POV GALANG.
“Sudahlah, Galang. Kamu jalani saja rumah tangga kamu dengan, Santi. Bukankah ini sudah menjadi pilihanmu? Dulu saat Winda tidak mau dicerai dan rela diduakan, kenapa justru kamu lebih memilih menuruti ucapan, Santi? Kamu yang salah. Tidak usah kamu berkeluh kesah pada kami,” ucap Ibu. Kirana mengangguk. Ya, hari ini aku berada di tempat orang tuaku karena semalam aku menginap di sini. Sejak pertengkaran hebat kemarin pagi, aku memutuskan untuk tidak bekerja dan memilih pergi ke rumah orang tuaku.
“Iya, Mas. Kirana saja sebenarnya menyayangkan dulu Mas Galang menceraikan, Mbak Winda. Menganggapnya seperti anjing jalanan yang tidak ada harganya. Mas Galang pun tidak memberi nafkah sama sekali untuk Ayu. Mas Galang fokus dengan Santi dan anaknya. Kami saja sempat merasa Mas Galang sudah melupakan kami saat masa kejayaan dulu. Bahkan Mbak Santi tidak menghargai Ayah dan Ibu pun Mas Galang seakan cuek,” imbuh Kirana.
“Galang, menyesal, Bu. Sekarang aku harus bagaimana?” tanyaku sambil memijat kepalaku yang terasa pusing. Hutang Santi terlalu banyak. Aku bingung, semua barang terkadang dia ambil tanpa sepengetahuanku. Bahkan kebiasaannya berhutang sama sekali tidak berubah, meskipun aku sudah melarang dan menasehatinya. Sekarang dia malah berhutang kulkas baru pada tukang kredit. Allah, rasanya aku lelah hasil kerja kerasku hanya untuk membayar hutang-hutangnya. Untuk apa coba kulkas? Alasannya untuk Ibu. Boleh memberikan pada Ibu, tapi kalau sudah mampu.
“Bu, sepertinya aku ingin menceraikan, Santi dan menata hidupku kembali. Selamanya akan seperti ini kalau terus bersamanya. Tidak ada masa depan dan bisa membuat, aku gila. Aku sudah tidak sanggup hidup dengan, Santi, Bu,” keluhku. Aku memang ingin menyerah. Pusing juga kalau setiap hari yang ada hanya pertengkaran.
“Bagaimana dengan, Desti, Galang?” tanya Ibu.
“Aku akan tetap bertanggung jawab padanya,” jawabku tegas.
“Terserah kamu saja kalau begitu. Yang terpenting kamu jangan mengabaikan nafkah pada anak-anak. Beri juga nafkahmu untuk Ayu,” ujar Ibu. Aku terdiam.
“Kalau, Ayu … Winda tidak pernah mau untuk menerima uang dariku, Bu. Dulu juga Galang pernah memberinya meski tanpa sepengetahuan, Santi. Karena kalau Santi tahu pasti akan marah-marah.”
“Kelewatan memang istrimu itu, Mas. Ada ya perempuan seperti itu. Sudahlah, Mas. Tinggalkan saja istri seperti itu. Lebih baik kamu beri jatah, Desti saja. Tapi kamu sudah tidak tekanan batin dengan kelakuannya itu,” kesal Kirana.
“Kalau begitu, aku pamit pulang dulu, Bu. Mau mengatakannya pada, Santi. Sekalian membereskan pakaian, Galang. Na, Mas pinjam uang 1 juta dulu untuk uang jajan Desti. Nanti kalau, Mas sudah kerja, Mas ganti,” ujarku.
“Sebentar, Kiran ambil dulu uangnya.” Kiran pun bergegas ke kamar. Sama sepertiku dulu, dia bekerja di sebuah Bank, hanya saja jabatan Kirana sebagai analis kredit. Tidak lama kemudian, Kirana pun kembali dengan membawa amplop coklat yang mungkin berisi uang.
“Ini, Mas. Kirana kasih tiga juta. Ini untuk Desti. Sampai Mas Galang dapat kerja nantinya setelah bercerai. Tidak usah pinjam. Hitung-hitung bantu, Kakak,” ucap Kiran. Padahal dulu, saat Kiran datang ingin meminjam uang, aku selalu bilang tidak ada. Ingin memberikannya karena aku sadar dia itu adikku. Namun, Santi tidak membolehkannya. Santi selalu marah kalau aku berbagi dengan keluargaku. Meski sekecil apapun itu. Jangankan berbagi uang, untuk membelikan Ibu atau Ayahku sekedar makanan ringan saja wajahnya selalu ditekuk. Yang dia mau, aku itu harus selalu sibuk dan mendahulukan keluarganya. Kalau keluarga dia minta apapun, dia akan memberikannya meskipun harus berhutang. Namun jika keluargaku yang meminta bantuan meski hanya untuk mengantar Ibu pergi ke suatu tempat, Santi akan mengajakku bertengkar sesudahnya.
Mertuaku juga sangat tidak baik. Dia mengukur segalanya dari materi. Tidak bisa melihatku bersantai meski sedikit. Jika melihatku bangun sedikit siang, pasti dari luar kamar ia akan sesumbar. Bingung, jika aku memiliki uang, akan ada sedikit hormat yang ia berikan padaku, seperti saat aku menjadi manager Bank. Namun, setelah aku bangkrut dan itu karena ulah anaknya, mereka pun seakan hilang hormat padaku. Cukup sekali ini aku masuk ke dalam keluarga yang seperti itu.
“Ibu, Kiran, aku pamit pulang dulu. Salam buat Ayah, terima kasih banyak, Bu. Kiran,” pamitku. Aku pun berjalan keluar dengan langkah yang sedikit lunglai.
“Hati-hati, bawa motornya, Mas! Dulu bawa mobil, sekarang bawa motor! Roda kehidupan memang berputar ya, Mas!” goda Kiran dari depan pintu. Aku hanya tersenyum kemudian melambaikan tangan. Setelah itu, gegas aku pun menyalakan mesin motor dan mengendarainya. Aku yakin, setelah bercerai dari Santi, hidupku akan lebih baik. Karena, keluargaku akan mau membantuku kembali. Sebenarnya aku ini keturunan orang kaya. Hanya saja setelah aku bercerai dari Winda dan menikahi Santi, semua anggota keluarga lepas tangan tidak mau tahu menahu tentang kehidupan rumah tanggaku yang baru. Mungkin itulah yang membuat Santi sangat membenci keluargaku. Karena tidak adanya restu mereka untuk kami.
“Dari mana saja kamu, Mas?! Semalaman nggak pulang! Nggak kerja! Malah kata Vina dan Anton kamu mengundurkan diri!” Dari mana kamu?! jawab!” bentak Santi sesampainya aku di rumah.
“Aku mau dari mana juga, apa urusan kamu?” balasku masih terlihat santai. Segera aku pun masuk ke kamar. Lalu mengambil tas kemudian memasukan semua pakaianku. Pakaian yang bagus berubah sangat kucel, lecek, tidak terawat. Karena semenjak aku miskin tidak ada pembantu yang kerja, Santi mengurus semuanya dengan asal. Baju hanya dikucek lalu dijemur selama berhari-hari, setelah itu baru dimasukan ke dalam lemari tanpa dilipat. Kerja dia hanya main ponsel, makan dan tidur saja. Cucian piring kadang sampai jamuran baru dicuci. Ah, pokoknya bukan istri idaman. Mandi pun bisa dihitung seminggu tiga kali. Makanya aku enggan untuk menyentuhnya. Anehnya, kalau pergi keluar dandanannya luar biasa.
“Kamu mau kemana?” Santi menarik pergelangan tanganku yang tengah sibuk memasukan pakaian.
“Minggir!” Kusingkirkan tangannya.
“Tahu kamu? Aku muak sama kamu dan sudah cukup sabar! Sekarang aku mau pergi dan tidak akan pernah menginjakan kaki di sini lagi!”
“Maksud kamu apa, Mas?!” tanyanya lagi. Bibirnya bergetar. Aku pun segera keluar kamar dan memanggil Desti. Kebetulan sekarang hari libur, jadi Desti di rumah.
“Desti!” panggilku.
“Iya, Pa,” jawab Desti. Nampak Anton dan Vina ada di ruang tamu tengah duduk. Keduanya sudah rapi dan mungkin akan segera ke toko. Karena, setiap hari Minggu toko Bang Roel buka lebih siang.
“Mas Galang mau kemana?” tanya Anton.
“Pergi, Ton. Bisa struk aku kelamaan di rumah ini. Bisa gila! Kamu sebelum gila, lebih baik cepat keluar dan ceraikan adik Santi!” Aku berujar. Santi menghampiriku lalu melayangkan tamparan yang cukup kencang.
“Desti, Papa tanya sama, Desti. Desti mau ikut Mama atau, Papa?” tanyaku pelan. Desti terlihat menatap Ibunya dan Kakek serta Neneknya. “Bawa sama lu! Kalau emang lu mau pergi! Biar gue bisa kerja lagi perawatan! Biar lu nyesel sekalian!” ucap Santi.
“Saya, Galang Firmansyah di depan keluarga besar, Santi. Menjatuhkan talak tiga padanya. Mulai hari ini, Santi bukan lagi istri, Saya. Segera akan saya urus surat perceraiannya.” Semua orang terdiam kaget terutama orang tua Santi.
“Saya kembalikan, Santi pada kalian,” ucapku lagi.
“Gue nggak takut cerai sama lu, Anji* kere! Gembel! Miskin! Laki-laki nggak berguna! Nggak rugi gue cerai sama elo, Bangsa*!” makinya. Aku hanya tersenyum sinis seraya menggelengkan kepala.
“Kamu lihat, Anton?” tanyaku pada Anton.
