My Beautiful Angel Episode 18

Chapter 18

Hari ini aku sedikit terkejut melihat Rani sangat cantik datang bersama bosku. Kelihatan sekali Bang Roel menyukai Rani. Seperti mimpi ketika Rani memberikan aku senyum termanisnya. Mungkinkah masih ada sedikit harap untukku?

Bang Roel mampu membuatku cemburu, aneh memang ketika melihat keduanya minum dalam satu botol. Sudah sedekat inikah hubungan mereka? Terkadang Bang Roel juga mengusap bibir manis Rani dengan sebelah tangannya ketika ada bekas nasi yang menempel di sudut bibirnya.

“Sayang, kamu buru-buru?” tanya Bang Roel pada Rani. Aku dan Vina saling melirik. Entah kenapa, perut yang semula lapar menjadi sangat kenyang.

“Enggak kok. Kan tadi sudah izin sama Mama dan Papa. Yang penting kamu antarin aku pulang,” jawab Rani terdengar begitu lembut. Bang Roel tersenyum manis padanya.

“Vin, tolong ambilin tisu basah di dalam ya!” Bang Roel menyuruh Vina. Vina pun langsung gegas.

“Sayang, ini karyawan baru di toko.” Bang Roel menunjuk pada Santi. Rani hanya mengangguk sambil melempar senyum pada Mbak Santi.

Di depan Bang Roel, kami memang seperti orang yang tidak saling mengenal sebelumnya. Rani juga sama. Dia seolah tidak melihatku.

“Di sini masih ada kamar kosong, kalian nginep saja. Kalau pulang kemalaman. Untuk pakaian Santi dan Vina, ada di kamar Kakak saya nanti di dekat ruang tamu ada kamar bertuliskan Nisa, kalian masuk saja. Pakailah pakaian yang kalian suka. Kebetulan banyak juga pakaian bekas kakak saya yang masih bagus.” terang Bang Roel. Mbak Santi dan Vina terlihat mengulum senyum.

“Kamu tidur sama anak-anak konveksi saja, Ton. Masih ada tempat kosong untuk tidur. Atau mau tidur sama, Vina?” tanya Bang Roel.

“Jangan, Bang. Vina biar tidur sama saya,” cegah Santi.

********

Waktu sudah semakin larut, kenapa Rani belum juga diantar pulang? Tidak baik seorang perempuan pulang larut malam begini meskipun sudah mendapat izin dari orangtuanya. Atau mungkin memang ingin berlama-lama bertemu denganku? Kebetulan kami juga masih lembur.

“Bang, antar aku pulang,” ucap Rani terdengar merajuk. Bang Roel tersenyum hangat seraya mengangguk.

“Oh iya, semuanya, aku duluan ya,” pamit Rani.

“Iya, Mbak,” jawab kami serempak.

“Tiga hari lagi, Kakakku akan menikah. Kalian datang ya? Bareng saja sama, Abang. Jangan sampai tidak datang. Aku tunggu loh, bareng sama Abangku yang tampan ini,” ujar Rani. Mbak Santi menarik ujung bibirnya sinis.

“Insya Allah, kami datang,” jawabku.

“Dah semuanya!” Bang Roel menggandeng tangan Rani menuju ke mobilnya. Dia juga membukakan pintu mobil untuk Rani.

“Enak banget jadi Rani. Hum! Diperhatiin sama, Bos … di sayang-sayang lagi,” lirih Vina. Aku hanya terdiam. Jangankan jadi Rani, jadi suaminya juga enak. Santai … terpandang, dihormati pula sama mertua. Tidak diperas tenaganya.

“Bang Roel, daripada sama Rani, mendingan sama temannya yang datang ke toko. Cantik dia kemana-mana,” lirih Vina.

“Emang ada, Vin?” tanya Mbak Santi. Vina mengangguk.

“Ada. Cantik lagi. Daripada, Rani, masih cantikan dia,” ucap Vina.

“Ya udah si gampang! Tinggal hasut saja itu Bang Roel!” timpal Mbak Santi.

“Setuju!” balas Vina. Keduanya pun tos seperti anak kecil.

“Kalian jahat banget sama, Rani. Jangan seperti itu!” ujarku, berharap mereka tidak menghasut Bang Roel untuk membenci Rani.

