POV Vina
Sampai di toko Bang Roel, aku dan Mas Anton langsung membuka kunci rolling door. Bang Roel terlihat tergesa-gesa hari ini.
“Cepetan bukanya! Pelanggannya rewel banget,” ucap Bang Roel.
“Siap, Bang,” jawab Mas Anton sigap. Saat rolling door sudah terbuka, aku pun segera mengeluarkan patung-patung yang biasa dipajang di luar. “Parfum Bang Roel wangi banget, nggak kayak Mas Anton tidak ada wangi-wanginya. Padahal dulu dia juga harum mewangi,” ucapku dalam hati.
Setelah selesai membuka toko, Bang Roel masuk dan langsung mengeluarkan ikatan barang yang akan dikirim. Sedangkan aku langsung menyiapkan nota, dan Mas Anton menyiapkan karung beserta jarum ball. Gerak tangan Bang Roel begitu cepat, membuatku sulit untuk mengimbanginya.
“Yang belum seri, tolong kamu serikan. Satu ikat ada lima warna. Ini catatannya tolong kamu siapkan dan jangan sampai salah,” titah Bang Roel.
“Siap, Bang,” ucapku. Aku hanya tinggal menyiapkan, lalu melempar keluar setelah aku catat di nota. Biar Mas Anton yang memasukan ke karung dan menyusunya. Namun, sebelum masuk karung, semua barang sudah benar-benar dihitung tanpa kesalahan agar tidak ada komplainan pelanggan. Tidak ada santai-santai, kami pun mulai bekerja dengan serius. Tidak ada obrolan meski hanya sebuah candaan ringan. Itulah Boss tampan yang akan segera menjadi suamiku.
“Vina! Anton! Abang tinggal dulu ya. Ada janji sama teman makan di lantai 8. Jangan lupa yang bener jangan salah-salah. Semua catatan barang yang harus dikirim, sudah saya catat di sini.” Bang Roel meletakan catatan di atas meja di dekat laci uang. Kalau Bang Roel pergi, aku merasa berkuasa di toko. Tinggal nyuruh-nyuruh Mas Anton kelar. Bang Roel pun bergegas setelah meraih tas selempang khas cowoknya. Entah, pria ini sungguh mampu memikat hati hingga membuatku tiba-tiba sangat membenci Mas Anton.
“Jam berapa, Vin?” tanya Mas Anton.
“Lihat saja sendiri! Tuh, di atas dinding! Lebay banget pake acara nanya jam berapa! Kayak nggak punya mata aja!” ketusku. Mas Anton menggelengkan kepala sambil mendengus, “astaghfirullahaladzim,” ucapnya. Masa bodo aku hanya melirik kesal ke arahnya.
“Baru tadi rasanya buka, sudah jam 11 saja. Aku makan dulu ya sebentar. Nasiku takut basi,” ucap Mas Anton.
“Bodo amat! Bukan urusan gue! Mau makan kek, mau bo**r kek, bodo amat! Peduli juga enggak!” balasku ketus. Namun, sambil terus menyiapkan barang yang akan dikirim. Mas Anton pun terlihat mengambil Aqua yang telah dibelinya kemarin. Untung saja tidak dimakan tikus. Setelah itu Mas Anton mencuci tangannya dengan air yang dituang ke kantor plastik. Aku yang penasaran pun melirik.idi nasi bungkus yang dibelinya. Siapa tahu lauknya enak. Ternyata tidak, isinya teri dan terong. Aku pun bergidik. Kalau aku mana bisa makan makanan seperti itu.
“Kamu mau, Vin?” tawarnya.
“Idih! Nggak doyan aku! Selera orang kampung!” makinya. Mas Anton melanjutkan makannya dan tidak mengindahkan ucapanku. Kulihat karung-karung yang dibalik Mas Anton sudah berjejer rapi. Sudah sekitar 5 ball. Kebayang dong 500 ribu. Lumayan juga.
“Aku langsung ngirim ya,” pamitnya setelah selesai makan.
“Hem!” jawabku. Dia pun mulai mengangkat karung-karung berat itu ke atas Rolly. Lalu Mas Anton menyusunnya hingga 5 karung berat itu sudah tertata rapi.
“Ih bau banget sih badan kamu, Mas! Nggak kayak Bang Roel!” cibirku. Aku sengaja mengucapkan itu meski badan Mas Anton tidak bau. Kenapa aku mencibirnya seperti itu? Karena laki-laki jika dibandingkan dengan lelaki lain, harga dirinya merasa direndahkan, dan aku memang ingin merendahkan derajat lelaki di hadapanku ini. Lelaki bodoh yang mau saja dibodohi oleh mantan istrinya. Benci banget aku kalau mengingat dia kalah dari istri pertamanya. Benar-benar suami tolo*….
“Aku berangkat dulu. Kamu jaga toko yang bener,” ucapnya seraya mulai menarik Rolly itu. Terlihat berat sih. Tapi masa bodo! Lagipula sudah tanggung jawab laki-laki mencari nafkah buat istri.
“Mbak, berapa harga daster kriwil model bunga itu?” Seorang Ibu yang kelihatannya akan memborong mulai bertanya. Aku bertanya apa dia sudah biasa belanja di toko ini? Sebab kalau belum aku bisa menaikan harganya, dan mengambil lebihnya untuk aku. Mumpung Bang Roel tidak ada. Sering-seringlah Bang, kau meninggalkan toko sampai aku benar-benar menjadi istrimu.
“Oh saya baru pertama kali ke toko ini,” jawabnya. ‘Yesss!!!!’
“Jadi yang itu harganya 65 ribu ya?” tanya si Ibu mengulang jawabanku tadi itu. Aku mengangguk. Padahal harganya 50 per PC.
“Apa harga sama semua, Mbak?” tanyanya.
“Sama, Buk.” Aku menjawab dengan ramah. Semoga Bang Roel jangan cepat kembali.
“Ya sudah, kalau begitu, saya ambil setiap model 10 potong seri warna ya, Dek,” ucap Si Ibu. Dengan cepat dan penuh semangat aku mengangguk. Satu model 10 potong, ini ada 10 model, berarti Si Ibu mengambil 100 potong. Yes … 1 juta 500 ribu masuk ke kantongku. Sigap aku mengambil semua pesanan Si Ibu dan sengaja tidak memberinya nota. Kalau Bang Roel nanya, bilang saja lupa. Atau bisa ku-buatkan nota setelah Ibu itu pergi nanti.
Setengah jam kemudian, aku sudah selesai menyiapkan barang pesanannya. Si Ibu pun langsung membayar dengan uang 6 juta lima ratus ribu.
“Ada tukang panggul tidak, Dek?” tanya Si Ibu.
“Oh, ada Bu. Sebentar saya panggilkan. Kebetulan Kang Rusdi tukang panggul sebelah sedang menganggur. Sepertinya toko sebelah sepi.
“Kang Rusdi! Tolong antar Si Ibu ya, Kang. Tidak usah di ball. Kang Rusdi tinggal antar Si Ibu saja,” ucapku. Kang Rusdi dengan sigap menghampiriku.
“Bu, mau pake nota?” tanyaku.
“Tidak perlu, Dek. Saya minta nomor telepon adek saja!” ucapnya.
Yes… Si Ibu meminta nomor ponselku mungkin untuk pemesanan selanjutnya supaya tinggal kirim. Hore … aku punya langganan. Aku memberikan nomor ponselku dan Si Ibu itu mencatatnya. Lalu sebelum pergi, ia menjabat tanganku sambil memperkenalkan nama.
“Bu Aisyah,” ucapnya.
“Vina, Bu,” balasaku. “Laris-laris ya, Bu. Selamat datang kembali,” lanjutku penuh senyum. Si Ibu pun melambai sambil tersenyum. Setelah Si Ibu pergi, aku pun langsung memasukan uang lebihan tadi ke dalam tas. Halal untukku, karena aku tidak mencuri. Lagipula itu langganan aku yang dapat. Semoga saja ada Ibu Aisyah lain hari ini.
Sambil menunggu kedatangan Bang Roel dan Mas Anton aku membereskan toko. Habis mendapat uang banyak, tidak ada rasa lapar di perutku. Aneh!
“Mbak!” panggil Ibu-ibu lagi. Wah sepertinya mau borong juga.
“Iya, Bu,” jawabku.
“Berapa kemeja batik ini sekodi, Dek?” tanyanya. Waduh, kalau sudah tanya kodian sih, tanda-tanda ada yang lebih. Kodian yang Ibu itu tunjuk harganya 500 ribu per kodi. Aku tawarkan saja 600 ribu.
“600 ribu, Bu,” jawabku.
“Ada warna sama, Dek? Saya butuh untuk seragaman hajatan. Kira-kira 5 kodi,” ucapnya. Aku tunjukan saja yang khusus seragaman. Mana harganya hanya 450 per kodi. Lebih untung lagi dong aku. Asal pandai merayu.
“Kalau yang Ibu pilih itu tidak ada,” jawabku.
“Aduh, Mbak. Hajatannya tinggal dua hari lagi. Kemana lagi saya nyari. Hampir patah kaki saya muter-muter tapi tidak dapat yang dicari,” keluhnya sambil duduk dan melonjorkan kakinya.
“Ibu tenang saja. Vina punya solusinya,” jawabku. Segera ku-tunjukan kemeja yang khusus seragaman. “Ini, Bu. Bagus lagi. Bahan dobby dan ada puring di dalamnya. Nggak panas di pake nyaman,” ucapku.
“Berapa, Mbak?”
“Sama kok. 600 ribu.”
“Ya sudah, saya ambil warna biru tosca menyesuaikan dengan tenda,” ucapnya.
“Aaaasssiap … Bu,” lanjutku. Aku pun segera mengambilkan pesanan Si Ibu. Aku memasukkan-nya dalam 2 kantong besar. Serial kantong berisi 2 kodi setengah. Tidak membutuhkan waktu lama karena tanganku sangat cekatan. Apalagi karena nyolong-nyolong dari Bang Roel.
“Ini, Bu.” Aku menyerahkan belanjaan Si Ibu itu. Kebetulan, ia membawa anaknya. Entah anak atau bukan, yang terpenting ia tidak memerlukan tukang panggul.
“Jadi berapa, Mbak?” tanyanya.
“3 juta, Bu,” jawabku. Aku kembali tidak memberikan nota. Nanti kutulis saat Si Ibu itu sudah pergi. Si Ibu memberi uang pas kemudian berlalu setelah mengucapkan terimakasih. 2 juta 250 ribu masuk laci, 750 ribu kantong Vina. Iya, bisa bawakan Ibu makanan lagi deh nanti. ‘Uhuy! Yes …!
Sepertinya Ibu tadi menjadi pelanggan terakhir hari ini. Sebab, setelah sekian lama menunggu, tidak ada lagi orang belanja.
“Ini nomor resinya!” ucap Mas Anton yang datang tiba-tiba dan langsung duduk. Kali ini bau tubuhnya sangat menyengat. Bau keringat yang sangat membuat perut menjadi mual. ‘Ih, jadi ilfil.’
“Bang Roel belum balik ya?” tanya Mas Anton.
“Belum.” Aku melirik jam dinding. Sudah pukul 16.00, sebentar lagi tutup toko. Tapi kok, Bang Roel belum balik juga.
“Nah ini toko aku.” Suara Bang Roel tiba-tiba terdengar di depan toko.
“Wah, hebat kamu,” balas suara itu. Suara yang tak asing di telinga, dan saat dia membalikkan tubuh melihat ke dalam toko dimana aku duduk, “Rani,” lirihku. Sama sepertiku dia pun terkejut.