My Beautiful Angel Episode 10

Chapter 10 (Rencana Untuk Rani 1)

POV Anton

Sialan memang Rani. Makin hari makin kelewatan. Tinggal menerima Vina kok susah banget. Wajar kali aku lelaki punya istri dua. Yang tidak wajar itu perempuan kalau bersuami dua.

“Mas, dari tadi kita muter-muter di jalanan mau kemana sih tujuannya?” tanya Vina.

“Ya aku nggak tahu mau kemana. Uang juga nggak ada!” bentakku.

“Udah aku bilang, kita nikah diam-diam aja. Kamu malah yakin banget kalau, Rani bakal nerima pernikahan kita!” lanjutku kesal.

“Kok kamu jadi nyalahin aku sih, Mas? Aku nggak mau lah nikah cuma jadi istri simpanan!” sungutnya. Bingung aku, setelah menikahi Vina, rasanya kesialan langsung menimpa.

“Vin, sekarang kita kemana?” tanyaku.

“Cari kontrakan, Mas. Mana baju juga nggak ada. Semua ada di rumah, Rani!”

Sial! Aku lupa. Mana uang aku juga tidak punya. Sekarang harus bagaimana ini?

“Nyari kontrakan di mana? Tidak ada uangnya,” ketusku.

“Kok bisa nggak ada, Mas? Ya Allah, kamu kok bodoh kelewatan! Bos toko tapi kere? Makanya kalau punya otak dipake biar nggak dikuasai istri. Rugi aku nikah sama kamu! Rugi! Gembel nggak punya apa-apa!” hinanya. Aku menarik nafas panjang dan berusaha mengontrol emosiku.

Aku menepi sejenak dan memberhentikan laju sepeda motorku. Lalu, aku pun menyuruh Vina turun terlebih dahulu. Tidak mungkin aku mengendarai motor dalam keadaan emosi. Vina duduk di trotoar pinggir jalan, begitupun dengan aku. Aku memandang wajahnya yang terus ditekuk.

“Desas desus perempuan kedua yang mudah diajak selingkuh, dan suka menggoda itu memang karena harta ya? Jadi laki-laki itu memang harus berhati-hati dengan perempuan seperti kalian ini? Inget, kamu yang bilang cinta sama aku! Kamu yang menggoda aku, berlenggak-lenggok mencari perhatian. Kamu juga yang agresif! Bukan aku yang mengejar kamu! Kalau kamu maueoas dari aku silahkan! Aku tidak rugi, Vina! Toh aku juga sudah puas menikmati tubuhmu! Aku tidak punya keluarga! Tampan! Kalau aku dapat pekerjaan, aku bisa mendapatkan perempuan lain yang bahkan lebih dari kamu!” Kutunjuk wajah Vina dengan jari telunjuk-ku.

“Bukan begitu kok, Mas. Aku memang beneran cinta sama kamu. Cuma rasanya nggak rela aja, Mbak Rani yang nikmati semua harta hasil kerja keras sama kamu. Aku cinta sama kamu tulus, bukan karena materi. Cuma namanya perempuan, uang itu kan segalanya. Kalau nggak ada uang, seperti ini. Kita kebingungan,” lirihnya.

“Aku minta maaf, kalau udah nyinggung perasaan kamu. Tapi aku beneran sayang dan cinta sama kamu. Jangan tinggalin aku ya. Please. Sekarang, kita pulang ke rumah orang tuaku saja, Mas,” ucapnya.

“Ayok,” ucapku. Segera kami pun kembali menaiki motor.

****

Pukul 20.00 malam, kami sampai di rumah orang tua Vina. Awalnya, mereka menyambut senang kedatangan kami. Namun, setelah lama kami duduk dan mengobrol hangat, Vina mengutarakan niat kami datang ke rumah mereka, entah kenapa, wajah yang tadinya cerah berubah menjadi masam. Kalimat yang berisi pujian, berubah menjadi kalimat sindiran.