“Istri seperti ini, tidak pantas untuk dipertahankan. Tahu kamu? Bahkan aku telah membuang berlian, hanya untuk memungut batu kerikil dalam comberan seperti ini!” ucapku pada Anton seraya menunjuk wajah Santi.
“Udah! Nggak usah banyak bacot! Pergi lu sekarang! Bawa anak lu!” teriaknya.
“Desti ikut, Papa,” ucap Desti seraya berlari memelukku. “Iya, Sayang. Desti ikut, Papa,” ucapku. Aku pun urung memberikan uang pada Santi.
“Eh, Gembel!” teriak Santi saat aku dan Desti baru saja melangkahkan kaki ke luar.
“Tinggalin motor gue! Enak banget lo! Ngesot sana!” Aku pun mengangguk lalu melempar kunci motornya ke lantai. Segera aku berjalan bersama Desti untuk mencari angkot yang lewat. Beruntung mereka menyerahkan Desti begitu saja.
Sebelum pergi, aku melirik wajah Anton yang tengah berdiri di depan pintu. Lalu, aku pun memberikannya senyum yang meremehkan keluarga Santi. Senyum itu bermakna, keluarlah kamu secepatnya dari rumah keluarga itu.
POV SANTI
“Mbak!” panggil Vina.
“Kamu serius memberikan Ayu pada Mas Galang?” tanya Vina. Aku hanya mengangguk. Saat ini hatiku sangat hancur. Aku sedih Mas Galang Menceraikanku. Dalam relung hati terdalam, aku menangis. Kenyataannya, aku mencintai Mas Galang. Namun, aku sendiri tidak mau direndahkan seperti itu. Aku tersulut emosi.
“Aku masuk dulu, Vin,” pamitku. Aku pun langsung gegas ke kamar melewati Ibu dan Ayah. Sampai di kamar, aku langsung mengunci pintu. Lalu, menyembunyikan wajah di balik bantal. Menyesali kebodohanku. Harusnya aku mencegah, bukan menentangnya seperti itu.
Hikz … hikz … aku terus menangis di balik bantal. “Mas, maafin aku. Huhuhuhu! Aku nyesel!” Aku tidak tahu, mampu atau tidak menjalani hidup tanpanya. Aku sadar, aku memang salah. Tapi aku enggan mengakui kesalahanku. Tapi setelah melihatnya pergi, kenapa hatiku sesakit ini dan seperti ingin mengejarnya. Tapi percuma, Mas Galang telah mentalakku.
“San!” panggil Ibu.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Ibu dari balik pintu.
“Tidak, Bu!” ucapku berbohong. Yang sebenarnya, hatiku sangat hancur saat ini.
“Kamu jangan bohong!” teriak Ibu.
“Suara kamu terisak begitu!” lanjutnya. Aku hanya diam. Dengan Ibu berucap seperti itu, membuat tangisku semakin terjun bebas. Sedih banget aku hari ini. Entah kenapa aku bahkan bisa berucap seperti itu. Sekarang siapa yang mau menerimaku? Badanku melar, wajahku jelek, apa mungkin itu yang membuatku menangis ditinggal oleh Mas Galang? Sekarang bagaimana cara aku mendapat uang. “Bodoh! Kenapa aku memberikan Desti pada Mas Galang. Seharusnya Desti tetap bersamaku, jadi meski ditinggal Mas Galang, dia masih memiliki tanggung jawab untuk memberi nafkah. Dan aku bisa mempergunakan uang itu untuk perawatan. Sekarang aku harus bagaimana? Apa aku bisa memohon pada Mas Galang agar batal untuk menceraikanku?
Aku teringat Kiran adik Mas Galang. Segera aku pun meraih ponsel dan mengirim pesan padanya.
[Kiran, ini Mbak Santi. Mas Galang ada?] Aku pun menekan tanda kirim. Tak lama, pesanku sudah dibaca olehnya. Karena terlihat tanda warna ceklis biru.
[Tidak ada, Mbak. Semalam sih dari sini] Jadi semalam Mas Galang di rumah orangtuanya? Pantas saja dia bisa bertindak seperti itu. Aku yang tadinya baik-baik saja pun langsung membalas lagi pesan Kiran penuh emosi.
[Kiran! Pasti Ibu ya yang nyuruh Mas Galang, ceraikan aku? Kok Ibu tega banget sih! Ngajarin anak untuk bercerai! Pantas saja sifat Mas Galang berubah. Ternyata karena habis di racuni oleh Ibu!] Send aku pun mengirim balasan dengan menambahkan emot menangis.
Setelah mengirim pesan pada Kiran, aku meng-upload status di aplikasi Wa-ku.
[Bagaimana perasaan kalian sebagai menantu yang tidak pernah dianggap, lalu memiliki mertua yang meracuni anaknya untuk menceraikan istrinya?]
[Ya Allah, tega sekali mereka membuat rusak rumah tanggaku]
[Allah tetap bersama orang-orang yang sabar. Punya mertua begitu banget. Anak sendiri disuruh cerai]
Sederet kata itu kujadikan status. Aku tinggal melihat balasan apa yang akan kudapat .