“Eh Fahmi ngagetin aja lo, dari mana aja sih lo?”
“Ngelamunin apa sih saaan ah, Misa ya? Gua abis dari Toilet”
“Apaan sih lo ah ngawur, Yaelah toilet”
“Emang kenapa bro? Lu nanya ya gua jawab dong”
“gak apa-apa”
“Eh san, liat tuh sana”, tanya Fahmi sambil melirik ke arah Misa.
“Apaan?”
“Lu gak liat? Itu Misa san?”
“Iya gua liat, terus?”
“Mending lu samperin dah, ayo cepetan”
“Ah gak mau ah, palingan nanti gua juga dicuekin sama dia”
“Ah kita tidak tau sebelum kita mencoba, ayo cepet-cepet, lu cemen banget sih”
“Kalo gua udah kesana nanti gua harus ngapain?”
Lalu Fahmi mendorong-dorong pundakku.
“Yaelah elu, ya ngobrol apa kek, nanyain kabar, nanyain sesuatu, gua tau bro, dari lubuk hati lo, banyak pertanyaan dan pembicaraan buat si Misa itu, ayoo cepetan dia keburu pergi”,
“Halaaaah, iya deh iya bawel lu”
Ku perlahan-lahan berjalan ke arah tempat dimana Misa tengah duduk, lalu aku duduk di sampingnya. Dan memesan makanan.
“Eh Misa, mau makan Mis?”, tanyaku
“Mmmm, enggak…”, jawab Misa dengan wajah yang dingin dan berbicara tidak melihat ke arahku.
“Hah? Enggak? Terus ngapain kamu disini?”, tanyaku dengan tersenyum untuk memancing perasaan Misa.
“Cuma duduk aja kok”
Misa masih menjawab dengan nada yang dingin. Lalu ku mencoba untuk bertanya padanya.
“Ohh, eh Misa kamu kenapa sih?”
“Kenapa apanya?”
“Yaaa, Kamu kok jadi berubah gini sih? Kamu tuh kayak orang yang lagi banyak masalah tau?”
Misa menghela nafas panjang. “Masalah? Ada sih… segelintir”,
“Ceritain dong, siapa tahu aja aku bisa bantu gitu hehe”
“Tapi jangan disini san”
“Dimana dong?”
“Di rumah aku aja, pulang sekolah, bisa kan?”
“Okee bisa”
“Bagus deh”
Aku dan Misa mengobrol lumayan lama disana, sampai-sampai tak terasa bel masuk sudah berbunyi, dan disanalah, senyuman dan wajah Misa kembali terang. Ku menjadi senang dengan melihatnya seperti itu. Disaat pulang, ku bersama-sama dengan Misa menuju ke rumahnya, ku berjaga-jaga agar tak terlihat oleh Sari, atau membuat Sari curiga. Karena ku takut terjadi fitnah atau salah paham nantinya. Beberapa menit kemudian, kami tiba di rumah Misa. Rumah yang sangat besar dan mewah, wajar saja karena dia adalah seorang anak dari pengusaha sukses. Misa membunyikan bel rumah di pintu depannya. Lalu keluarlah Ibu Misa.
“Assalamualaikum”, sahut Misa
Lalu Ibu Misa membukakan pintu.
“Waalaikumsalam, eh Misa udah dateng sayang”, ucap Ibu Misa.
“Iya mah, hehe, oh iya mah ini Ihsan”, ucap Misa
Meskipun ku pernah ke rumah Misa, namun ku tak pernah bertemu dengan orang tuanya, karena orang tua Misa sering ke luar kota. Baru kali ini ku bertemu dengan Ibunya.
“Ohh nak Ihsan, jadi ini yah yang sering dibicarain Misa itu”, ucap Ibu Misa dengan tersenyum ke arah Misa.
“Hah?”, jawab Misa dengan muka yang kebingungan dan malu.
“Ihhhh mamah apaan sih, enggak kok ihsan enggak hehe”
“Iya deh iyaa Misa mamah ngerti”
“Mamah sihh”
“Ayo masuk masuk nak Ihsan, kok malah di luar aja sih”
“Hehe iya makasih tante”
Kami pun mulai masuk ke ruang tamu rumah Misa, ku duduk di sebuah sofa yang besar itu, dan Misa duduk disampingku.
“Oh iya san, mau minum apa?”
“Eh gak usah gak usah repot repot”
“Sudahlah, aku bawain sirup yah”
Karena ada perasaan tidak enak jika menolak permintaan Misa, jadi ku turuti saja kehendak Misa.
“Hmmm yaudah deh”
Misa pun berdiri dan berjalan menuju dapur untuk membuatkan ku minuman. Setelah ku berbicara sebentar dengan Misa, dan pergi ke rumah Misa, ku menjadi teringat kembali akan Misa. Karena ialah yang menjadi mentari terbit dalam hatiku ini.
Misa datang membawa minumanku.
“Ini…”, sahut Misa sambil menyimpan minumnya di meja
“Makasih”
“iya”
“Ohh iya, kamu mau cerita apa?”, tanyaku spontan sambil meminum sirup yang dibuatkan oleh Misa.
“Langsung to the point nih ceritanya?”, jawab Misa
“Ya emang apa lagi”
“Ya udah deh.. mmm, dari mana ngomongnya ya”
“Dari mana aja deh cepetan”, tanyaku pada Misa yang membuatku semakin penasaran.
“Ini san, mmm, besok kamu gak akan ketemu aku lagi”, ucap Misa
“Hah? Kenapa Mis? Kamu mau pergi?”, jawabku dengan perasaan yang terkejut dan sedikit tidak menyangka.
“Aku mau pindah sekolah”
“Pindah kemana? Kok cepet amat sih?”
“Aku mau lanjutin sekolah di Inggris san, kebetulan orang tua aku kerja disana, jadi terpaksa aku juga harus ikut kesana”
Ku hanya terdiam saja mendengar hal itu, ku tak tahu harus berkata apa lagi.
“Kamu kenapa san?”, tanya Misa
“Lantas, apakah Cuma gara-gara itu, sikap kamu jadi berubah seperti ini?”
“Salah satunya itu”
“Lalu yang lainnya? Apa?”
Misa hanya terdiam saja lalu menundukkan kepalanya, tidak menjawab pertanyaanku, dan ia tampak sedih, terlihat jelas dari ekspresi wajahnya itu.
“Misa? Kamu kenapa?”
“Kalau aku pindah sekolah, apalagi ke inggris, pasti itu akan sangat lama..”, ucap Misa dengan suara yang agak gugup sambil memainkan tangannya.
“Iya terus?”
“Yaa aku gak bisa sama kamu lagi”
“Yaa terus kenapa kalau gak sama aku”
“Aku kesepian”
“Kesepian? Kok?”
“Jujur aja ya san, selama ini aku itu jatuh hati sama kamu, aku selalu menunggu kamu supaya kamu nembak aku, gak mungkin kalau cewe nembak duluan…”,
Betapa terkejutnya ku mendengar kata-kata itu dari Misa, seorang wanita yang sudah lama ku jatuh hati padanya.
“Misaa aku…”
“Dan sekarang sudah terlambat san, kamu sudah tak harus berkata-kata lagi, aku berharap dari awal jika kamu nembak aku, mungkin aku bisa bersama-sama sama kamu meskipun sebentar, tapi nyatanya…”
Misa berkata dengan suara yang agak terbata-bata karena ia menangis dan air mata membasahi pipinya. Itu sangat memubuatku sedih dan menyesal, kenapa aku tak dari awal saja menyatakan cinta kepadanya, ku belum berani tuk mengungkapkannya, dan memang penyesalan itu di akhir.
“Misaa, sebenernya aku juga suka sama kamu dari dulu, tapi aku gak yakin”, ucapku tuk mencoba menjelaskannya.
“Gak yakin? Kenapaa?”
“Soalnya aku baru pertama merasakan jatuh cinta, lalu derajat kita juga berbeda, jadi aku tak berani”
“Ihsaaaann….”
“Maaf ya Misa, aku menyesal”
“Kamu gak usah menyesal san, kamu gak salah, wajar aja kalo memang seperti itu… itulah namanya cinta, tak tau apa yang akan terjadi sekarang atau yang akan datang..”
Ku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, bingung ku untuk berkata apa.
“Misaaa”
“Iya”
“Kamu bener-bener mau pergi besok? Kamu gak mau salah perpisahan sama teman-teman?”, tanyaku dengan rasa penasaran
“Gak ada waktu san, lagian mereka juga gak akan sedih kok kalau aku pergi juga”,
“tapi setidaknya kamu bilang lah Mis”, bujukku sambil melihat mata Misa yang masih basah berlinang air mata.
“gak ah san, aku mau pamit ke kamu aja”,
“Yaaa,,, ya udah misa, aku pulang dulu”
“Ya udah deh”
Ketika berjalan menjauhi pintu, aku.. langsung berbalik…
“Misa, ada satu orang yang bersedih dikala kamu pergi”
“Siapa?”
“Pastinya, seseorang yang mencintaimu, itu adalah aku”
Hari itu adalah hari terakhir aku bersama Misa. Itu juga adalah kata-kata terakhir aku untuk Misa yang akan pergi jauh ke Inggris, dan itu yang terakhir kalinya aku melihat senyuman Misa…
Ku bersekolah, membantu orang tua seperti biasa, untuk beberapa hari ini aku selalu memikirkan Misa, dan disela-sela memikirkan Misa, terselip juga nama Sari disana. Itu membuat dilema perasaanku.