“Emang kenapa sih, Ton? Gue paling nggak demen lihat orang yang nggak gue suka bahagia!” ketus Mbak Santi. Aku pun memilih diam dan melanjutkan untuk mengeball barang.

“Ngomong-ngomong, itu si Winda nikah sama siapa ya?” Mbak Santi kembali bertanya.

“Nggak tahu aku, Mbak!” jawab Vina. “Mbak, kamu sama Mas Galang beneran jadi pisah?” lanjutnya. Mbak Santi mengangguk. Dia terdiam sejenak, bola matanya mulai berkaca-kaca.

“Sebenarnya aku menyayangkan perceraian ini sama Mas Galang. Jujur Mbak cinta sama Mas Galang. Tapi bagaimana lagi, toh selama menikah dengannya, keluarga Mas Galang juga nggak pernah anggap Mbak ada. Sakit hati sih kalau ngingat kelakuan keluarganya,” lirih Mbak Santi sambil terus menyerikan pakaian gamis.

“Mbak, aku pun kalau jadi Mas Galang sudah pasti meninggalkan kamu. Tidak ada suami yang betah tinggal sama istri yang tidak mau menghargai. Mbak, kamu sadar nggak, kamu menghina Mas Galang ini sudah kelewatan. Tidak sepantasnya. Sampai ada kata binatang kamu tunjukkan pada suamimu. Itu tidak pantas!” ujarku menimpali. Berharap kalau Vina tidak akan mengikuti jejaknya. Meskipun aku tahu, Vina itu pembangkang. Tapi aku yakin, dia masih bisa diperbaiki.

“Maksud kamu, kamu juga akan ninggalin aku, Mas?” tanya Vina.

“Kalau aku tergantung kamu. Kalau kamu tidak mau menghargaiku, dan tidak mau berubah, terpaksa aku mengikuti jejak Mas Galang,” jawabku mantap, lalu, melanjutkan kembali pekerjaan yang hampir selesai. Vina beringsut sambil memanyunkan bibirnya kesal.

“Gampang sih kalau mau jadi laki yang dihargai istri! Asal berduit juga dihargai! Lah, kalau lakinya kere, apanya yang mau dihargai?” tukas Mbak Santi.

“Iya, duit itu segalanya, Mas! Segalanya butuh duit. Duit itu nomor satu untuk kebahagiaan rumah tangga! Aku juga ogah kalau punya suami nggak berduit! Mending tinggal selingkuh cari yang ada duitnya!” imbuh Vina. Emang dasar Kakak dan Adik mata duitan. Pantas aja dulu Vina mepet terus, gue bos, sebelumnya. Tidak salah juga Rani mengambil semua harta yang dikumpulkan bersama, ternyata Vina hanya mengincar hartaku. Menjajakan diri demi bisa bersamaku demi harta yang ternyata tidak jadi milikku. Kalau memang seperti itu, jangan salahkan aku, kalau aku ingin mencari lagi perempuan yang berakhlak baik. Aku laki-laki, masih muda. Tidak berbekas pula.

“Pantas dulu kamu goda saya ya, Vin? Sampai rela membuka kancing bajumu demi menjeratku ke pelukanmu. Masih ingat tidak? Saat di toko hanya ada aku dan kamu? Kancing bajumu, kau buka hingga memperlihatkan gundukan yang di dalamnya? Memang aku bodoh? Aku tahu saat itu kamu tengah menggodaku!” cibirku pada Vina. Mbak Santi mendelikan matanya dan terdiam. Wajah Vina yang putih berubah merah. Mungkin saja tengah menahan malu.

“Vin, itu kancing pakaianmu terlepas,” ucapku kala itu. Vina pura-pura menutup dadanya dengan kedua tangan. Meski aku tahu, pasti dia memang sengaja. Sejak hari itu, aku pun mulai tertarik menggodanya. Awalnya hanya sentuhan nakal biasa. Namun, dia mulai berani dan membalas sentuhanku. Setiap aku ke kamar mandi toko, bahkan dengan sengaja dia menyusulku dan memaksa ikut masuk saat aku coba menolaknya. Sejak hari itulah hubunganku dan Vina berlangsung. Hingga akhirnya, dia memintaku untuk menikahinya. Malang memang menerpa, Rani yang aku kira sangat mencinta, dan akan menerima pernikahan kami, rupanya dia justru mengambil tindakan tegas. Memang, godaan seorang wanita itu teramat berat.

