My Beautiful Angel Episode 13

Chapter 13

POV ANTON

Bolehkah aku sebagai lelaki menangis? Bolehkah aku berucap, kalau aku menyesal menikahi perempuan yang hanya bagus rupanya? Ketika aku mengkhianati istriku demi perempuan ini. Apa yang kudapat? Semakin hari ternyata sifat aslinya mulai terlihat. Vina! Perempuan yang terlihat manis dan penyayang saat menggodaku, kini berubah seperti iblis. Di otaknya hanya ada uang, uang, dan uang ….

Sedangkan Rani, kenapa setelah berpisah dariku justru kehidupannya biasa saja. Padahal aku tahu dia amat mencintaiku. Namun, kenapa seperti mudah sekali bagi Rani mencari gantiku? Aku menunduk saat berhadapan dengannya, karena aku ternyata seorang karyawan yang bekerja di tempat kenalannya. Mungkinkah Rani berpikir untuk apa uang yang telah dia berikan? Kenapa aku menjadi karyawan orang? Mungkin seperti itu pikirannya saat ini. Ya Allah, bolehkah aku berucap sebuah kata kalau aku menyesal telah mengkhianatinya.

“Mas! Kenapa sih kamu!” bentak Vina sambil memukul kencang pundakku. Aku menarik nafas panjang kemudian menepikan motor dan berhenti sejenak.

“Turun!” pintaku membentak Vina. Vina pun segera turun dari motor, begitupun dengan aku.

“Kamu bisa nggak, kalau nggak usah kasar!” ucapku membentak. Gila perempuan ini, kasar banget. Kesal-kesal aku ceraikan nanti.

“Nyesel aku nikah sama kamu! Nyesel banget! Kalau waktu bisa diputar kembali, aku enggan melirikmu! Dasar perempuan munafik! Bagus casing saja rupanya kau ini! Tau kamu! Fisik saja tidak cukup membuat lelaki nyaman apalagi memperalatnya! Bukan hanya aku yang menyesal menikah sama kamu, dan mengenal keluarga kamu yang mata duitan itu! Mas Galang juga menyesal menikahi Kakak kamu!”

“Tahu kamu! Sekalipun aku menceraikan kamu, aku nggak rugi! Aku ini laki-laki! Sadar kamu! Masih mending aku mau bertahan sama perempuan pembawa sial seperti kamu!” berangku. Aku sudah cukup diam menghadapi kelakuan Vina, dan mencoba untuk memahaminya. Namun, diam-ku justru membuatnya semakin tinggi kepala dan merasa paling segalanya.

Vina terdiam, matanya memerah lalu dia menghampiriku yang sedang duduk di trotoar jalan.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Panas sekali rasanya.

“Kamu pikir aku takut sama kamu? Begitu?! Eh, Mas! Aku juga nyesel nikah sama kamu! Miskin, gembel kere! Tahu kamu! Tidak akan ada perempuan yang mau sama kamu!” balas Vina.

“Heh! Aku laki-laki tidak berbekas. Aku masih bisa usaha dan menghasilkan uang. Membangun sebuah kesuksesan. Lah kamu, mengetahui sifatmu yang seperti ini, belum tentu ada laki-laki yang mau sama kamu! Sadar itu!” cibirku. Akhirnya kami pun terus beradu mulut. Sampai larut malam. Vina tidak mau mengalah hingga akhirnya aku yang terpaksa mengalah dan mengajaknya pulang. Disepanjang jalan menuju kontrakan, kami hanya terdiam.

“Mas! Aku mual! Aku mau muntah turunin aku dulu,” pinta Vina. Aku pun kembali menepikan motor. Jangan-jangan Vina masuk angin. Apalagi dari pagi tadi dia belum memakan apapun.

“Hhooeek … hhooeekk …hhooekk ….” Vina memuntahkan isi perutnya. Namun, munatahan Vina hanya sebuah cairan berwarna kuning. Tidak ada nasi atau apapun.

“Kita makan dulu! Kamu masuk angin! Masih ada uang kan?” tanyaku.

“Masih, Mas,” jawab Vina. Akhirnya aku dan Vina pun berhenti di sebuah warung makan pinggir jalan. Kami memilih untuk makan pecel lele.

“Mas, aku mual. Kayaknya aku nggak bisa masuk makanan ini deh. Yang lain saja,” pintanya.

“Sop Iga mau?” tawarku. Vina mengangguk. Aku pun memesan satu porsi sop iga dan satu porsi pecel lele. Tak lama kemudian, pesanan kami pun datang. Vina langsung melahapnya, meski masih dalam keadaan panas. Jika marahku sudah reda kasihan juga tadi aku membentaknya. Walau bagaimanapun, aku pernah sangat mencintainya. Mungkin saja aku tadi hanya terlalu emosi.

Sampai di rumah aku dan Vina langsung mandi bersamaan. Setelah mandi, kami pun langsung membaringkan tubuh di kasur tipis.

“Aturan tadi kita beli kasur baru ya, Mas,” lirihnya. Aku hanya mengangguk.

“Semoga saja, besok Bang Roel pergi lagi dan toko rame, jadi hasil kantauan aku bisa buat beli kasur,” ucapnya. Seperti ini sifat Vina, kadang sangat menyebalkan, tapi kadang juga sebaliknya.

“Vin, aku mau tanya,” ucapku.

“Apa?” tanyanya. Aku membalikkan badan menghadap ke arahnya.

“Sebenarnya kamu cinta nggak sih sama aku?” tanyaku.

“Jujur, aku nggak tahu, Mas. Awalnya sih cinta, cinta banget malah. Pokoknya, aku cinta sama kamu, kalau kamu banyak duit dan bisa bikin aku bahagia. Hatiku terasa tenang dan damai. Tapi kalau kamu nggak punya duit, bawaannya aku pingin marah-marah sama kamu! Sama satu lagi….” Vina terdiam tidak melanjutkan ucapannya.

“Apa?” tanyaku penasaran.

“Nggak ada, Mas. Hanya itu si. Jadi aku tidak tahu aku cinta atau enggak sama kamu. Aku sendiri bingung dengan perasaan aku. Yang aku tahu, aku akan merasa cinta banget, sayang dan takut kehilangan, saat kamu punya uang.”

“Tapi … aku bisa benci sama kamu saat kamu tidak punya uang. Aneh kan? Dan yang lebih anehnya lagi, kamu ber-uang ataupun tidak, tetap aku tidak suka kamu dekat-dekat dengan perempuan lain. Meskipun hanya sekedar menyapa. Seperti tadi itu!” tegasnya. Aku sendiri sulit menyimpulkan kalau begitu.

“Mas! Perut aku mual banget. Perasaan tadi sudah makan,” lirih Vina.

“Bukan perasaan! Memang tadi sudah makan kan!”

“Iya tapi ini rasanya, pusing, mual lapar juga.”

“Terus sekarang gimana?”

“Mas cariin makanan yang berkuah. Apapun itu, kalau bisa bakso ya, Mas,” pintanya. Saat aku melihat layar ponsel, sudah pukul 01.00 malam. Cari kemana bakso semalam ini?

“Kalau nggak ada bakso, Indomie rebus mau?” tawarku.

“Mau. Pokoknya apa saja yang penting ada kuahnya. Hanya saja utamakan bakso. Sekarang, Mas Anton pergi. Nanti ketuk saja pintunya kalau aku ketiduran,” ucapnya seraya mendorong tubuhku keluar. Dia pun segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Untung ada motor, kalau tidak? Bisa repot aku….

Sudah hampir satu jam aku mengitari jalan mencari bakso yang masih buka, keliling petamburan sampai kota bambu, tidak ada pedagang bakso yang masih menjajakan dagangannya. Mungkin karena sudah larut malam. Karena mata sudah mulai mengantuk, aku pun memutuskan untuk mencari warung kopi yang masih buka. Mang Udin lah yang menjadi tujuanku hingga aku tidak perlu lagi berkeliling.

Benar saja, Mang Udin masih buka. Segera aku pun memarkirkan motor.

“Mang!” panggilku.

“Eh, Mas Anton,” tatap-nya sinis. Aku tidak memiliki masalah dengannya kenapa dia sesinis itu.

“Mang, pesan Indomie soto, dibungkus ya buat, Vina. Sekalian pinjam mangkok sama sendoknya, besok saya antar lagi,” pintaku panjang lebar.

“Maaf, Mas Anton, tidak bisa dibawa mangkoknya. Lagian kan Mas Anton jauh, belum tentu mau antarin lagi mangkok dan sendoknya.”

“Ya sudah, Mang Udin, tidak perlu dipinjami. ‘Pelit sekali, Mang Udin ini.’

Tok … tok … tok ….!

Aku terus mengetuk pintu, namun Vina belum juga membukanya. Sepertinya dia ketiduran.

“Vin!” panggilku sambil terus mengetuk pintunya.

“Vina!” panggilku lagi. Karena tidak ada jawaban, aku pun berinisiatif membuka kunci itu menggunakan gagang sikat gigi dan memasukan melalui celah, setelah itu, aku menggeser-geser hingga terbuka. Kebetulan kuncinya terbuat dari kayu yang tinggal geser, jadi tidak terlalu kesulitan. Akhirnya, pintu pun terbuka.

Aku hanya menggelengkan kepala saat melihatnya asyik tertidur pulas.

“Vin, bangun!” ucapku seraya menepuk wajahnya. Vina mengucek matanya dan langsung memelukku.

“Makasih, Sayang,” ucapnya. Aneh, bukan? Terkadang menggemaskan, terkadang juga menyebalkan. Hanya saja, lebih banyak menyebalkannya.

“Langsung dimakan nih!” ucapku. Vina pun langsung membuka kantong plastik. Tiba-tiba saja raut wajahnya berubah muram, mungkin karena sudah tidak ada kuahnya.

“Kenapa melamun?” tanyaku. Dia hanya menggeleng.

“Aku nggak mau makan deh, Mas!” ucapnya. Setelah itu ia pun kembali beranjak ke kasur. Aku tahu, dia pasti ngambek.

Kuikat lagi Mie itu dan memasukkannya dalam kantong plastik. Lalu, aku pun menyusul dan berbaring di sampingnya. Vina memalingkan badan, dia tidur membelakangiku. Saat kulingkarkan tangan di pinggangnya, dia langsung menyingkirkan tanganku.

Hem … kenapa aku selalu salah? Tapi aku akan terus berusaha memahamimu. Kuharap ini akan menjadi pernikahan terakhir untukku, meski di relung hati terdalam aku menginginkan Rani kembali mengisi hati ini.

Nasi sudah menjadi bubur, penyesalan pun tinggal penyesalan, aku hanya tinggal menggigit jari melihat kebahagiaan mantan istriku nantinya. Ya, setelah berpisah dariku bahkan tidak ada kerapuhan sedikitpun, yang ada dia nampak bahagia dengan dunia barunya. Meminta maaf, hanya itu yang bisa kulakukan. Sedangkan, aku harus menjalani biduk rumah tangga yang seperti ini, dimana harta menjadi patokan. Untuk saat ini, mungkin aku masih bisa bertahan dengan Vina. Namun, aku tidak tahu bagaimana nantinya, jika Vina tidak mau merubah sikapnya.

Pagi mulai menyapa, kami pun disibukkan dengan rutinitas seperti biasa. Vina sangat berbeda hari ini. Dia berhias dan nampak begitu cantik. “Coba aku bisa beli anting, pasti kelihatan tambah cantik,” lirihnya di depan cermin.

“Nanti kita beli kalau sudah punya uang ya, Sayang,” ucapku seraya mengelus lembut rambutnya.

“Masalahnya punya uangnya kapan?” tanyanya ketus.

“Aku akan berusaha untuk kamu,” jawabku. “Udah, sekarang kamu jangan marah-marah terus. Aku janji akan berusaha memenuhi keinginan kamu,” ucapku. Vina hanya terdiam. Kemana sifat lembutnya yang dulu?

“Sekarang kita mulai semua dari nol. Anggap, aku dan kamu baru menikah, tidak ada Rani dan siapapun. Jangan ada lagi keributan karena aku sedang berusaha. Ya?” Aku bersimpuh sambil memegang tangan Vina. “Aku janji akan menjadi suami yang baik, dan akan berusaha untuk kesuksesan kita. Tapi kamu harus dukung aku,” ucapku tegas. Vina mengangguk, lalu terduduk dan memelukku.

“Iya, kita mulai semua dari nol. Kita anggap, ini adalah titik awal kehidupan rumah tangga kita,” balasnya. Hari ini, kami pun berangkat dengan penuh kedamaian, tanpa keributan. Aku dan Vina sudah sepakat, tidak akan membahas masa lalu, dan memulai semua dari nol.

Aku yakin, aku dan Vina dapat meraih kembali kesuksesan yang pernah kuraih bersama Rani. Sejatinya, tidak ada usaha yang menghianati hasil.


My Beautiful Angel

My Beautiful Angel

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kisah seseorang yang menikahi karyawannya tanpa sepengetahuan sang istri pertama, Anton yang baru saja membawa pengantin baru ke rumahnya harus berhadapan istri pertama dengan celotehan tanpa henti dari Rani, yang sejatinya sangat judes dan tidak peka dengan keadaan disekitarnya , tetapi bagaimana pun Anton akan tetap mempertahankan pengantin barunya ,Vina dengan meminilasir masalah sekecil mungkin, tapi sayang karena tiga-tiganya edan mungkin ini akan jadi rintangan yang tidak mudah untuk mereka. Dapatkah Anton menjalani hidup sekaligus mempertahankan keluarganya ? Yuk dibaca kisahnya lebih lanjut...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset