya, bu. Karna hidup itu penuh misterinya.”
“Saya gak pernah sangka kalo salah satu dari karyawan saya adalah anak dari orang yg saya cintai. Dan saya juga gak sangka kalo sikap keras saya dalam bekerja akan menumbuhkan kebencian yg sangat dalam pada anak itu.”
“Maafin Dira, bu. Sifatnya memang agak keras. Tapi saya yakin dia sebenarnya gak seburuk itu.”
“Ya saya tau itu, Dan. Saya juga maklum kalo dia jadi benci seperti itu pada saya, saya terlalu keras jadi pemimpin.”
“Saya yakin bu, suatu hari hatinya akan luluh dan bisa mengerti kenyataannya.”
“Saya dan mas sudah sepakat kok, Dan. Kami batalkan pernikahan, demi tetap terjalinnya hubungan yang baik antara Dira dan ayahnya.”
“Sebenarnya gak perlu sampai dibatalkan, bu. Ini hanya soal waktu Dira bisa menerima ibu sebagai pasangan ayahnya.”
“Ah, sudahlah Dan. Saya dan mas sudah memikirkan ini matang2 kok. Hati anak itu sulit sekali terbuka untuk saya. Dimatanya saya hanya seorang pemimpin yang keras. Hanya itu.”
Dan jadi merasa tak enak. Padahal pribadi Liz tidak sekeras sikapnya saat bekerja. Liz hanya seorang wanita yg tangguh, yang tidak suka dengan sesuatu yang lambat dalam pekerjaan. Tapi hal itu malah jadi boomerang untuk kisah asmaranya. Semua sangat kebetulan. Dira yang kebetulan agak lemah fisik, bertemu atasan macam Liz yang keras dan tegas. Ditambah sifat Dira yang keras, semuanya jadi kacau.