“Sudah sih, Mas! Tidak usah bahas kesitu! Lagipula kamu juga mau dan membalas perlakuanku!”

“Aku mau lah! Sayang saja, ada ikan nganggur yang masih segar dan geratis tidak dimakan oleh kucing yang tengah kelaparan. Kamu pikir saja, kucing mana yang akan menolak ikan segar yang tergeletak?” balasku dengan nada suara mencibir. Sungguh, ucapanku sangat merendahkan harga dirinya sebagai wanita. Kalau saja Vina masih punya malu, pasti dia akan merasakan itu. Kulirik, Mbak Snati masih terdiam. Dia tidak ikut menimpali celotehanku dan Vina. Apa mungkin dia memikirkan ucapanku barusan? Ah, entahlah.

“Akhirnya, selesai juga,” desisku sambil duduk di lantai dan menyandarkan punggung di karung. Sedikit aku pun mengulum senyum memandang Mbak Santi dan Vina. Bingung juga dengan Mas Galang, bisa-bisanya meninggalkan Mbak Winda untuk perempuan seperti dia. Dari segi penampilan pun tidak sebanding dengan Mbak Winda. Atau mungkin … dulu dia cantik?

“Assalamualaikum,” ucap Bang Roel.

“Walaikumsalam,” balas kami.

“Istirahatlah, kalau sudah selesai,” ujarnya.

“Kami masih ingin bergadang, Bang,” ujarku. Vina dan Mbak Santi mengangguk.

“Kopi ya kalau mau bergadang?” tawar Bang Roel.

“Boleh.”

Bang Roel pun terlihat mengutak atik ponselnya. Sepertinya ingin menghubungi seseorang.

“Halo, Mbak. Sudah tidur?”

“Bawakan kopi empat ke teras rumah ya. Sekalian cemilan, Mbak!” ucap Bang Roel berbicara dalam ponsel. Mungkin dengan pembantunya.

Tidak lama, seseorang keluar dengan nampan berisi empat gelas kopi dan juga sebuah cemilan roti kering di dalam toples beling. “Ini, Bang,” ucap perempuan muda itu terdengar lembut.

“Kalau sudah tidak ada yang dibutuhkan, saya masuk dulu, Bang,” ujar perempuan itu. Bang Roel hanya mengangguk.

“Itu siapa, Bang?” tanyaku.

“Pembantu, Abang, Ton.”

“Hum, masih muda ya, Bang!”

“Ingat, kamu jangan jelalatan. Udah ada Vina tuh!” Bang Roel terkekeh sambil melirik Vina. ‘Aku tidak akan jelalatan kalau Vina bisa menjaga sikap. Kalau dia tetap seperti ini, hingga membuatku jenuh, jangan salahkan aku juga kalau suatu saat aku menduakannya. Siapa juga yang betah dengan perempuan yang seperti itu.’

*****************

Tiga hari kemudian ….

“Kalian bagaimana? Sudah siap kondangan ke tempat, Rani?” tanya Bang Roel selepas menutup toko.

“Siap, Bang. Kita perempuan, dandan dulu kali ke toilet sekalian ganti pakaian,” ujar Santi. Sebab, pagi tadi Vina juga sangat sibuk menyiapkan baju untuk pergi ke kondangan. Entah, kalau dengan Santi. Benci aku dengan Kakak iparku itu, kalau tidak ada bos, bertindak seolah dia itu bosnya. Seharian, kerjanya hanya bermain ponsel. Enak banget, makan gaji buta!

“Ya sudah, kami tunggu,” ucap Bang Roel. Kedua orang itu pun segera berlalu, sedangkan aku dan Bang Roel menunggu di sini. Kami berjongkok di depan rolling door toko yang sudah tutup.

“Ton, menurut kamu, Rani itu bagaimana?” tanyanya.

“Bagaimana, gimana nih, Bang?”

“Lihat ini!” Bang Roel menunjukkan foto Rani sedang berpose merangkul Mbak Winda yang sudah sangat cantik dengan riasan pengantinnya.

“Cantik, Bang.”

