POV Rani
Hari ini, tiba waktunya aku akan pergi ke acara pernikahan bersama Bang Roel. Uda tampan hitam manis dari kota minang itu, memang mampu mencuri hati dan perhatianku. Siapapun perempuan normal yang melihat wajahnya, pasti akan terkesima. Termasuk aku, dan aku … merasa menjadi manusia paling beruntung dapat menjadi sahabatnya. Syukur-syukur lebih dari itu. Tapi aku sadar diri siapa aku ini, sehingga rasa kagum itu, cukup aku saja yang rasa.
Sementara di luar, semua keluarga tengah sibuk mengurus acara pernikahan Mbak Winda dan manager Bank tempatnya bekerja. Namanya, Fahri. Aku kira jodoh Mbak Winda itu Bang Riki, ternyata atasannya sendiri. Setelah menikah, rencana, Mbak Winda dan Ayu akan dibawa pindah oleh Bang Fahri. Sebab, Bang Fahri akan dipindah tugaskan di cabang lain yang berada di luar kota. Kaget juga kami ketika tiba-tiba Bang Fahri dan keluarganya membawa lamaran. Beruntung memang nasib Mbak Winda. Lepas dari Mas Galang pun bisa mendapat seorang duda keren. Iya, Bang Fahri adalah seorang duda yang memiliki satu anak perempuan. Jadi, mereka berdua sama-sama membawa satu orang anak dari pernikahan sebelumnya. Istri Bang Fahri meninggal saat melahirkan Tasya putrinya yang sangat cantik seperti Ayu. Menurutku, pilihan Bang Fahri untuk menikah dengan Mbak Winda adalah pilihan yang tepat. Sebab, Kakakku itu tidak hanya mencintai Bang Fahri saja, tapi juga anak dan keluarganya.
[Ran, nanti Abang jemput pukul 7 malam ya. Abang banyak kiriman hari ini. Toko juga ramai, sepertinya akan lembur di rumah Abang. Anak-anak akan Abang bawa ke rumah juga supaya bisa lanjut disana] Aku mengulum senyum membaca pesan dari Bang Roel. Itulah, aku sendiri tidak tahu kenapa setiap pesan darinya mampu membuat senyumku merekah.
[Iya, Bang. Mau aku bantu? Jadi aku biar datang ke rumah Abang]
[Tidak usah, Sayang. Sudah ada karyawan baru, Kakaknya, Vina karyawan Abang yang suami istri itu.] Waduh, Bang Roel bikin aku terbang saja panggil sayang. Tapi ada yang lebih membuatku kaget. Kakak Vina kerja di sana? Santinem dong. Jadi pengen lihat mantan pelakor itu kerja di tempat Bang Roel.
[Jangan suka bercanda panggil aku sayang lho, Bang. Nanti Abang sayang beneran] balasku lagi menggunakan emot tawa.
[Tidak apa-apa, kalau kamu mau, Abang bakal sayang beneran kok] balasnya lagi membuat jantungku berdegup semakin cepat.
[Aku bantu, Mama dulu ya? Di luar lagi ada persiapan pernikahan Mbak Winda. Nanti kalau Abang sudah mau jemput aku, kabarin dulu biar aku siap-siap.]
[Sip] Setelah berkirim pesan dengan Bang Roel, bukannya aku keluar, malah tetap berguling-guling di kamar.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyaku menghampiri semua orang yang tengah sibuk. Rasanya baru kemarin acara lamaran, ternyata sudah hampir tiba hari pernikahan. Waktu memang terasa begitu cepat. Semoga cepat juga masa idahku berlalu. Takut-takut Bang Roel bawa lamaran mendadak. “Wkwkwkwk.”
“Kamu ngapain cengar-cengir sendiri, Dek? Ih, Mbak jadi takut,” ucap Kakakku yang sedang sibuk meni pedi.
“Ah, nggak apa-apa. Lagi seneng saja. Memang tidak boleh?” tanyaku. Aku melangkah dan duduk di sampingnya.
“Mas Galang sudah dikirimi surat undangan?” tanyaku menyelidik. Sukurin lihat Kakakku dapat suami yang lebih dari dia. Tampan pula.
“Sudah,” jawab Mbak Winda.
“Terus gimana reaksinya?”
“Kayaknya sih sedih. Gimana sih kalau orang kecewa? Biarin saja. Biar tahu rasa. Oh iya, waktu itu kalau nggak salah, mantan mertuaku bilang, Santi dan Galang cerai.”
“Pantesan, Mbak. Tadi itu Bang Roel bilang Santi kerja di tempat dia. Vina yang masukin,” ucapku memberi tahu.
