Sudah hampir menjelang subuh hingga kami mulai tertidur di depan gerbang seperti gelandangan, Rani ataupun Winda masih tidak membukakan pintu gerbang. Ya Tuhan, rasanya semakin geregetan dan ingin mencekik lehernya.
Vina juga berkali-kali mengeluh. “Bukan kebahagiaan yang aku dapatkan, Mas. Justru terluntang-lantung begini,” grutunya seraya menyenderkan kepala di pundakku. Aku juga tidak tega melihatnya seperti ini. Bukan kenyamanan yang mampu aku berikan, melainkan penderitaan. Sungguh, aku tidak pernah menduga kalau akhirnya akan seperti ini, dan Rani berubah seperti itu.
***
Panas sinar matahari dan silaunya tepat menyorot ke wajah kami. Aku menutup wajahku dengan tangan. Ternyata hari telah pagi dan kami tertidur di sini. Semua orang yang berlalu lalang di sekitar komplek menatap kami dengan aneh. ART para tetangga yang melakukan rutinitas pagi untuk membeli sayur pun terkadang memperhatikan tanpa berkedip. Malu sekali aku rasanya.
“Sayang, bangun!” Aku menepuk pipi Vina. Vina pun langsung menggeliat.
“Mas, belum dibuka juga pintu gerbangnya?” Aku hanya menggeleng. Ya Allah, perutku juga sangat lapar.
“Mas wajah kamu pucat banget.” Vina menyentuh mukaku. Lalu meletakan telinganya tepat di perutku.
“Kamu lapar ya, Mas?” tanya Vina. Aku mengangguk, perutku sudah sangat mual, mungkin asam lambungku naik. Vina berdiri dan kembali menekan bel. Namun, hasilnya masih nihil.
“Allahuakbar, kelewatan banget mereka,” lirihnya. Aku sudah lemas bahkan tak kuat lagi untuk berbicara.
Tin …! Tin …!
Suara klakson mobil mengagetkan kami. Oh, ternyata Rani sedang pergi. Pantas saja dia tidak membukakan pintu gerbangnya. Emosiku tidak lagi membuncah seperti tadi malam. Mbak Winda turun dari mobil, lalu mmebuka pintu gerbang. Dia hanya diam saja tidak menyapaku. Atau mungkin pura-pura tidak melihat keberadaanku?
Aku menyingkirkan motor yang menjadi penghalang untuk mobil Alphard yang tengah dikendarai oleh istriku masuk. Tanpa berhenti terlebih dahulu, mobil itu langsung dipacu dan diparkir di depan halaman.
Mbak Winda terlihat akan kembali menutup pintu gerbang. Namun, dengan cepat aku menahannya hingga pintu itu tak jadi tertutup. Keadaanku saat ini benar-benar sangat lemah dan butuh makanan sebagai sumber tenaga.
“Mbak, tolong. Biarkan kami masuk,” pintaku. Mbak Winda hanya diam saja. Tak lama Rani turun dari mobil dan datang menghampiri kami.
“Sedang apa kalian di sini?” tanya Rani. Aku menatap mata perempuan itu dengan tatapan sayu. Memohon belas kasihan yang masih istriku itu.
“Ran, tolong biarkan kami tinggal di rumah ini. Jadi pembantu dan tukang kebun pun tidak masalah. Maafkan kesalahanku, Ran. Aku mohon. Aku menyesali perbuatanku.” Segera aku bersimpuh di kaki Rani. Begitupun dengan Vina. Dia langsung meminta maaf pada Rani.
“Kalian bangun dong. Jangan seperti ini. Aku malu banyak orang yang melihat,” ucapnya. Kami pun segera bangun.
“Kami mohon, Rani. Biarkan kami tinggal dulu di rumah ini. Sampai aku dan Vina dapat pekerjaan. Rani, kamu telah menguasai semuanya sendirian. Tidak apa-apa meski kami harus membayar,” lirihku. Rani terlihat menatap ke Kakaknya. Mungkin meminta pendapat.
“Inget, Ran. Kamu dan aku masih suami istri. Kita belum bercerai. Kamu tidak takut berdosa?” ucapku mengingatkannya.
“Kalian boleh tinggal di rumahku,” jawabnya dengan senyum yang manis. Rani yang sangat jijik pada aku dan Vina juga tiba-tiba merangkul pundak Vina.
“Ayok masuk,” ajaknya ramah. Aku dan Vina pun merasa bingung dibuatnya. Apa dia memang Iba dengan wajah lusuh dan air mata yang keluar dari netra Vina yang sayu? Entahlah, tapi Raniku telah kembali menjadi Rani yang lembut. Apa mungkin ini memang bukti Rani masih mencintaiku? Sejatinya, lima tahun berpacaran, dan empat tahun pernikahan memang menumbuhkan cinta yang kuat. Meski ketika emosi aku ingin membunuh Rani. Entah kenapa, melihat sikapnya yang berubah manis, aku enggan untuk meluruskan niatku.
Sampai di dalam rumah, Ayu langsung pamit pada Mamanya untuk segera gegas ke kamarnya.
Kami pun langsung berkumpul di ruang depan TV. Karena ingat Rani sangat jijik terhadap aku dan Vina, kami pun memilih untuk duduk di lantai. Sedangkan Rani dan Mbak Winda duduk di sofa.
Grutukkk suara nyaring dari perutku berbunyi keras. Mungkin bisa terdengar oleh mereka. “Kenapa kalian duduk di lantai?” Rani bertanya dengan lembut. Aneh, apa jurus ibaku ini berhasil? Kalau begitu aku bisa hidup enak lagi.
“Tapi kamu jijik sama aku dan Vina, Ran.” Rani menarik nafas panjang lalu tersenyum pada kami. “Duduklah di sofa. Itu karena aku sedang emosi saja,” ucapnya. Vina pun menatapku sambil tersenyum. Kemudian kami beranjak dan duduk di atas sofa.
Grutukkk… grutuk … grrutuk …!
Perutku kembali mengeluarkan suara nyaring. Memang aku sangat lapar dan lemas. Nafasku juga sudah sangat bau karena tidak makan ataupun minum. Bukan hanya nafas, badan pun sama, bau keringat dan sangat terasa tidak enak. Ingin sekali rasanya mengguyur tubuh dengan air dingin.
“Kamu lapar, Mas?” tanya Rani. Aku dan Vina mengangguk bersamaan.
“Dari kemarin kami tidak makan dan minum. Hanya sarapan saat kamu memberi uang 50 ribu.” Iya, uang lima puluh ribu hanya cukup untuk makan berdua. Itupun karena aku tidak merokok. Andai aku merokok mungkin akan kurang uang segitu. Itu saja cukup untuk sekali sarapan.
“Kasian,” ucap Mbak Winda. Kami hanya menunduk.
“Di meja makan masih ada makanan sisa kami beli kemarin. Kamu hangatkan saja, Vina. Kalian makan,” ucap Rani. Aku dan Vina mengucapkan terimakasih lalu segera bergegas ke dapur. Apalah aku ini, kenapa harus merendahkan diri dihadapan istriku sendiri. Kalau aku tidak melakukan ini, kasihan Vina harus terlantar. Setidaknya, kami bisa di sini sampai keadaanku kembali normal. Mengingatkan atas hak untuk membuatnya mengerti kesalahannya pun percuma. Untuk saat ini Rani benar-benar sangat sensitif. Jadi lebih baik aku merendah.
***
“Mas kayaknya rencana kita berhasil,” ucap Vina.
“Rencana apa?” tanyaku.
“Rencana kita masuk ke rumah ini lagi. Untuk merebut kembali harta kamu dan menyingkirkan, Rani,” jawab Vina seraya menuangkan SOP iga yang telah dipanaskan ke mangkok.
“Aku menyendok nasi sambil memikirkan ucapan Vina. Menikmati suapan demi suapan mengingat moment indah bersama Rani, hingga saat aku menjalin hubungan dengan Vina.
“Vin aku mau bertanya. Boleh?” tanyaku. Vina mengangguk sambil mengunyah makanannya.
“Kalau seandainya saat aku kembali kaya, dan aku khilaf lalu menduakanmu, apa yang akan kamu lakukan?”
“Aku akan membunuhmu, Mas! Kuhajar perempuan yang menjadi selingkuhanmu! Ku-potong alat vitalmu, supaya kamu tidak berguna lagi menjadi laki-laki!” Jawaban yang keluar dari mulutnya membuatku terbelalak.
“Lantas kenapa kita yang harus membunuh, Rani? Bukankah seharusnya kita yang dibunuh? Mungkin perasaan Rani juga sama sepertimu!” pungkasku.
“Diakui atau tidak, kita memang telah menyakiti perasaannya. Kamu perempuan, kamu manusia biasa, aku yakin masih ada nurani di hati kecil kita sebagai manusia yang normal. Membunuh menurutku bukan solusi yang tepat. Aku tidak mau menghabiskan waktu di penjara. Tidak masalah menurutku kalau kita harus berjuang dari nol.” Vina terdiam. Dia menyingkirkan piring yang berisi nasi. Lalu menengguk segelas air putih. Entah apa yang dia pikirkan.
Melihat pada diri Mas Galang, faktanya dia seperti tidak bahagia hidup dengan Mbak Santi. Sedangkan Mbak Winda kehidupannya lebih sukses setelah bercerai dari Mas Galang. Padahal Mas Galang dulunya seorang manajer di sebuah BANK. Entah kenapa bisa tertarik pada, Mbak Santi yang hanya Karyawan konter biasa. Apa mungkin rezeki Mbak Winda dan Mbak Santi berbeda? Semu cerita itu kutahu dari Rani.
“Awas ya, Mas. Kalau sampai kamu selingkuh dari aku! Pokoknya aku mau ambil semuanya yang udah kita capai. Dan aku bakal tendang kamu jauh-jauh! Wuussh!” ucap Rani kala itu sambil mendekap erat tubuhku. Ya Allah, kenapa aku merindukan, Rani.
“Mas, aku sayang banget sama kamu. Aku tidak pernah menyangka kita bisa berada pada titik ini. Aku bangga, Mas sama kamu. Aku juga bisa menunjukkan pada orangtuaku, kalau aku memilih lelaki hebat sebagai imamku.”
“Semua ini juga karena bantuan istri terhebatku. Aku bangga punya istri seperti kamu.” Ku kecup keningnya saat itu. Aku pernah memujinya, kalau aku bangga memiliki dia sebagai istri. Tapi semua itu hanya kenangan.
Perasaan cintaku pada Rani, kian surut saat kehadiran Vina dalam hidupku. Vina selalu memberikan sensasi berbeda. Dia membuat duniaku seakan merasa indah. Hingga aku rasa aku mencintainya, dan menginginkan dia menjadi milikku seutuhnya. Aku mulai membohongi Rani. Awalnya kebohongan kecil, tapi lama-lama menjadi kebohongan besar.
Jujur saja, aku tidak mau seperti Mas Galang. Dulunya sukses, sekarang untuk membayar kontrakan rumah pun tak mampu. Aku tidak mau menceraikan Rani sampai kapanpun. Aku juga tidak rela kalau Rani bisa semakin sukses setelah bercerai dariku nantinya. Aku tidak akan lagi mengancam untuk menceraikannya. Ternyata wanita jika sudah bangkit dari keterpurukan, bisa mencapai pada titik kesuksesan dan kebahagiaan. Itulah hebatnya wanita yang tersakiti. Aku sendiri sebagai laki-laki, ingin berkata kalau aku menyesal, namun itu hanya kukatakan direlung hati terdalam tanpa mengucapkannya.
“Mas! Kok bengong?” Vina menyadarkan aku dari lamunan. Segera ku habiskan makananku.
“Jadi kita harus bagaimana sekarang?” tanyanya.
“Berbuat baiklah sama istri pertamaku. Dan jangan bertingkah. Tetap berlaku sopan, karena dia menyukai Atitude yang baik. Aku yakin dia bisa menerimamu,” jawabku meyakinkan. Meski aku sendiri belum yakin. Tidak ada salahnya berusaha baik.
“Rani juga tadi bisa bersikap lembut. Aneh sih, cepat sekali berubahnya. Biasanya dia garang,” balas Vina.
“Entah ….”
Selesai makan, Vina langsung membereskan dapur dan mencuci bekas tumpukan piring kotor. Sepertinya piring bekas kemaren. Setelah itu, aku pun meminta ijin pada Rani untuk mandi.
Sejak kapan aku meminta ijin untuk hal seperti ini pada istriku?
Jawabannya, setelah aku diam-diam menikah lagi dan membawanya datang ke rumah ini .