“Oh iya permisi, mas tolong dong satu tangkai bunga mawar merah yang paling cantik yah?”, tanya pelanggan itu padaku sambil melihat-lihat bunga mawar yang dijajakan disana. Ku menyimpan buku sejenak untuk menghampirinya.
“Iya mbak, ini silahkan mba”
“Iya makasih.. eh Ihsaan?!”
“Haaah?”
“Ihsan yah, ini aku Misa..”
Ternyata itu adalah Misa, yang sudah pulang dari Inggris.
“Haah Misa? Kamu udah pulang Misa?”
“Iya aku udah pulang, aku libur bentar nih dari kuliahan hehe”
“Ohh gitu”
Ku sangat tidak menyangka bisa bertemu kembali dengan Misa, setelah sekian lamanya ku benar-benar tak dapat berhubungan dengan Misa.
“Ihsan, kamu jadi jualan bunga?”, tanya Misa sambil tersenyum.
“Mmmm iya, ayahku sakit gak bisa jalan jauh, jadi aku yang harus jaga kios deh..”
“Ohh kasihan sekali,, kamu lagi baca apa nih?”
“Lagi baca inii materi kuliahan, mau sidang..”
“Ohhh kamu kuliah? Waahh mau sidang lagi.. hebat hebat”
“Iyaa, dari hasil jual bunga inilah modal kuliah aku hehe”
“Heeee kamu hebat banget sih, udah bisa nanggung biaya kuliah sendiri”
“Hehe yaa namanya juga usaha lah, dari pada gak ada gitu.. hahaha”
“Iya yah bener hahaha”
“Kamu kok berubah ya Mis, sampe-sampe aku sempet gak inget…”
“Ohh iya tah? Perasaan enggak deh, kamu tuh yang berubah san”
Kemudian Misa mengeluarkan kameranya dan memotret diriku tanpa sepengetahuanku.
“Kameranya bagus, baru ya?”
“Ini? Enggak kok ini udah lama”
“Ohh kamu emang suka foto?”
“Iyaa, hobi aku emang suka foto-foto, dari SMA juga aku suka”, jawab Misa sambil memotret-motret bunga di kiosku.
“Tapi perasaan pas SMA kamu jarang foto-foto atau bawa kamera gitu deh”
“Bukan jarang, tapi kamunya aja yang gak tau hahaha”
“iya yah, iya mungkin hehe”
“udah dulu ya san, aku ada urusan, nanti aku kesini lagi ya… kangen aku belum abis hehe”, sahut Misa sambil bergegas pergi dari kiosku.
“Oke deh, aku tunggu”
Ku tidak menyangka akan bertemu lagi dengan Misa, wanita yang pertama yang aku cinta, apakah ini yang dinamakan jodoh memang gak kemana. Tapi setelah melihat Misa, hatiku seperti terisi kembali, kekosongan yang melandaku selama bertahun-tahun akhirnya terisi juga, dengan orang yang sama.
Keesokan harinya..
“Ihsaaan”, sahut Misa menyapaku dari kejauhan. Terihat baju kaos pendek dengan celana panjangnya, dan sangat cantik dilihat dari kejauhan.
“Eh Misa, datang lagi”
“Iya sesuai janji aku kemaren, dan aku beli setangkai mawar lagi”, sambil mengambil mawar yang ada di depan kios.
“Oke deh siap”
“Makasih, mulai sekarang aku mau jadi langganan kamu loh”
“Ohh gitu ya, hehe, kalau boleh nanya kamu beli bunga ini buat siapa? Pacar ya?”, tanyaku sambil menyubitnya dengan perasaan yang ingin tahu.
“Mmmm,, bukan”
“Buat siapa dong”
“Buat sahabat aku yang selalu baik, perhatian, dan bisa mengerti aku”
“Siapa emang”
“Kamu juga kenal, dia adalah Sari”
“Sari? Tapi kan dia..”
“Aku juga udah tau, makanya ini pembalasanku untuknya, karena aku pergi tanpa pamit kepadanya”
“Jadiii, kamu berikan mawar ini untuknya?”
“Iyaaa, Sari kan suka sekali dengan bunga mawar, akan kusimpan ini diatas makamnya, sambil ku bacakan doa, agar selalu tenang disisiNya”, sahut Sari sambil memegang erat mawar dan menciumnya.
