POV VINA
Semua yang aku katakan pada Mas Anton hanyalah kebohongan. Kebohongan untuk meredamkan amarahnya saja. Aku takut kalau sampai bercerai dari Mas Anton, sebab aku sendiri belum mendapatkan pengganti. Nanti kalau tidak ada lagi laki-laki yang mau sama aku bagaimana? Ya, meskipun itu tidak mungkin. Aneh memang yang aku rasakan, benci sama Mas Anton, tapi tidak mau kehilangan dia. Aku tidak suka Mas Anton dekat dengan perempuan lain, tapi aku sendiri memendam rasa pada laki-laki lain.
Meski Mas Anton berkata seperti itu, sama sekali tidak merubah sifat atau niatku. Aku akan tetap mencari perhatian Bang Roel dengan cara cantik. Bisa mendapat Bang Roel, tapi tetap bersama Mas Anton. Tapi sepertinya itu cara yang sulit….
“Vin, kok masih pagi sudah bengong saja?” tanya Bang Roel yang baru saja tiba, dan memberikan kunci pada Mas Anton. Segera Mas Anton pun membuka rolling door.
“Nggak apa-apa, Bang. Hanya sedikit tidak enak badan,” jawabku.
“Kenapa tidak istirahat?” So sweet … Bang Roel kenapa bikin aku baper gini sih!
“Masih bisa kerja kok, Bang. Nanti juga sembuh,” jawabku. Setelah pintu rolling door terbuka, aku pun langsung mengeluarkan patung-patung dan menyusun pajangan. Sementara Bang Roel berdiri di depan memperhatikan kami yang sibuk membuka tokonya. Aku dan Mas Anton tidak banyak berbicara. Paling sesekali Mas Anton memanggil jika membutuhkan bantuanku.
Dua puluh menit berlalu, kami pun telah selesai membuka toko dan merapikan pajangan. Bang Roel masuk dan duduk di kursi andalannya. Sementara aku dan Mas Anton kembali keluar dan duduk di bangku plastik khas untuk di toko toko.
Sedari tadi kami hanya duduk sambil menunggu orang belanja. Benar-benar sangat membosankan. Biasanya orang lalu lalang, tapi kenapa hari ini yang lewat begitu jarang.
“Sepi ya?” Bang Roel membuka suara.
“Iya nih, Bang. Bikin ngantuk. Mana belum pelaris lagi,” keluh Mas Anton.
“Sabar. Sambil menunggu orang belanja, kita ngobrol-ngobrol saja,” ucap Bang Roel.
“Setuju, Bang!” ucapku.
“Kalian masuk ke dalam sini. Biar kalau ada orang belanja kelihatan,” ujar Bang Roel. Aku dan Mas Anton masuk bersamaan, lalu memilih untuk duduk di lantai. Lantainya tidak kotor kok, sebab aku sudah mengepel-nya, dan lagi pula ada karpet juga di dalamnya.
“Bang!” panggilku.
“Perempuan yang sama, Abang kemarin itu siapa? Cantik banget, Bang. Pacar, Abang ya?” tanyaku. Aku yakin, pasti Mas Anton juga ingin mendengar pengakuannya.
“Oh, bukan. Dia itu teman saya. Dia memang cantik. Doakan saja dia itu jodoh saya,” jawab Bang Roel.
“Uhuk … Uhuk ….” Kebiasaan memang, Mas Anton selalu saja tersedak. Entah memang iya, atau hanya pura-pura.
“Kenapa kamu, Ton? Hahaha… saya hanya bercanda, Anton,” ucap Bang Roel.
“Beneran juga tidak apa-apa, Bang. Yang terpenting dia belum menikah,” balas Mas Anton.
“Dia janda,” ucapnya. ” Perempuan hebat yang kuat. Meski disakiti oleh suaminya, tapi dia tidak mengemis cinta,” lanjut Bang Roel.
“Janda? Pasti ada sebabnya sampai diceraikan sama suaminya!” timpalku.
“Sebabnya, suaminya itu selingkuh dengan karyawannya. Dan dia tidak mau kalau di duakan. Jadi dia memilih untuk menggugat cerai suaminya. Sayang memang, kesuksesan yang telah mereka bangun harus hancur karena datangnya orang ketiga.” Bang Roel berhenti sejenak.
“Tapi perselingkuhan tidak akan terjadi kalau salah satu ada yang menolaknya. Tapi karena sama-sama mau dan dipenuhi nafsu yang tidak bisa dikendalikan ya terjadi.” ‘Rani cerai sama, Mas Anton juga nggak rugi, Bang. Lo aja yang nggak tahu! Kesel gue. Gue malah yang rugi nikah sama Mas Anton. Pingin dapat suami kaya biar hidup enak malah mbelangsak.’
“Yang lebih hebat, dia tidak menguasai sendiri harta yang diberikan oleh suaminya. Tapi memilih untuk menyumbangkannya. Dia lebih ikhlas seperti itu. Daripada di bagi ke suaminya, dia tidak rela kalau istri barunya ikut menikmati hasil jerih payah mereka berdua. Katanya!” ucap Bang Roel lagi membuat mataku terbelalak. ‘Gila, Rani. Kelewatan. Pelit banget sama gue! Najis deh!’
“Boleh …! belanja gamis dan batiknya, boleh!” teriakku menawarkan dagangan ketika ada rombongan Ibu-ibu yang lewat. Berharap mereka akan berhenti di toko kami untuk berbelanja. Dari Pagi hingga kini sudah hampir pukul 12.00 belum juga ada orang belanja. Tidak ada kiriman juga. Bagaimana cara Mas Anton dapat duit kalau begini?
“Bang! Sepi banget tumben,” keluh Mas Anton seakan mulai jenuh karena Bang Roel terus membahas tentang mantan istrinya. Tapi kan aku sendiri yang memancing karena bertanya tentang Rani. Bagaimana, cara menggoda Bang Roel supaya mau denganku? Secara dia itu kan bujangan. Sedangkan Bang Roel tahu aku istri Mas Anton. Uh! Kesal. Nanti malam aku coba mengirimkannya pesan terlebih dahulu. Halah, belum apa-apa saja dadaku gemetar.
“Anton!” panggil Bang Roel.
“Ya, Bang,” jawab Mas Anton.
“Mulai besok, kamu yang manggul jika ada kiriman ya,” ujar Bang Roel.
“Loh, memang kenapa, Bang? Mas Galang bagaimana?” tanya Mas Anton bingung.
“Mas Galang mengundurkan diri. Dia tidak mau jadi tukang panggul lagi di toko, Abang,” jawab Bang Roel sambil menunggu jawaban dari Mas Anton. Sementara aku, mendengar kabar ini jelas bahagia. Hanya saja, kenapa dan apa masalahnya?
“Aneh banget, Mas Galang. Terus dia mau kerja dimana kalau tidak jadi tukang panggul?” lirih Mas Anton. Bang Roel hanya diam saja. Mungkin nanti pulang kerja aku mampir ke rumah Ibu. Penasaran ada apa, kenapa Mas Galang tiba-tiba keluar? Apa sudah ada pekerjaan baru?
“Bagaimana, Anton? Kamu mau?” Bang Roel mengulang pertanyaannya.
“Mau, Bang,” jawab Mas Anton cepat.
“Mbak! Ini berapa ya?” tanya seorang perempuan cantik. Dia memegang kemeja batik seragaman. Aku dan Mas Anton segera berdiri untuk melayaninya. Perempuan modis itu memakai baju seksi dan kacamata berwarna hitam. Tapi yang modis. Bukan yang biasa digunakan untuk orang berkebutuhan khusus.
“Satu kodinya 500 ribu, Mbak,” ucapku. Kalau tidak ada Bang Roel, sudah kujual 650 ribu.
“Warna ini semua ada, Mbak?” tanyanya.
“Butuh berapa kodi ya?” Aku balik bertanya.
“10 kodi, Mbak!” jawab perempuan itu. Mas Anton mengambil bangku dan memberikannya pada perempuan itu. Supaya ia menunggu sambil duduk.
“Ada, Mbak,” jawabku cepat. Aku senang karena ini pelanggan pertama untuk hari ini.
“Saya mau 10 kodi ya, Mbak,” ucap perempuan itu sambil duduk.
“Siap!” jawabku. Segera aku pun mengambilkan barang pesanannya. Sementara Mas Anton memasukkan-nya ke dalam karung berukuran sedang. Sepuluh kodi lumayan juga ada 200 potong.
Perempuan itu melepas kacamatanya dan memasukkannya ke dalam tas.
“Jadi berapa, Mas?” tanya perempuan itu sambil mengambil sesuatu di dalam tasnya.
“500 ribu × 10 kodi = 5 juta, Mbak!” jawab Bang Roel.
“Ini, Mas!” ucap Perempuan itu.
“Roel!” panggilnya. Aku dan Mas Anton melihat ke arah itu secara bersamaan.
“Citra!” balas Bang Roel.
“Ya Allah, Roel! Ternyata kamu yang punya toko ini!” cetusnya.
“Alhamdulillah. Tahu dari mana aku bosnya?” balas Bang Roel. ‘Jangan bilang, saingan gue nambah lagi.’
“Kelihatan dari penampilannya. Sukses ya kamu sekarang! Eh, ngomong-ngomong, datang ya ke pernikahan adik aku, seminggu lagi acaranya. Kamu harus datang! Aku sendiri lho ini yang mengundang.” Perempuan itu nampak kagum melihat Bang Roel. ‘iyalah, tampan begitu bos gue. Manis kayak gula aren pula. Gimana nggak dikerubuti semut. ‘Semutnya para perempuan cantik kaya gue ini. Sayang aja gue kecepatan nikah.’
“Terus kamu kapan nikahnya? Kok dilangkahi adiknya? Apa jangan-jangan, kamu sudah menikah? Sumpah lama banget kita tidak bertemu, semenjak kamu pindah ke pulau Kalimantan,” ucap Bang Roel.
“Belum ada yang ngelamar aku, Roel … kamulah datang ke tempat keluargaku. Terus ajak aku nikah,” ucap Si Citra itu.
“Boleh … boleh …,” jawab Bang Roel penuh senyum. ‘Kecentilan amat!’
“Mbak! Sudah rapi belanjanya. Em, mau diantar tukang panggul?” tanyaku.
“Boleh, Mbak,” jawab Citra.
“Roel! Aku duluan ya. Ini yang di nota nomor kamu kan? Nanti biar kita sambung di wa,” ujarnya. “Kalau begitu aku duluan ya,” pamit perempuan itu. Bang Roel pun mengangguk. “Ayo, Bang. Antar saya ke mobil,” pintanya pada Mas Anton. Mas Anton pun segera memanggul karung dan mengikuti perempuan itu. Lumayan ada panggulan, jadi bisa untuk uang tambahan. Entah kenapa, aku lebih suka Bang Roel sama perempuan tadi dibandingkan sama Rani. Kalau aku, sepertinya akan menyerah. Sebab, Bang Roel memandang-ku pun enggan. Seperti saat ini, masa saat hanya ada kita berdua, Bang Roel justru sibuk dengan ponselnya. Inilah yang membuatku tidak ingin gegabah terlebih dahulu.
POV RANI
“Ran, bagaimana keadaan mantan suamimu sekarang?” tanya Mama.
“Mama tahu saja aku habis bertemu, Mas Anton dan istri barunya kemarin,” jawabku sambil terus memainkan ponsel. Membalas pesan pelanggan yang ingin berbelanja bahan bangunan. Membuka usaha baru untukku tidaklah mengalami kesulitan. Sebab, semua kontak pelanggan ada bersamaku. Aku juga menyerahkan toko sepenuhnya pada Edy. Datang ke toko, sesuka hatiku. Lagi pula, kebanyakan pelanggan juga melakukan pembayaran melalui sistem transfer.
Uang dari hasil penjualan rumah, kendaraan dan sisa bahan bangunan sudah kusumbangkan semua pada panti sosial dan lain sebagainya. Melalui RT setempat aku juga membagi secara rata untuk warga yang kurang mampu. Untuk menghindari kecurangan, Papa ikut mengawasi dana bantuan itu.
“Serius kamu ketemu dia, Dek?” tanya Mbak Winda. Aku mengangguk.
“Terus bagaimana keadaannya?” tanya Mama lagi. Sepertinya Mama masih peduli dengan Mas Anton.
“Kurus! Kumel! Jadi tukang panggul! Kasihan lah, Ma. Kemarin waktu Rani kasih uang 20 juta, bukan dipake buat usaha, malah tidak tahu kemana habisnya. Tapi malamnya, Rani lihat mereka berboncengan menggunakan motor baru,” lirihku.
Sebenarnya aku kasihan pada Mas Anton. Tapi bagaimana lagi. Ini pelajaran buat dia. Bukan hanya buat dia saja sebenarnya, tapi juga buat laki-laki lain, supaya kalau sudah sukses tidak banyak bertingkah. Tidak semua perempuan mengalah seperti di dalam cerita. Tidak semua perempuan mau memaafkan lelaki yang berselingkuh. Seenak mereka, sudah berselingkuh, lalu meminta maaf dengan dalih menyesal. Basi! Lalu mereka pikir setelah dimaafkan, perempuan akan mau kembali padanya? Enteng sekali pemikiran seperti itu. Namun, semua itu tidak berlaku padaku. Aku bukan tipe perempuan yang apabila sudah diselingkuhi mau untuk kembali. Kesalahan apapun masih kumaafkan, tapi untuk perselingkuhan, maaf! Tidak ada kata untuk kembali! Meski sampai ke tulang sumsum dia menyesal.
“Aduh! Parah. Nggak heran, Mas Galang juga terus menggangguku. Masa dia bilang siap menceraikan, Santi kalau aku mau balik lagi sama dia. Katanya karena aku masih sendiri, dia bilang aku masih mengharap dia. Idih! Amit-amit ayahnya Si Ayu!” sungut Mbak Winda.
“Nggak heran gimana, Mbak?” tanyaku bingung.
“Ya nggak heran, orang Kakaknya juga begitu. Kemana gaji Mas Galang sebagai manager? Gajinya itu besar banget lo, Dek. Waktu sama Mbak, Mas Galang sukses banget padahal. Kenapa sekarang dia jadi dekil kumel hitam begitu? Jadi heran, kok suamiku dan suamimu, setelah menjadi suami mereka jadi seperti itu? Hihihi.” Mbak Winda tertawa cekikikan.
“Aku ingat wajah mereka saat masih tajir, tampan dan mempesona. Hahahahah.” Aku ikut tertawa. Mama dan Papa pun sama. Astagfirullah, melihat mereka menderita, kenapa kami menertawakannya? Entahlah, meski kasihan, tapi melihat mereka seperti itu seperti ada kepuasan tersendiri.
“Sekarang kerja apa ya, Mas Galang bisa dekil banget begitu?” tanyaku. Mbak Winda hanya mengangkat kedua bahunya.
“Yang pasti, Mbak seneng banget lihat hidup mereka menderita. Terutama saat Mbak melihat istri Mas Galang berubah seperti gajah dengan wajah penuh bebatuan koral. Jahat memang, tapi mereka juga dulu menghina kita dengan mulut tajamnya.”
“Padahal aku nggak diberi apapun oleh Mas Galang. Semua harta Mas Galang dimakan bersama, Santi. Tapi Alhamdulillah, hidupku lebih baik daripada mereka. Kehidupan Ayu juga terjamin. Justru, harta Mas Galang yang habis. Bagaimana cara Santi mengatur keuangannya ya? Secara, gaji manager itu besar lho. Bingung juga aku, Mas Galang cerita waktu itu, karena gaya mewah Santi. Jangan-jangan, gaya Adiknya juga wah lagi?” Aku enggan menanggapi ucapan Mbak Winda. Karena fokusku telah dicuri oleh seseorang.
“Anak-anak, Mama dan Papa itu memang mandiri. Jadi, meskipun ditinggal suami, kalian tetap bisa melanjutkan hidup,” ucap Mama. Aku hanya mengangguk. Aku sendiri malah seperti sudah hilang rasa pada Mas Anton.
“Alhamdulillah, Ma. Beruntung memiliki keluarga seperti kalian yang selalu mendukung,” balas Mbak Winda.
Pikiranku sekarang dipenuhi oleh bayangan Bang Roel. Hanya saja, aku tidak tahu apa dia memiliki perasaan yang sama? Meski sikapnya menunjukkan seperti menyukaiku, namun aku tidak tahu di dalam hatinya. Yang pasti, aku merasa tidak pantas untuknya. Mungkin kalau untuk sahabat pantas. Tapi kalau untuk perasaan yang lebih dari seorang sahabat, seperti tidak mungkin. Dia terlalu sempurna untukku, dan … lagi pula, seorang Roel, pasti memiliki banyak pengagum.
Seharian ini, aku hanya mengintip status yang diposting oleh Bang Roel. Ingin berkomentar, tapi seperti ada sesuatu yang mencegah jariku untuk menekan tombol kirim. Padahal di dalam hati ini begitu sangat ingin berbalas pesan dengannya. Entah kenapa, setiap pesan darinya mampu membuat duniaku berwarna, dan serasa ingin berlama-lama dengannya.
“Mandi udah sore!” ucap Mbak Winda sambil melemparkan bantal sofa ke wajahku. Mendengar kata sore, aku langsung melihat jam yang tertera di layar ponsel. “Sudah jam 17.00, berarti Bang Roel sudah menutup toko.