“Kasian ya? Kaya cuma sebentar. Hasil ngerampas sih! Nggak berkah jadinya. Eh, tapi bukan ngerampas juga, orang sama-sama mau. Yaitu lah, pelajaran buat mereka. Kalau aku, lihat mereka sengsara, jelas bahagia dan tertawa,” ucap Mbak Winda.
“Suruh hati-hati itu teman kamu nanti! Karyawannya ular semua. Jadi orang kok mau saja terima mereka,” lanjut Mbak Winda.
“Kan Bang Roel nggak tahu, Mbak. Mungkin karena lagi butuh karyawan?”
“Bisa jadi.”
“Ya sudah, Mbak. Aku ke kamar dulu ya? Mau mandi sudah hampir Maghrib. Sebentar lagi, Bang Roel jemput. Kami mau pergi kondangan,” ujarku.
“Cie … cie … tanda-tanda asyik …ehem! Dandan yang cantik!” goda Mbak Winda aku mengabaikannya dan memilih untuk melanjutkan langkahku.
“Sombong! Mentang-mentang mau apel!” cibirnya lagi. Bodo amat … aku tidak peduli. Hahahaha ….
*********
Aku ini mau pergi kondangan saja sibuknya kelewatan. Pake ini terasa nggak cocok, pake itu juga sama. Riasan juga aduh, kok jadi begini. Bukan tanpa sebab, masalahnya aku tidak ingin membuat Bang Roel malu. Jadi, kalau bisa harus tampil sebaik mungkin. Sudah pukul 18.30, masih ada waktu setengah jam lagi dari sekarang. Waktu setengah jam adalah waktu yang sangat singkat untuk berhias. Mungkin saja bukan tampil sempurna, tapi justru sebaliknya.
Setelah lama memilih, akhirnya dapat juga aku pakaian yang cocok. Kebaya hitam dan rok pendek selutut ditambah make-up minimalis menjadi pilihanku.
******
Ting!
Notif ponsel berbunyi, kulirik jam dinding sudah pukul 18.50. Aku yakin, pasti yang datang Bang Roel. Segera aku pun bercermin untuk melihat hasil riasanku sendiri. Tampak anggun dan sederhana, menurutku. Tampilan kebaya warna hitam yang kontras dengan rok motif warna pink membuat kesan bold. Cukup sederhana, tapi terlihat cantik. Sengaja rambut yang sebahu ini kubiarkan tergerai. Setelah sudah cukup yakin, aku pun keluar dari kamar. Ada rasa deg-degan, tapi aku tetap mencoba santai.
******
Pesan dari Bang Roel pun segera aku buka.
[Aku ada di ruang tamu. Sama Papa kamu. Cepat ya, aku tunggu] Ha … segera aku pun melangkahkan kaki menuju ruang tamu.
“Cepetan! Udah ditungguin!” ujar Mbak Winda. Aku hanya tertawa dan segera melangkah cepat ke ruang tamu.
“Bang,” sapaku malu-malu. Mama dan Papa melirik ke arahku sambil tersenyum. Aku sih tahu arti lirikan mereka. Jelas saja lirikan menggoda. Mungkin aku terbebas dari godaan mereka karena ada Bang Roel di sini. Tapi setelah pulang kondangan nanti, hum … sudah habis aku dicecer dengan beberapa pertanyaan.
“Om, Tante, ijin bawa, Rani,” pamitnya sopan seraya berdiri. Kemudian, Bang Roel mencium punggung tangan kedua orang tuaku.
“Iya, hati-hati, Roel,” balas Mama.
“Ayok, Ran,” ajak Bang Roel. Aku mengangguk lalu berpamitan pada kedua orangtuaku. “Hati-hati,” ucap Mama lagi.
“Assalamualaikum!”
“Walaikumsalam!”
****
“Masuk, Ran.” Bang Roel membukakan pintu mobil untukku. “Terimakasih, Bang,” ucapku. Bang Roel hanya tersenyum.
“Siap?” tanyanya saat dia sudah duduk di tempatnya.
“Siap,” jawabku. Ada yang kurangkah dengan riasanku? Apa kemenoran ya? Kenapa Bang Roel tidak memujiku sama sekali? Ah, entahlah.
Bang Roel mulai mengemudikan mobilnya dengan fokus. Bibirnya terus mengulum senyum. Kemeja pendek putih, dan celana Levis berwarna hitam serta rambut yang klimis memakai minyak rambut, membuatnya terlihat begitu rapi dan tampan. Jam tangan dan sepatu mahal pun ia kenakan. Memang lah, Uda satu ini nampak sekali sebagai seorang bos yang berwibawa.
