Sorenya ayah dan anak itu bercengkrama dihalaman belakang, halaman yang penuh dengan bunga dan tanaman. Sejuk.
Entah atas dasar apa tiba-tiba teringat akan sikap Dan yang khawatir atas kondisinya beberapa hari yang lalu. Dira bertanya tentang itu, tapi tanpa menyebutkan nama Dan.
“Ayah, kalo ayah khawatir itu biasanya untuk siapa?” Dira garuk-garuk kepala, bingung dengan pertanyaannya sendiri.
“Ayah gak ngerti pertanyaanmu.” Ayah tertawa.
“Maksudku, biasanya lelaki itu khawatir sama siapa?”
Ayah terdiam sejenak, mulai mengerti pertanyaan anaknya.
“Mau lelaki atau perempuan, sudaj pasti mereka punya rasa khawatir sama orang yang mereka sayangi.”
Dira terdiam. Yang mereka sayangi? Apa Dan menyayanginya lebih dari teman? Ah tidak mungkin, Dan pasti sayang padanya namun hanya sebatas seorang teman. Dira tak mau kegeeran.
“Kamu kenapa?” Tanya ayah heran
“Gak apa-apa, yah.” Dira tertawa kecil.
Tiba-tiba ponsel ayah berdering. Ayah bediri menjauh dari Dira untuk menjawab telepon. Aneh, jarang sekali ayah mendapat telepon dihari libur.
Yang lebih aneh lagi, setelah menerima telepon, ayah pamit pergi pada Dira tapi tak bilang mau kemana, Dira hanya mengiyakan tanpa bertanya lebih lanjut.
Dan ketika Dan datang mengajaknya minum kopi dicafe langganan, Dira pun langsung mengiyakan, dari pada dia termakan sepi, sendirian dirumahnya.
Tapi sungguh malang nasib Dira, sampai dicafe Dan melarangnya minum kopi, Dira hanya boleh memesan jus buah atau makanan lain, tidak untuk kopi.
Dira cemberut.
“Kenapa? Marah?” Tanya Dan tersenyum
“Pengen kopi.”
“Gak.”
Entah kenapa Dira juga nurut saja waktu Dan memesankannya jus stroberi.
“Eh, itu kok kayak ibu manager galak.” Kata Dira memandang kesudut ruangan.
Dan ingin menengok, tapi tangan Dira menahan pipinya. “Jangan nengok.”
Ya, itu ibu manager galak. Sedang duduk manis sambil menikmati kopi. Pakainya santai dengan jeans dan kemeja putih, tidak formal seperti saat bekerja, sepatunyapun sepatu kets. Sepeetinya dia sedang menunggu seseorang.
“Yang gue denger, dia itu perawan tua.” Ucap Dira
“Dasar tukang gosip.” Ledek Dan
“Beneran, kemaren gue ngobrol sama anak keuangan yang duluuu bgd pernah satu divisi sama dia dibandung.”
“Ya terus kalo dia masih perawan kenapa?”
Dira nyengir “Ya gak apa-apa. Gak aneh kalo jadi perawan tua, orang galak, ketus dan sombong gitu.”
“Hati-hati lo, kalo ngomong jangan asal. Lo juga masih single belon nikah.” Ledek Dan
Dira memukul Dann.
“Ya kalo gue nanti keburu tua, kan ada elo. Elo aja yang nikahin gue, Dan. Gimana?” Ledek Dira.
Dan yang sedang meneguk kopinya tersedak. Kaget mendengar kata-kata Dira.
“Lo kenapa?” Dira tertawa
“Gak. Gak apa-apa.”
Dira kembali melayangkan pandangannya kesudut ruangan. Ibu manager galak ternyata sudah pergi, mungkin dijemput oleh teman atau pacarnya. Entahlah, perginya tidak ketahuan oleh mata Dira.
“Btw, bokap gue sekarang kalo libur sering pergi, bete gue. Dirumah jadi sendirian.”
“Mungkin bokap lu lagi ada bisnis, Di.”
“Gak tau juga, tiap gue tanya dia gak mau jelasin lebih lanjut.”
Dira menghela napas.”Ya semoga bukan ngelakuin hal buruk aja.”
“Gak mungkin kalo hal buruk, pasti hal penting. Om Wilyo gak mungkin ngelakuin hal buruk.”
Ponsel Dan berdering~
Dan menjawab. “Halo”
tapi kemudian matanya berkaca-kaca. Telepon ditutup.
Dira heran. “Kenapa?”
“Mama..” Jawab Dan terisak.
“Mama lo kenapa?”
“Mama meninggal. Serangan jantung. Jenazahnya lagi dalam perjalanan pulang dari Bogor.”
Dira tesentak. Suasana hening seketika.
Dan. Anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal di jogjakarta bersama suaminya. Ayahnya tinggal terpisah (bercerai) dari ibunya.
Sang Ibu memiliki restoran di Bogor, jadi lebih sering tinggal di Bogor, beliau hanya pulang seminggu sekali untuk menengok Dan dan neneknya yang tinggal berdua dirumah besar itu. Dan kali ini ibunya pulang, untuk selama-lamanya.
Isak tangis terdengar dari keluarga almh yang menunggu kedatangan jenazah. Dan juga menangis tapi tidak histeris. Dira sejak tadi duduk disampingnya, merangkulnya, memberinya kekuatan.
Tapi, tangis Dan pecah saat jenazah sang ibu tiba. Begitupun dengan keluaga yang lain. Dira pun tak kuasa menahan kesedihan, karna bagaimanapun Dira mengenal sosok ibu pekerja keras itu.
Kesedihan Dira lebih karena melihat sahabatnya menangis histeris. Dan menangis menjerit, seperti tak kuasa menahan kesedihan dan kesakitannya. Dan seperti belum rela melepas kepergian sang bunda.
Dira dan beberapa kerabat Dan, menarik Dan dari hadapan jenazah, membawa Dan kedalam kamar untuk ditenangkan. Dira disana menemaninya. Mereka hanya berdua, yang lain mulai sibuk mempersiapkan pemakaman.
Dan masih menangis. Dira tak kuasa melihat air mata Dan. Dira menarik Dan kedalam pelukannya yang hangat.
“Udah cukup nangisnya, Dan. Kasian mama lo, nanti dia gak tenang perginya.”
Dira mengusap2 bahu Dan yang lebar.
“Gue tau ini sakit, gue tau ini perih, tapi ini kenyataannya, Dan. Semua orang pasti akan kembali. Lo harus terima kenyataan itu.”
Perlahan tangis Dan mulai mereda. Masih terisak tapi tidak histeris seperti tadi. Dira menemaninya menghadap jenazah, Dira terus disampingnya, menggenggam tangannya, agar dia kuat dan ikhlas. Menangis histeris seperti tadi adalah hal tidak baik untuk melepas kepergian seseorang.
Kakak Dan yang baru tiba dari jogja terlihat lebih tabah dan ikhlas. Wanita berhijab itu dengan khusyuk membacakan doa untuk mendiang ibunya.
Pagi harinya jenazah baru dimakamkan. Langit tiba-tiba mendung, seolah ikut bersedih, tapi untung saja tidak sampai hujan, hanya mendung saja.
Selesai pemakaman baru lah Dira pamit pulang. Tubuhnya lelah juga semalaman tidak tidur, menemani Dan yang sedang dilanda duka. Dan juga sudah mulai terlihat lebih tenang.