Jariku terhenti di kontak WA Bang Roel, segera aku pun mengetikan sesuatu di sana.
[Bang, sudah tutup toko?] Namun, lagi dan lagi aku tidak memiliki keberanian untuk mengirimkannya. Akhirnya, pesan itu pun urung ku kirimkan. Setelah dihapus, aku kembali mengetikkan sesuatu. Lagi dan lagi aku pun urung mengirimkannya. Ternyata aku tidak memiliki keberanian untuk mengirim pesan padanya terlebih dulu.
[Aku perhatikan, dari tadi ada tulisan mengetik di nomormu, tapi kenapa tidak ada pesan masuk juga hingga saat ini] Mataku membulat ketika membaca pesan dari kontak Bang Roel. Nafasku naik turun tidak beraturan. Malu! Itu yang aku rasa kini. Deg … deg … deg ….! Denyutan itu terasa begitu cepat dan kencang.
[Hem, tidak dibalas. Aku kira kamu mau mengirim pesan kalau kamu tengah merindukanku, Ran] tulisnya lagi. ‘Astaghfirullahaladzim, harus balas apa aku ini?’
[Cuma di read. Oke tidak masalah. Nanti malam, setelah sampai di rumah, aku akan menghubungimu] tulisnya lagi. Perasaan tadi aku yang ingin mengirim pesan untuknya, kenapa sekarang aku justru tidak bisa membalasnya?
Karena ada seseorang yang berjanji untuk menghubungi saat malam tiba, aku pun terus menunggunya meski waktu sudah pukul 22.00 malam, dan mata juga sudah mulai mengantuk. Ternyata menunggu itu sangat membosankan, dan entah kenapa aku rela menunggu telepon darinya.
Karena kesal, aku pun mulai mengetikkan sesuatu dan bersiap mengirimkannya.
[Bang, jadi telepon?]
Deeerrttt … derrrtttt ….
Belum sempat aku mengirim pesan itu, panggilan video dari Bang Roel masuk. Aku tidak langsung mengangkatnya karena ingin melihat wajahku di cermin terlebih dahulu. “Video call? Aku kira panggilan biasa. Kalau tahu mau video call, aku dandan dulu tadi,” gerutuku sedikit kesal.
“Halo, Bang,” jawabku sambil tersenyum. Bang Roel nampak sangat tampan di sana. Dia sedang tiduran di kamarnya memakai kaos putih. Ah, andai aku yang berada di sampingnya.
“Belum tidur?” tanyanya lembut. Aku hanya menggeleng.
“Kangen banget seharian ini sama kamu,” ucapnya lagi. ‘Aku juga kangen banget, Bang.’
“Hahahaha! Jangan bikin aku GR, Bang!”
“Serius!”
“Hum!”
“Seminggu lagi temani aku kondangan ya,” pintanya.
“Serius?” tanyaku tak percaya.
“Serius. Apa kamu mau aku bawa ke pelaminan juga?”
“Jangan suka bercanda begitu!” protesnya.
“Kenapa? Aku tidak bercanda. Itu juga kalau kamu mau.” Aku memilih tidak menjawab ucapannya. Aku takut kalau ini hanya sebuah prank. Tidak semudah itu aku percaya ucapannya. Aku sadar diri, siapa aku dan siapa dia.
“Pokoknya, Minggu depan temani aku kondangan dan tidak ada penolakan!” tegasnya. Aku hanya terdiam. Meski di dalam hati merasa sangat senang.
“Sekarang sudah malam, kamu tidur. Jangan lupa mimpiin, Abang,” godanya membuatku tersipu malu. Entah seperti apa wajahku kini.
“Ya sudah, Bang. Rani matikan panggilannya ya. Selamat malam, Abang.”
“Selamat malam, Rani.” Kami pun mengucap salam bersamaan, lalu menjawabnya bersamaan pula. Sebenarnya aku berat mematikan panggilannya karena masih ingin berbicara dengannya. Namun, pada akhirnya ku putuskan juga panggilan itu setelah sama-sama menjawab salam. Setidaknya, panggilan tadi cukup membuat tidurku terasa nyenyak malam ini.
‘Singgah lah di mimpiku walau hanya sebentar. Salahkah aku jika memiliki rasa untuk bisa bersamamu? Wahai kamu seseorang yang pernah ada dalam masa lalu.Seseorang jangan tiru rasa yang ada di hatiku. Karena itu sebuah rasa yang salah.’
‘Sebuah rasa yang seharusnya ada ketika sudah menjadi pasangan halal….’