“Sudah puas menatapku?” ucapnya membuatku tersentak.
“Eh, em … anu.”
“Anu apa? Anu aku tampan? Aku tampan mewarisi Ayahku,” lirihnya. Aku hanya tersenyum simpul mendengar kata yang keluar dari mulutnya.
“Kamu cantik banget hari ini,” pujinya. Akhirnya, kata itu keluar juga dari bibir manisnya. Astaghfirullah, dosa kamu, Rani.
“Jangan ngeledek, Bang. Aku tahu kok, aku jelek. Makanya suamiku selingkuh. Kalau aku cantik, pasti suamiku tidak mungkin menduakanku.”
“Suamimu saja yang tidak pandai bersyukur. Sudah punya istri cantik, baik, mandiri, masih juga kurang.” Aku hanya diam saja. Meski banyak yang bilang aku cantik, tapi aku tidak mempercayai itu.
******
Perjalanan yang kami lalui sambil berbincang, membuat jarak terasa lebih dekat. “Ayo, turun,” ajak Bang Roel. Aku mengangguk dan langsung membuka pintu mobil sebelum Bang Roel membukakannya. “Buru-buru amat?” tanyanya.
“Iya, takutnya kamu bukain pintu mobil untuk aku. Sedangkan aku bisa membukanya sendiri, Bang.” Kami pun sama-sama melangkah masuk. Aku seperti orang asing di sini. Sebab, aku bukanlah tamu yang diundang. Setelah mengisi buku tamu, kami pun bersamaan masuk ke dalam.
“Roel,” sapa perempuan cantik dengan pakaian kebaya. Sepertinya dia bagian dari keluarga yang sedang merayakan pesta pernikahan ini. “Citra,” sapa Bang Roel. Keduanya saling berjabat tangan. Perempuan itu langsung saja cipika-cipiki dengan Bang Roel. Setelah itu, melirik ke arahku. “Hai,” sapanya sambil mengulurkan tangan. “Hai, juga,” balasku sambil membalas uluran tangannya.
“Citra!” ucapnya.
“Rani!” balasku seraya tersenyum.
“Ayo makan,” biar aku temani,” ajak Citra. Di dalam gedung ini, ada bangku khusus tamu-tamu duduk. Keadaannya juga sangat tertib. Sangat teratur, nampak sepasang pengantin sangat cantik berada di atas panggung nan megah. Aku mengagumi kecantikannya dengan pakaian yang sangat indah.
“Kami sudah kenyang,” tolak Bang Roel. Akhirnya, Citra pun mengambilkan minum untuk kami, dan mengajak duduk di luar. Kebetulan, bagian luar juga didesain begitu indah. Nampaknya untuk tamu yang tidak terlalu suka kebisingan atau kegaduhan. Lebih tepatnya, ini taman gedung. Semilir angin malam begitu menyejukkan.
“Pacar, Roel?” tanya Citra setelah kami duduk.
“Rani!” panggil seseorang yang baru keluar dari dalam. Fokusku langsung tertuju pada sumber suara yang memanggilku.”
“Ya Allah, Bima,” jawabku. Kami pun saling berjabat tangan.
“Apa kabar?” tanyanya.
“Alhamdulillah, kabar baik,” balasnya. Aku sedikit takut pada Bang Roel karena dia terus memperhatikan gerak-geriikku. Padahal Bima ini sahabat masa SMK dulu. Alhamdulillah, bertemu di sini.
“Kamu disini juga ternyata?” tanyaku.
“Iya, yang aku sepupu pengantin cowok,” jawabnya. Bima menyapa Citra dan Bang Roel dengan senyum.
“Ini teman SMK-ku, Bang,” ujarku memperkenalkan pada Bang Roel. Bang Roel mengangguk sambil tersenyum.
“Ini suami? Atau?” tanya Bima.
“Teman,” jawabku singkat.
“Oh, aku minta nomor ponselmu, Ran. Lama tidak berkabar,” ujarnya. Melihat raut wajah Bang Roel seperti itu, membuatku ragu untuk memberikan nomor ponsel pada, Bima. Tapi kalau tidak dikasih bagaimana? Tidak enak juga, sedangkan Bima ini teman lamaku juga. Akhirnya, aku sebut juga nomorku.
“Aku duluan ya, Ran. Nanti kita sambung di HP,” ujar Bima. Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Aku kira, kamu pacar Roel. Hampir saja aku mau bersaing sama kamu dapatin Uda tampan ini,” ucap Citra seperginya Bima. Aku hanya tersenyum untuk menanggapinya.
“Kamu bisa saja, Cit. Doakan saja, masa idahnya segera berakhir, biar cepat kupersunting dan menjadikannya istri,” ucap Bang Roel.
“Uhuk!” Aku yang sedang minum pun tersedak mendengar ucapannya. Antara kaget, senang, dan ah … entahlah campur aduk.
“Bang, kamu serius nggak sih, ngomong kaya gini?” batinku.
“Citra, kami pamit pulang ya? Sudah cukup malam,” ucap Bang Roel.
“Loh, masih sore ini. Baru jam 21.00, kok ceper banget? Aku masih mau ngobrol sama kamu,” rajuk Citra.
“Lain kali ya, Cit. Soalnya, aku ninggalin karyawanku juga di rumah,” ujar Bang Roel.
“Oh, begitu. Oke deh. Hati-hati ya,” ucap Citra. Aku dan Bang Roel pun langsung beranjak setelah berpamitan.
“Sayang?” panggil Bang Roel.
“Kok, Sayang? Sudah aku bilang jangan suka bercanda! Nanti sayang beneran, loh. Jangan bikin aku baper, Bang!” sungutku sedikit kesal.
“Heheheh, maaf,” lirihnya sambil membukakan pintu mobil. Kalau sifat dia seperti ini, bagaimana kalau aku bisa terbawa perasaan yang lebih dalam nantinya? Kalau dia hanya bercanda bagaimana? Aku tidak mau itu terjadi padaku.
**************
“Kita beli makanan dulu ya, kasian anak-anak pada belum makan di rumah. Lagi pada lembur,” ujar Bang Roel. Aku mengangguk, Bang Roel pun menepikan mobil di depan rumah makan Padang sederhana. Hum, mungkin karena orang Padang, jadi suka nasi Padang. Sedangkan aku, aku lebih suka pecel ayam.
“Da, bungkus nasi pake dendeng lambo lado hijau 12 bungkus,” pesannya. “Kamu mau pake apa, Ran?” tanya Bang Roel. “Nanti aku antar pulang setelah siap makan,” lanjutnya.
“Aku pake gulai gajebo, sambal hijau sama daun singkong. Nasinya setengah aja, Bang,” ucapku. Bang Roel mengangguk.
“Saya bungkus pake cinta perempuan yang di samping saya, Da,” ucap Bang Roel. Uda Nasi Padang hanya tertawa sambil membungkus nasi.
“Saya pake gajebo jangan banyak kuah,” ujar Bang Roel. “Gajebonya di pisah ya,” pintanya.
*******
“Sudah sampai kita,” ucap Bang Roel. Kami pun segera turun. Mobil terparkir di halaman yang cukup luas. Rumah besar bercat abu dan putih nampak begitu terawat. Disebelahnya, dibangun konveksi. Karyawannya masih bekerja di sana. Ada yang melipat, menjahit dan sebagainya. Jelas aku melihatnya, sebab mereka masih terlihat sedang bekerja. “Bang, di rumah besar ini, Abang tinggal sama siapa?” tanyaku.
“Sendiri. Paling Karyawan itu saja. Tapi mereka juga tinggal di konveksi.”
“Oooohhh ….”
“Ayo,” ajak Bang Roel. Dimana Mas Anton, Vina, dan Santi.
“Makan-makan!” teriak Bang Roel sambil meletakan makanan di atas meja konveksi.
“Vina! Anton! Santi!” panggil Bang Roel. Mereka segera datang menghampiri.
“Makan dulu! Rame-rame!” perintahnya. Pantas saja beli nasi dan air mineral cukup banyak. Ternyata banyak pasukan.
Aku pun masuk mengekor Bang Roel. Setelah Semua berkumpul di lantai, mereka pun mengambil satu persatu karena isinya sama. Terkecuali, punyaku dan Bang Roel. Tampak wajah mantan suamiku itu begitu letih. Tubuhnya juga tidak terawat dan semakin kurus. Entah kenapa, melihatnya seperti itu, hatiku seakan teriris dan rasa iba. Tanpa sengaja, saat aku dia mengambil nasi jatahnya, aku melempar senyum ke arahnya, dan ia pun membalas senyumku.
“Sayang, jangan bengong. Kamu makan,” ucap Bang Roel. Seketika Mas Anton terlihat kaget. Lalu, ia pun membuka bungkus nasinya sambil terus menunduk.
‘Kenapa kamu jadi seperti ini, Mas? Kasihan sekali ….’