Memarkir kuda besinya di balik pagar pembatas beratap dedaunan pohon rindang. Membuka helm di kepalanya kemudian mengalihkan pandangan ke seberang jalan raya, menghadirkan senyum ramah kepada penghuni bangunan di depan rumah sakit. Senyum sapa pada gadis pengajar kursus komputer microsoft office, yaitu aku. Ya, senyum itu ditujukan untukku. Untukku yang kini telah menggila karena degup jantung yang semakin cepat memompa darah, mengalirkan cairan merah ke seluruh tubuh lebih deras. Untukku yang kini telah menggila karena senyumnya. Menghadirkan rona merah di pipi. Hingga tanpa kusadari iapun telah melangkah menjauhi motor maticnya memasuki gedung bercat hijau mint tersebut. Langkahnya, punggungnya, semuanya terlihat indah bagiku. Andai lelaki itu memiliki rasa yang sama, mungkin aku akan melayang, membumbung tinggi. Mengangkasa bersama gerombolan awan yang berarak mengelilingi langit.
Namun entah, setelah kejadian kemarin malam rasanya ingin kukubur dalam-dalam perasaan ini. Setelah aku tahu bahwa dia Raihan Natajaya, seorang anak dari sahabat lama bapak. Dia yang kemarin malam datang bersama kedua orang tuanya untuk melamar anak bapak. Bukan aku, ternyata bukan aku yang dia lamar. Melainkan mbak Nanda, kakakku. Ternyata selama ini dia mendekatiku hanya untuk menggoreskan luka, ternyata tujuannya hanya untuk mendekati kakakku sendiri. Seakan tertusuk belati tak kasat mata. Remuk.
Hancur sudah harapanku untuk bersamanya. Ah, kenapa tak kusadari ini sedari dulu? Padahal aku jelas tahu, tak mungkin membina kasih sebelum mbak Nanda menikah. Itu yang selalu Bapak katakan. Aku tidak boleh mendahului kakakku untuk berumah tangga.“Ora elok, nduk (Pamali, nak)” Katanya.
Semakin kucoba untuk melenyapkannya, rasa itu justru semakin mendarah daging, sepertinya enggan untuk enyah dari dalam diri. Semakin sakit hati ini tercabik oleh kenyataan, semakin dalam pula cinta ini mengakar. Hati ini dihujani meteor panas bertubi-tubi.
Dan entah kenapa, kepercayaanku akan kekuatan doa mulai luntur. Tuhan tidak mendengar doaku, atau aku yang salah berdoa? Aku ingin kami dipersatukan dalam ikatan suci keluarga. Tapi bukan seperti ini yang aku mau. Sepertinya Tuhan tidak paham maksud dari doa yang aku panjatkan setiap hari. Ah, ternyata Tuhan tidak semengerti itu, Tuhan tidak sebaik itu terhadap hamba-hambaNya. Nyatanya Tuhan tidak mengerti diriku. Tuhan tidak mau tahu betapa perihnya hati ini menerima Raihan sebagai kakak ipar.
*****
Detik berlalu, purnama telah bergulir. Dan kini tiba saatnya hari pernikahan Raihan dan mbak Nanda. Aku tak tahu bagaimana aku harus bersikap. Haruskah aku bahagia? Munafik. Atau haruskah aku bersedih? Sepertinya tak pantas jika seorang adik bersedih atas pernikahan kakaknya. Lalu aku harus bagaimana? Terlalu naif memang jika aku berlapang dada menerima kenyataan bahwa cinta tak harus memiliki. Tapi inilah takdir. Sesakit apapun itu, harus aku terima. Dan saat ini, aku masih berdiri mematut di hadapan cermin, memandangi diri yang mencoba untuk ikhlas menerima kenyataan.
Mencoba menyadari bahwa inilah jalanku, menguatkan diri dengan sebuah harapan, mungkin ada seseorang yang lebih baik dari Raihan. Mencoba menciptakan sebuah senyum, senyum yang terpaksa aku rekahkan. Hingga sebuah suara, tepatnya sebuah teriakan mengagetkanku. Itu suara ibu. Memanggil-manggil nama Nanda. Kemudian dengan tergesa membuka pintu kamarku.
“Nindy, mbakyumu kabur,” Kalimat pertama yang ia utarakan setelah melihatku.
Wajah ibu pucat, tampak kebingungan dan diliputi kecemasan. Kemudian bergegas menarik tanganku menuju kamar mbak Nanda. Benar, kamarnya kosong. Hanya ada bapak yang terduduk lemas memegangi kepalanya.
Bagaimana mungkin mbak Nanda pergi saat hari pernikahannya? Apa yang dia pikirkan? Tidakkah ia tahu kalau hal ini akan mempermalukan keluarganya? Kalau memang tidak setuju dengan keputusan Bapak, kenapa tak sedari dulu dia menolak pernikahan ini? Bodoh. Bagaimana mungkin aku lalai pada perasaan kakakku sendiri? Sayangnya, penyesalan ini sudah terlambat. Dua bulan ini aku terlalu sibuk dengan perasaanku sendiri, tanpa tahu apa yang sebenarnya mbak Nanda rasakan. Aku terlalu sibuk menghibur diri sendiri, tanpa tahu apa yang mbak Nanda inginkan. Aku terlalu menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan, sehingga aku lupa untuk sekedar saling bertukar pikiran, untuk sekedar menanyakan perihal pernikahannya. Ah sudahlah. Aku harus mencari gadis itu.
Segera kuhubungi mbak Nanda melalui aplikasi berwarna hijau. Nihil, tidak ada jawaban. Aku coba menghubunginya melalui nomor seluler, tidak aktif. Ke mana aku harus mencarinya? Otakku buntu, tak mampu berfikir jernih.
“Bapak malu, bu! Natajaya itu sahabat bapak. Mau ditaruh di mana muka bapak kalau mempelai wanitanya malah kabur?”
Wajah bapak memerah, rahangnya mengeras hingga terdengar gemeretak giginya. Tangannya mengepal menahan amarah, menghembuskan nafasnya dengan kasar sembari membuang selembar kertas yang telah dia remas. Ibu memungutnya, kemudian memberikan secarik kertas berisi pesan dari mbak Nanda itu kepadaku. Isinya cukup singkat, hanya sebuah pesan untuk tidak mencarinya karena dia baik-baik saja. Wanita paruh baya itu berurai air mata, tak henti menangisi sulungnya. Aku berusaha menenangkan dengan memeluk dan mengelus-elus punggungnya. Kuberikan segelas air agar ibu merasa lebih tenang. Dan aku masih terus mencoba menghubungi mbak Nanda.
“Bagaimana ini, pak? Dari tadi Nindy telpon Nanda tapi nomernya ndak aktif terus,” kata ibu semakin gelisah.
Keluarga kami telah berkumpul di ruang tengah. Namun tak seorangpun yang berhasil menemukan mbak Nanda. Hingga keluarga Raihan sebagai mempelai pria tiba, mbak Nanda belum juga kami temukan.
“Tapi pernikahan ini harus tetap dilanjutkan, Rahmat!” Kata pak Natajaya kepada Bapak setelah mengetahui bahwa calon menantunya telah pergi menyisakan kekecewaan.
Bapak hanya terdiam mengernyitkan dahi. Mungkin masih mencerna perkataan sahabat lamanya itu. Bapak tahu betul, jika pernikahan ini benar-benar dibatalkan, maka bukan hanya keluarga kami yang harus menanggung malu, melainkan keluarga besar pak Natajayapun harus menanggungnya.
“Begini,” pak Natajaya nampak berfikir sebelum melanjutkan kata-katanya.
Beliau menyarankan agar mengganti mempelai wanitanya dengan gadis lain. Tuhan… apalagi ini? Siapa yang akan menggantikan mbak Nanda? Pikiranku melayang, membayangkan lelaki itu bersanding dengan gadis lain, hingga sebuah tepukan di bahu mengejutkanku.
“Bagaimana? Kau mau kan, Nindy?” Tanya ibu Natajaya kepadaku.
“E…eh, apa?” Terbata aku menjawab. Bahkan pertanyaan dari ibu Raihan belum aku mengerti. Dan Raihan masih menunduk.
“Iya, kamu mau kan menjadi pendamping Raihan?”
Sontak aku terkejut mendengarnya. Aku memang ingin bersanding dengan pria manis itu, tapi bagaimana dengan mbak Nanda?
Bapak masih terlihat lesu. Dia bersikeras menolaknya, karena menurut bapak, aku tidak boleh melangkahi kakakku untuk menikah. Keluarga Raihan terus berusaha membujuk bapak, bahkan paman dan bibiku pun ikut serta membujuknya. Hingga akhirnya bapak menyetujui ide tersebut.
“Tapi bagaimana dengan mbak Nanda? Dan… mas Raihan?” Aku menatap pria itu. Dia tersenyum, kemudian meminta maaf karena ternyata dia telah mengetahui rencana mbak Nanda untuk kabur sejak semalam.
“Tadi malam Nanda menelponku. Dia tidak menginginkan pernikahan ini karena dia tahu kalau aku mencintaimu, Nindy. Sejak awal aku memang berniat untuk melamarmu, tapi Pak Rahmat, bapakmu menginginkan aku untuk menikahi Nanda. Karena Nanda adalah kakakmu dan dia belum menikah. Akhirnya ayah mengiyakan permintaan bapak. Aku tak kuasa menolak, sebab menurut ayah, Nanda juga gadis yang baik, dan ayah sangat menghormati bapak karena beliau adalah sahabat karib ayah.” Raihan menatap lekat mataku.
“Jadi, maukah kau menikah denganku, Nindy?”
Aku tak tahu harus berkata apa. Netraku berkaca-kaca. Rasa hangat menjalar di sekujur tubuh, desir itu kembali. Debar itu kini berirama menciptakan melodi yang indah dalam dada. Maafkan aku Tuhan, terlalu berburuk sangka padaMu. Ternyata Tuhan sangat mengerti, Tuhan begitu baik. Tuhan mengabulkan doa hambaNya dengan caraNya dan pada waktuNya. Terimakasih Tuhan, telah menghadirkan rasa yang mengajarkan banyak hal kepadaku. Terimakasih telah menyatukan cintaku, meski dengan cara seperti ini, menjadi Mempelai Pengganti.