Mendengar cerita Misa mengenai Sari, membuatku sedih akan masa laluku dengan Sari. Ku teringat akan kenangan-kenangan yang kulaui bersama Sari, suka duka dengan Sari kulalui bersamanya.
“Kamu kenapa san? Kamu sedih ya? Kamu kangen sama Sari kan?”
Ku hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaan Misa. Aku tidak bisa berkata-kata, mataku mulai mengeluarkan air mata. Tiba-tiba, Misa menggenggam tanganku dan dia memelukku dengan sangat erat.
“Gak apa-apa san, aku juga sedih, aku juga kangen banget sama Sari, tapi sudah kenyataannya seperti itu, jadi kita harus menerimanya”
“Iya Mis”
“Sudah san, jangan sedih lagi, kamu sedih membuat aku semakin sedih”, sambil melepaskan pelukannya dan mengelus-ngelus pundakku.
“Iya aku gapapa kok, aku cuma teringat aja”
“Ya udah deh aku mau kesana dulu, kamu mau ikut gak san?”
“Aku gak ikut deh, aku takut sedih mengingat masa lalu itu”
“Ya udah deh, dadah ihsaaaan!”
Tiba-tiba.
Jepret suara kamera Misa, dan ternyata Misa memoto aku yang tengah sedih.
“Haduh Misa Misa”
—ooo—
Hari sudah mulai gelap, aku harus menutup kios. Ketika aku akan pulang, Misa datang kepadaku.
“Ihsan, kamu udah tutup?”
“Eh Misa, iya soalnya sudah sore nih”
“Ohh gitu”
“Kamu ngapain kesini, masih kangen ya sama aku?”, tanyaku sambil tertawa bercanda pada Misa.
“Ihhh kamu bisa aja, eh san kita jalan-jalan yuk, udah lama kan kita gak jalan lagi”
“Mmmm boleh, iya udah lama banget”
Ku langsung menuruti permintaan Misa untuk mengajaknya jalan-jalan. Aku akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar dengan Misa, itung-itung ini melepas rinduku padanya, dan juga menenangkan otakku juga. Hehehe
Sepanjang jalan, Misa memotret-motret hal yang menarik, ya itu karena hobinya, jadi ya wajar saja. Ketika kami tengah berjalan di suatu jalan kecil yang dikelilingi oleh sawah-sawah, ku bertanya pada Misa.
“Misa?”
“Iya”
“Boleh nanya gak?”
“Kamu udah punya pacar?”,tanyaku dengan perasaan gugup karena takut jika Misa sudah mempunyai pacar. Pacar yang sangat mapan, tampan, dan yang membuat Misa sangat bahagia.
“Hah? Pacar?”
“Iya”
“Aku gak pacaran san”, jawab Misa dengan entengnya sambil tertawa kearahku.
“Ohh gitu, kenapa emang Mis?”
“Mmmm gapapa, gak ada yang cocok aja san”
“Ohh gitu”
“Eh san kita makan yuk, tuh disana”, ujar Sari sambil menunjuk satu restoran di ujung jalan kecil yang dikelilingi sawah itu.
“Yuk yuk, kebetulan aku juga laper nih”
Aku dan Misa tiba di sebuah restoran, aku sempat ragu-ragu masuk restoran, karena biasanya itu mahal-mahal, tapi pas dilihat, uangku cukup lah. Ku dan bisa bergegas untuk duduk di kursi restoran, kami duduk saling berhadapan dan memulai untuk memesan makanan.
“Eh san”
“Iya Misa”
“Nanti gak lama lagi, aku mau pergi lagi san”
“Ke inggris lagi?”
“Iya, soalnya kuliah aku kan belum selesai”
“Lalu kamu selesai kuliah kapan?”
“Yaaa palingan dua tahun lagi, Kamu sih enak baru tiga tahun udah mau sidang, soalnya kamu juga pinter sih”
“Hehe biasa aja kok”, sahutku sambil tertawa.
“Kuliah disana itu, susah banget san”
“Susah gimana?”
“Ya susah aja, gak bisa dijelaskan dengan kata-kata san”
“Ohhh, emang separah itu yah?”
“Parah banget san”
“Kapan kira-kira kamu ke inggris?”
“Paling yaa lusa”
“Ohhh okedeh hati-hati ya”