“Duh, kalau saya tahu anak saya setelah nikah sama kamu akan bernasib seperti ini, lebih baik aku nikahkan dengan, Tono,” ujar Ibu mertuaku. Dulu, aku saat datang ke rumah orang tua Rani juga dalam keadaan seperti ini, tapi orang tua Rani memberiku semangat. Sebelum mendapat pekerjaan, mereka juga menyuruh aku dan Rani untuk tinggal di rumahnya. Sekarang aku sadar, harta menjadi patokan di keluarga ini.

“Asalamualaikum.” Suara orang mengucap salam membuat mertuaku berhenti berbicara.

“Walaikumsalam,” jawab kami serempak. Mbak Santi yang datang bersama suami dan anaknya.

“Tumben, San. Malam-malam begini datang?” tanyanya. Desti langsung berlari ke pangkuan Bapak mertua.

“Eh ada, Anton juga,” sapa Mbak Santi manis.

“Iya, Mbak,” jawabku seraya menyalaminya. Mas Galang terlihat lusuh dan tak bersemangat. Seakan menyimpan banyak masalah. Mungkin wajahku saat ini sama seperti wajahnya. Sudah perut juga bunyi terus, sampai di tempat mertua tidak ditawari makan. Uang juga tidak ada … Allah ….

“Bu, aku sama Mas Galang mau tinggal sementara di rumah ini,” ucap Mbak Santi membuatku dan Vina terbelalak.

“Yang bener saja kamu, San! Loh, kalian setelah menikah kok justru merepotkan kami?!” ucap Ibu mertua.

“Halah, Bu. Aku sama Mas Galang juga baru merepotkan Ibu. Numpang Sampai kami dapat uang untuk sewa kontrakan, Bu. Belum bayar, susah ditagih terus. Atau kamu mau pinjami, Mbak uang, Ton?” Mbak Santi beralih menatapku.

“Nanti, buat bayarnya, Mbak bisa kerja di toko kamu,” lanjutnya. Boro-boro minjami uang. Aku saja tidak memiliki seperak pun.

“Maaf, Mbak. Bukannya saya tidak mau meminjami, saya sendiri tengah kepusingan. Kami datang ke ruamah Ibu dan Bapak juga karena ingin numpang tinggal sementara waktu,” balasku. Vina mengangguk membenarkan ucapanku.

“Masa bos tidak punya uang, Ton?” Mbak Santi berucap seakan tak percaya.

“Benar, Mbak. Kami tidak punya uang. Uang Mas Anton dikuasai semua sama istri pertamanya. Dia tidak mau membagi sedikitpun untuk, Mas Anton.” Vina menimpali dengan ketus.

“Suami kok mau-maunya disetir istri,” ucap Mbak Santi. Mas Galang terlihat menyeringai.

“Jadi yang mau menginap disini, itu siapa? Jangan semuanya menumpang di rumah Ibu dan Bapak. Puny anak habis menikah malah merepotkan! Percuma nikah, mending sendirian saja!” sungut Ibu mertua dengan wajah yang ditekuk.

“Mas, kita keluar saja. Ayok,” ajak Vina. Wajahnya terlihat sedih, matanya memerah dan mulai ber-embun. Aku jadi tidak tega melihatnya seperti itu.

“Kami tidak jadi menumpang di tempat Ibu. Terimakasih atas sambutannya,” ucapku seraya menggandeng tangan Vina dan mengajaknya keluar. Malam ini kami kembali mengitari jalan dengan menaiki motor. Angin malam begitu terasa menusuk ke tulang. Ditambah perut yang keroncongan akibat lapar. Uang seribu perak pun aku tak punya. Masa iya, aku balik ke rumah lagi.

“Mas,” lirih Vina. Nada suaranya terdengar serak. Aku menggenggam tangannya menggunakan tangan kiriku.

“Sekarang kita mau kemana? Balik ke rumah kamu saja, Mas. Lagi pula kamu ‘kan punya hak,” lirihnya. “Setidaknya minta sedikit untuk bekal usaha.”

“Daripada balik ke rumah, mending kita jual saja motor ini.”

“Wah, ide bagus itu, Mas.” Senyum mengembang di bibirnya saat ku-arahkan kaca sepion ke wajahnya.