“Iya, selain cantik, dia juga kuat. Mandiri. Aku suka perempuan seperti dia,” akunya. Andai saja dia tahu Rani mantan istriku. Mungkinkah dia akan merasa malu? Secara, menikahi bekas karyawannya sendiri. Apa dia tidak merasa jijik dengan Rani? Kenapa tidak aku coba saja beritahu.

“Bang, saya mau kasih tahu kebenaran tentang perempuan, Rani. Mungkin setelah aku beritahu, Abang akan merasa kaget,” ucapku.

“Kamu kenal sama, Rani?” tanya Bang Roel.

“Bukan hanya kenal! Sebab, Rani itu ….”

“Ayo, Bang. Kami sudah selesai,” sambar Santi memotong ucapanku. Bang Roel mengangguk, dan kami pun langsung berdiri.

Kami berempat jalan beriringan, karena kebetulan semua toko juga sudah hampir tutup.

“Tadi kamu mau kasih tahu kebenaran tentang, Rani bagaimana, Ton?” tanya Bang Roel.

“Emang Abang tidak tahu mantan suami, Rani?” tanyaku. Bang Roel menggeleng. Dia pasti shock kalau tahu akulah mantan suaminya.

“Mas Anton ….!” panggil Vina seakan memberi kode. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak ingin Rani berhubungan dengan Bang Roel. Aku tidak suka. Aku tidak rela!

“Mantan suami Rani itu.” Belum sempat aku mengucap, Vina mencubit pinggangku. Untung Bang Roel tidak lihat.

“Mantan suami Rani itu, nikah lagi. Sebab Rani itu ‘kan perempuan mandul! Aku juga tahu mantan suaminya,” sambar Santi.

“Yang benar kamu, San!” timpal Bang Roel. Tidak terasa kami sudah sampai di parkiran mobil. Sengaja aku tidak membawa motor lagi tadi karena akan pergi kondangan bareng.

“Bener kok, Bang. Saya kenal sama mantan suaminya. Ya, namanya hidup itu kan butuh keturunan. Kalau tidak ada keturunan, siapa yang akan menjaga kita saat tua nanti?” desis Santi. Bang Roel hanya terdiam sambil membuka pintu mobil. Namun, raut wajahnya terlihat berbeda. Mungkin ia tengah berpikir.

Aku duduk di jok depan, sementara Vina dan Santi di belakang.

“San!” panggil Bang Roel. Kamu kenal Rani di mana?” tanyanya. Niat hati ingin membuat Bang Roel menghindari Rani, justru menjadi bumerang untuk diri sendiri.

“Em–anu, Bang.” Maju salah mundur salah. Maju maka Bang Roel akan mengetahui sejarah memalukan, sedangkan kalau mundur, ucapan Santi tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sejarah memalukan? Iya, karena Santi telah merebut suami Kakak Rani. Lalu, itu juga akan merembet padaku, kalau akulah laki-laki yang tidak pandai bersyukur itu. Meskipun mungkin saja Bang Roel ilfil dengan Rani jika mengetahui kebenarannya.

Pasrah sudah! Biar saja Mbak Santi yang akan menceritakannya. Aku ingin lihat, bagaimana cara dia menjawab pertanyaan Bang Roel.

Karena berawal dari cemburu, justru harus membuka sebuah masa lalu yang memalukan. Rani saja menutupi, kenapa justru aku ingin membukanya? Meskipun akan ada keuntungan untukku. Sebab, Bang Roel pasti mempertimbangkan lagi untuk menjalin hubungan dengan Rani. Mana ada bos yang mau dengan mantan istri karyawannya? Jelas beda level ya’kan? Bekas karyawannya sendiri gitu loh!…


My Beautiful Angel

My Beautiful Angel

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kisah seseorang yang menikahi karyawannya tanpa sepengetahuan sang istri pertama, Anton yang baru saja membawa pengantin baru ke rumahnya harus berhadapan istri pertama dengan celotehan tanpa henti dari Rani, yang sejatinya sangat judes dan tidak peka dengan keadaan disekitarnya , tetapi bagaimana pun Anton akan tetap mempertahankan pengantin barunya ,Vina dengan meminilasir masalah sekecil mungkin, tapi sayang karena tiga-tiganya edan mungkin ini akan jadi rintangan yang tidak mudah untuk mereka. Dapatkah Anton menjalani hidup sekaligus mempertahankan keluarganya ? Yuk dibaca kisahnya lebih lanjut...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset