Aku sedang menikmati secangkir kopi bikinan Jarwo di pantry, ditemani seorang Paul yang sedang membahas tentang perkembangan pembangunan tol Trans Jawa, yang selalu kuamini realisasinya biar gampang kalo aku mudik. Sambil dibumbui candaan-candaan ala kami berdua, rasanya damai banget kalo suasana kantor tanpa bos begini. Sampe tiba-tiba Ayu muncul dari balik pintu dan ngabarin kalo ada yang mencariku.
“Siapa, Yu?” tanyaku.
“Orang lantai 9 kayaknya, Mbak. Aku nggak kenal,” jawab Ayu sambil ikut duduk di samping Paul.
“Bininya Endi kali,” ceplos si Paul sambil cengengesan.
Aku melotot padanya. Lagian ngapain juga Mbak Muti kesini?
Tapi tebakan Paul ternyata benar. Saat aku keluar dari pantry dan berjalan menuju mejaku, terlihat Mbak Muti sudah duduk di kursi kerjaku sambil memainkan ujung jilbabnya.
“Hei, Mbak. Apa kabar?” sapaku berusaha biasa aja. Padahal dalam hati aku wondering, ada apa lagi ini???
Mbak Muti berdiri dan cupika-cupiki sama aku. Akupun mempersilahkannya duduk lagi sambil menyeret kursi milik Indra, dan duduk disitu.
“Baek, Ra. Kamu gimana?” balasnya.
“Yaaa gini deh. Kerjaan setumpuk, ngurus anak, suami,” jawabku sambil nyengir. Mbak Muti mengalihkan pandangannya sebentar ke arah meja kerjaku yang memang “agak” penuh dengan kertas-kertas dan tumpukan dokumen.
Dia tersenyum sebentar sebelum akhirnya berkata, ” Mbak mau pamit, Ra. Sekalian biar kamu tau juga kabar soal Endi.”
Mendengar nama “Endi” disebut lagi aku jadi agak deg-degan. Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian di hari ulang tahun Mas Endi waktu itu, dan sejak itu aku nggak lagi tau kabarnya apalagi berhubungan dengan dia.
“Mo kemana, Mbak? Trus Mas Endi kenapa?” tanyaku ragu sambil menatapnya.
“Kami sudah putuskan untuk berangkat bareng ke Manila,” jawab Mbak Muti dengan wajah berseri.
Aku terbelalak, surprise.
“Serius???” tanyaku exciting. Artinya rumah tangga mereka udah baikan donk ya?
“Iya… Beasiswa S2 yang disini aku pending. Yaa.. Agak ribet sih ngurusnya, apalagi pasti nanti ada penalti yang harus dibayar. Tapi nggak papalah, mungkin sebaiknya sementara ini aku nemenin suamiku sekolah dulu,” lanjutnya.
“Terus 4 taun ntar status Mbak disini gimana?” tanyaku masih exciting, tapi campur kuatir karena Mbak Muti harus pergi dalam waktu yang lama. Ini kan bukan kantor punya nenek dia?!
“Cuti di luar tanggungan negara. Udah kukonsultasiin sama bos, bisa koq. Kalo nyari tugas belajar disana kan nggak bisa, karena aku udah terlanjur jadi mahasiswa S2 disini,” jawabnya lagi.
Whatever it is, aku ikut senang.
“Ya Allah… Syukur deh, Mbak. Jadi udah baikan nih ya sama Mas Endi? Trus Vian ikut kan?”
Mbak Muti mengangguk sambil tersenyum melihatku.
“Aku makasih banget ya, Ra… Kalo waktu itu kamu nggak kirim file recording ke aku mungkin aku nggak akan pernah tau apa yang dirasa dan dipikirin suamiku selama ini. Aku memang salah dan terlalu posesif, sampe akhirnya pelan-pelan ketulusan hati suamiku luntur, dan dia bener-bener terjebak lagi dalam masa lalunya.”
“Udah nggak usah dibahas lagi, yang penting sekarang semuanya udah normal lagi kan?”
Mbak Muti mengangguk lagi.
“Jadi masih jealous nggak nih sama Rara?” godaku.
“Kalo aku cemburu aku pasti benci kamu, dan kalo aku benci ngapain sekarang aku disini?” jawabnya sambil memegang kedua tanganku.
Aku ketawa keras banget saking excitingnya. Pertama karena masalah rumah tanggaku dan Mas Endi udah selesai, kedua karena rencanaku yang ngerekam pembicaraan sama Mas Endi waktu itu berjalan sempurna, dan ketiga karena berhasil godain Mbak Muti. Saking ngakaknya aku sampe-sampe si Paul nyambit aku pake sendok dari arah pantry, untungnya nggak sampe kena kepalaku.
“Rara seneng banget deh, Mbak. Selamat menempuh hidup baru disana ya…”
“Iya, makasih banyak ya, Ra.”
“Jadi kapan berangkat?”
“Besok malem. Ini hari terakhirku ngantor.”
“Waaaah… Udah mo pergi aja, Rara belum siapin kado buat kenang-kenangan nih?!” balasku agak kecewa.
“Udah ngga usah repot-repot.”
Mbak Muti terlihat mikir bentar. “Mmmm… Ra?” ujarnya setelah itu.
“Iya?”
“Kita masih bisa keep contact kan?” tanya Mbak Muti dengan nada agak ragu.
“Pasti doooonk… Rara juga kan kepengen tau kabar ponakan Rara ntar, udah bisa apa, udah sekolah apa belom,” jawabku.
Mbak Muti pun tersenyum senang.
“Tapi Mbak, tolong kalo ada apa-apa yang kontek-kontekan kita aja ya? Nggak usah sampe antara Rara sama Mas,” lanjutku.
Mbak Muti nampak maklum dan mengangguk. Nggak lama dia pun pamit dan aku melepas kepergiannya setelah menitipkan kata “Salam” untuk suaminya.
Setelah Mbak Muti menghilang dari ruanganku, aku kembali ke pantry dan bergabung lagi dengan Paul dan Ayu.
“Seneng banget lo kayaknya?” tanya Paul yang memperhatikan binar-binar di mataku. Asedaaaap…
“Case closed, Ul!” jawabku singkat. Cukup pake kode-kodean aja soalnya si Ayu kan nggak tau apa-apa soal masalahku?!
“Naaah gitu dooonk. Itu baru namanya temen gue yang ‘waras’,” balasnya sambil menoyor kepalaku.
Aku masih ketawa-ketawa sambil berdiri bersandar di jendela pantry, melihat pemandangan di luar yang sebenernya sih nggak ada indah-indahnya. Apa yang indah kalo yang bisa kita liat di luar cuma jalan protokol dengan mobil-mobil yang nggak pernah absen berjejer sambil sesekali berjalan pelan di tengah kemacetannya? Tapi berhubung suasana hatiku lagi seneng, jadi pemandangan yang terlihat dari lantai 8 ini bisa saja tetap membuatku adem ayem. Dari mobil-mobil itu aku bisa melihat bahwa sejauh apapun dia berjalan, semacet apapun traffic yang harus dilewatinya, meski sampe harus bersabar memutar roda sedikit demi sedikit, tapi dia akan tetap dan terus berjalan. Kemana? Ke tempat dia seharusnya pulang, ke rumah pemiliknya. Sama seperti aku, sejauh apapun aku sudah berjalan, ujung-ujungnya aku akan selalu kembali pada pemilik hatiku di awal semula, Angga.