*******

Sudah hampir 2 jam kami berkeliling. Waktu juga telah menunjukkan pukul 23.45 malam. Beberapa tempat jual beli motor bekas dan baru, tidak ada yang mau membelinya, dengan alasan takut dibilang penadah karena motornya tidak memiliki surat lengkap. Ya, BPKB motor ini disimpan oleh Rani. Ah, menyesal juga aku membiarkan Rani mengurus semua keuangan kalau akhirnya seperti ini. Menyesal juga aku menggunakan nama Rani untuk pembelian semua aset. Kenapa tidak menggunakan namaku saja? Ah! Dasar bodoh aku ini.

Apa aku bersikap baik saja padanya dan meminta maaf? Persetan dengan rasa malu. Biarlah urusan harga diri ku-kesampingkan dulu. Yang terpenting aku bisa mengambil hati Rani dan kembali merebut semuanya. Susah juga ternyata hidup tanpa uang.

“Vin, kita pulang lagi saja ke rumahku. Kalau bisa, kamu minta maaf sama, Rani. Ambil hati dia supaya kita bisa mengambil kembali lagi harta yang seharusnya jadi milikku. Sudah anak tidak punya, tapi harta diambil semua.”

“Kamu bisa ‘kan bersikap baik pada Rani? Tidak masalah sekaligus kita harus memohon. Kesampingkan dulu saja harga diri kita,” lanjutku.

“Mas, kenapa tidak kita bunuh saja, Rani? Kamu setuju?” Vina memberikan saran gila. Sementara aku mendengar sambil fokus mengendarai motor menuju jalan pulang ke rumah.

“Kalau ketahuan ditangkap polisi bagaimana?”

“Rumah kamu dipasang CCTV?” tanyanya. Aku menggeleng.

“Itu lebih mudah, Mas. Jadi gini, setelah kita bisa kembali masuk ke rumah kamu, kita duplikat saja kuncinya,” saran Vina.

“Lalu?”

“Setelah itu ….” Vina membisikkan ide brilian. Aku mengangguk mantap.

“Kamu sangat cerdas, Sayang.” Cara yang Vina bisikkan membuatku lebih mudah untuk menyingkirkan Rani.

****

“Inget, kamu harus bisa bersikap ramah. Pokoknya akting sebagus mungkin supaya bisa mengambil hati, Rani,” ucapku kala kami sudah berada di depan gerbang rumah.

“Hah! Sial! Pintu gerbangnya digembok!”

“Tekan bel saja, Mas!”

“Oh iya.” Segera kutekan belnya. Beberapa kali kucoba, masih belum ada yang membukakan. Maksudnya apa ini? Apa Rani tahu kalau yang datang aku? Tapi tidak seharusnya dia bersikap seperti itu. Harusnya meski dia tahu yang datang aku, dia tetap membukakan pintu untukku.

Sial!

Sudah hampir setengah jam aku terus menekan bel, namun Rani ataupun Winda masih tidak keluar untuk membuka gerbang. Kelewatan. Mana banyak nyamuk di luar ….

“Mas, istri kamu beneran jahat ya! Kelewatan!” ucap Vina.

“Biar saja, toh umurnya sudah tidak panjang lagi. Biar saja dia bertingkah seenaknya! Aku jadi tidak sabar untuk cepat-cepat mengirimkannya ke neraka.

Sakit hati aku dengan sikap Rani. Biar saja kalau sampai dia tidak membukakan pintu gerbang, awas saja dia … kupercepat kematiannya .


My Beautiful Angel

My Beautiful Angel

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kisah seseorang yang menikahi karyawannya tanpa sepengetahuan sang istri pertama, Anton yang baru saja membawa pengantin baru ke rumahnya harus berhadapan istri pertama dengan celotehan tanpa henti dari Rani, yang sejatinya sangat judes dan tidak peka dengan keadaan disekitarnya , tetapi bagaimana pun Anton akan tetap mempertahankan pengantin barunya ,Vina dengan meminilasir masalah sekecil mungkin, tapi sayang karena tiga-tiganya edan mungkin ini akan jadi rintangan yang tidak mudah untuk mereka. Dapatkah Anton menjalani hidup sekaligus mempertahankan keluarganya ? Yuk dibaca kisahnya lebih lanjut...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset