POV Anton
“Santi, tadi aku tanya kamu kenal dimana sama suami Rani?” tanya Bang Roel yang tengah sibuk mengendarai mobilnya.
“Dan kamu Anton, tadi kamu belum lanjutkan ucapanmu. Kalian ini sangat pandai membuat orang penasaran,” ucap Bang Roel.
“Em, anu … Bang–.” Aku bingung mau jawab apa. Terlebih ketika menatap Vina wajahnya sangat menyeramkan.
“Kenal lah Bang! Orang mantan suami Rani itu Mas Anton!” jawab Mbak Santi ketus.
Cccrriiiitttt!
Bang Roel kaget sampai stir yang dikemudikan hampir oleng.
“Segitunya kamu kaget, Bang. Dekat sama Rani, aku kira sudah tahu!” ucap Santi lagi. Bang Roel hanya terdiam.
“Tapi kalau Abang mau sama Rani, tidak masalah Bang. Rani itu mandul, dia juga tidak sebaik yang Abang kira. Hati-hati! Tipe istri yang menguasai suami. Kalau belum memang gitu, kelihatan lemah lembut, pintar, kalau sudah jadi istri, pergi ke rumah Ibumu pun takkan di izinkan, Bang,” ujar Mbak Santi.
“Masa si? Kok jahat banget.” Sepertinya Bang Roel mulai terpengaruh.
“Memang seperti itu kenyataanya Bang,” imbuhku. Ya Tuhan, sebenarnya aku merasa berdosa telah mengatakan sebuah kebohongan. Tapi bagaimana lagi? Aku tidak suka melihat Rani jadi sama Bang Roel, tidak rela rasanya.
“Wajar kan, Bang. Kalau perempuan mandul itu harusnya rela berbagi suami? Ini sama sekali nggak. Tahu gak Bang, bahkan kami sama sekali tidak diberi bagian atas harta toko. Semuanya untuk disumbangkan sama untuk Rani itu sendiri!” ketus Vina menimpali.
“Jadi yang dimaksud Rani selingkuh, berarti kalian dong,” ucap Bang Roel. Aku meneguk ludah. Wajahku sedikit gusar.
“Iya, suaminya Winda Mas Galang, selingkuh sama saya!” cetus Santi.
“UPS!” Mbak Santi menutup mulutnya.
“Winda … Kakaknya Rani yang menikah hari ini?” tanya Bang Roel. Benar-benar Santi ini. Santi tidak menjawab dan memilih bungkam.
“Jadi Bang Roel tetap akan menikah dengan Rani? Nggak jijik bekas Mas Anton? Bang Roel itu tampan, masih bujangan, mending cari perempuan lain Bang. Atau nggak sama teman Abang yang kapan waktu itu ketemu di toko. Itu baru cocok,” ujar Vina. Bang Roel terdiam. Kalau punya muka, pasti berpikir seribu kali untuk menikah dengan Rani. Kecuali selera dia rendahan. Eh, tunggu … tapi ‘kan aku dulu tampan dan kaya. Seorang boss gitu. Sekarang saja aku jadi tukang panggul. Efek nikah lagi eh ketiban sial.
*******
Ternyata begini rasanya belum ikhlas melihat mantan istri didekati oleh laki-laki lain. Rasanya ingin berusaha sekuat tenaga supaya tidak ada yang mendekatinya dan hanya aku seorang yang berhak memilikinya. Memang egois, tapi bagaimana lagi … aku juga terpaksa.
“Ayo, turun. Sudah sampai,” ucap Bang Roel.
“Jangan lupa makan yang banyak,” goda Bang Roel setelah kami turun dari mobil. Rasanya jantungku berdegup tak karuan menginjakkan kaki ke rumah mantan mertua. Setelah sekian purnama, aku kembali menginjak rumah ini lagi.
Mbak Santi terlihat mengagumi rumah mantan mertuaku ini, mau sebut rumah mertua tapi sudah bukan menantunya lagi.
“Bang!” panggil Rani sambil melambai ke arah kami. Dengan pakaian kebaya, Rani terlihat amat cantik. Andai saja saat ini aku masih suaminya, pasti aku tengah berada diantara mereka. Tapi sayang, semua itu hanya tinggal kenangan.
“Bang, baru datang?” sapa Rani. Bang Roel mengangguk sambil tersenyum. Bosku itu memang murah senyum.
“Ayo masuk Bang. Semuanya ayo kita masuk!” ajak Rani. Kami bertiga pun berjalan dibelakang mereka.
Hatiku terasa sangat panas sekaligus bingung. Bukankah tadi sudah kubuat supaya Bang Roel menghindari Rani? Tapi kenapa justru semakin dekat? Pakai acara merangkul segala lagi, Tidak menghargai perasaanku sama sekali!
“Mas, kamu kenapa diem aja sih?” sungut Vina. Aku hanya meliriknya.
“Mama, Papa, tamu yang kita tunggu-tunggu sudah datang nih!” ucap Rani membawaku dan yang lain naik ke atas panggung. Di sana Mbak Winda dan suaminya nampak sangat rupawan. Acara ini sangat meriah meskipun tidak di dalam gedung pernikahan. Rumah besar mantan mertuaku juga cukup menampung banyak orang. Terlebih taman yang cukup luas pun penuh dengan meja-meja dan kursi. Lampu hias yang menghiasi taman juga terlihat sangat indah. Kebanyakan tamu setelah memberikan selamat, mereka kembali keluar untuk duduk bersama barengannya dan menghirup udara segar. Ada juga yang di pinggir kolam renang. Makanan juga sangat banyak tersedia. Ada yang di luar juga di dalam. Mendadak perutku keroncongan.
“Anton, apa kabar?” sapa Mama.
“Baik, Ma,” jawabku.
“Doakan Rani supaya cepat dapat pengganti kamu,” ujar Mama lagi. Aku hanya tersenyum simpul. Tidak tahu apa arti senyum itu. Yang aku tahu, aku amat tidak menyukainya.
Vina dan Santi memberi selamat pada pengantin secara bersamaan. Singkat tidak ada basa-basi. Setelah salaman keduanya langsung turun dari panggung seakan mereka itu merasa kegerahan.
Setelah memberi selamat pada Mbak Winda dan suaminya, aku pun langsung keluar menyusul Mbak Santi dan Vina. Sedangkan Bang Roel dan Rani sibuk mengambil foto pengantin. Nyeri sekali hati ini melihat kemesraan mereka.
“Bang! Saya tunggu di luar!”
******
“Kalian nggak makan?” tanyaku pada Kakak beradik yang sedari tadi terlihat tidak bersemangat.
“Nggak ah, Ton. Nggak selera,” jawab Mbak Santi. Aku juga enggan menyantap hidangan yang tersaji meski terlihat enak. Melihat kedekatan Rani dan Bang Roel sudah membuat perutku terasa begah.
“Sambil nunggu Bang Roel, kita duduk di meja sana aja yuk!” ajak Vina. Kami pun mengangguk dan berlalu ke arah pojok persis di bawah pohon rindang. Semilir angin malam bertiup segar menyapu wajah.
“Jauh juga ya, dari toko ke sini. Tadi kita dari toko jam lima, sampai sini setengah tujuh,” gumam Mbak Santi.
“Iya ‘kan macet Mbak.” Vina menimpali. Wajah keduanya benar-benar terlihat sangat suntuk.
“Vin, Mbak jadi pinjam uang kamu buat beli skincare ya? Nanti kalau sudah ada uang Mbak ganti,” ujar Mbak Santi.
“Siap, Mbak. Aku jual gelang dulu ya,” ucap Vina membuat dadaku bergemuruh.
“Jangan dijual gelang kamu, Vin,” ujarku.
“Itu ‘kan uang untuk simpanan! Kamu gimna sih!”
“Pelit banget sih kamu, Mas!” kesal Vina. Iya berdecih sambil memanyunkan bibirnya.
“Nggak usah takut, Ton. Aku ganti kok!” Sepertinya dari raut wajah, Mbak Santi tersinggung dengan ucapanku.
“Terserah kamu aja lah, Vin,” singkatku.
“Iya lah, lagian ‘kan ini juga hasil kerjaku!” jawab Vina.
“Bos datang,” lirih Santi. Kami langsung menghentikan obrolan.
“Kok kalian malah bengong disini? Nggak mau makan?” tanya Bang Roel. Di
sampingnya ada Rani tersenyum manis.
“Nggak, Bang. Kami kenyang,” jawabku lemas. Aku sendiri tidak mengerti kenapa tidak rela melihat Rani dekat dengan laki-laki lain. Sedangkan aku sudah berkomitmen untuk fokus menjalani rumah tangga dengan Vina. Harusnya aku merelakan dia, karena memang semua ini kan atas kebodohanmu sendiri.
“Anton, kamu tidak keberatan ‘kan kalau selesai masa iddah saya menikahi Rani?” tutur Bang Roel. Sebenarnya hatiku berdenyut nyeri, ada sesuatu yang terasa sakit di tulang rusukku. Bolehkah aku menjawab tidak rela? Ya Allah, aku ingin menangis ….
“Anton!” panggil Bang Roel lagi. “Kok malah bengong?”
“Eh, maaf, Bang. Saya rela kok Bang. Kenapa tidak rela, ‘kan sudah ada Vina.” Terpaksa aku jawab seperti itu untuk menutupi perasaanku yang sebenarnya. Kalau boleh jujur, aku tidak rela dan tidak akan pernah merestuinya. Kalau Rani menikah dengan Bang Roel, otomatis dia menjadi Bosku? Mana lucu, mantan istriku menjadi Bosku. ‘Sesek banget dada gue.’
“Jadi Abang mau nikah sama Rani? Beneran Bang?” ujar Vina bertanya.
“Jika Allah menghendaki, maka aku akan menikahinya,” kata Bang Roel terdengar tegas. Aku bisa apa selain mendoakan kejelekannya?
“Wah, berarti di dalam lama banget, ngobrolin mau nyusul ya?” Vina menimpali sambil tertawa.
“Tahu aja kamu, Vin,” ucap Bang Roel membuat hatiku semakin panas.
“Kalian beneran nggak mau makan nih?” gumam Rani terlihat kecewa. Kedua perempuan itu hanya diam saja saat ditanya.
“Nggak, Ran. Kami sudah kenyang,” sahutku.
“Ya sudah, kalau tidak mau makan, aku ambilin es buah saja sama makanan ringan ya? Jadi tidak bengong. Sambil ngobrol-ngobrol,” ujar Rani. Mantan istri yang masih ku-anggap istri itu pun bergegas. Tidak lama kemudian, dibantu seseorang, dia kembali dengan membawa lima gelas es buah dan beberapa piring irisan kue. Dia jalan sambil tersenyum ke arah kami.
Terima kasih, Sayang,” ucap Bang Roel saat Rani telah meletakkan es buah beserta kuenya di atas meja.
Sambil menikmati segarnya es buah dan manisnya kue bolu semanis senyum Rani, kami pun mulai berbincang hangat. Sesekali aku mencuri pandang pada mantan istriku hingga dapat kulihat wajahnya tersipu. Entah tersipu malu, atau risih karena aku terus menatapnya.
.
.
.
“Mas Galang! Desti!” panggil Rani. Cepat kilat Mbak Santi melirik ke arah Mas Galang. Ia diam saja meski melihat putrinya baru saja datang.
“Ran! Kami masuk dulu. Anton! Bang Roel!” sahutnya sambil melambai ke arah kami. Sedangkan Mbak Santi memilih untuk membuang muka. Padahal ada Desti di sana.
“Mbak, nggak nyapa Desti?” tanya Vina. Mbak Santi hanya menggeleng.
“Apa tidak bisa diperbaiki lagi hubungan kalian?” ujarku bertanya. Meski bagaimanapun, mereka sudah lama bersama. Sayang kalau harus kandas di tengah jalan seperti ini. Kasihan juga pada Desti.
“Nggak lah, Ton. Lagian percuma, jadi istri Mas Galang hanya menambah dosa saja setiap harinya.” Mbak Santi menarik nafas dalam lalu menghembuskannya.
“Untuk apa aku bertahan dengannya, kalau keluarganya tidak menyukaiku? Selalu makan hati. Mending-mending bisa bahagiain istri! Nah ini, sudah gagal bikin istri bahagia, ditambah sifat keluarganya yang songong! Mending pisah saja sekalian. Lagian aku yakin masih bisa mendapat pria yang lebih baik lagi dari dia. Aku ini dasarnya cantik, semenjak Mas Galang kere saja aku tidak ada perawatan. Kalau sekarang, aku mau fokus urus badan dan juga kulit wajah supaya kembali lagi seperti dulu. Aku mau lihat Mas Galang itu bakal ngemis-ngemis sama aku,” jelasnya penuh rasa percaya diri. Tapi namanya orang, sekarang ngomong A, semenit kemudian B. Seperti aku, yang kadang dengan yakin ingin merelakan Rani, lima menit kemudian berubah pikiran….
*************
“Sayang, sudah malam, Abang pamit pulang ya? Belum lagi ngantar mereka pulang,” ucap Bang Roel.
“Hati-hati, Sayang,” balas Rani penuh tawa. Kami bertiga pun langsung bangkit dari tempat duduk.
“Tunggu Abang datang bersama orang tua Abang.” Ucapan Bang Roel benar-benar mampu membuat hatiku menjerit kencang. Di depanku, mereka bisa mesra-mesraan begitu? Harusnya Bang Roel menjaga perasaanku. ‘Ya Allah … aku tidak rela dia diambil orang lain … hikz … hikz ….’
“Aku tunggu janjimu, Bang,” balas Rani lagi. Kali ini Bang Roel memegang tangan Rani. Ingin sekali rasanya aku melepaskan tangan mereka.
“Ayo, Bang. Kayak nggak rela banget ninggalin Rani,” desis Mbak Santi sewot.
“Tahu saja kamu Santi, saya berat untuk ninggalin Rani,” jawab Bang Roel melirik pada Mbak Santi.
‘Sia-sia menghasut Bang Roel kalau akhirnya mereka mesra seperti ini. Sungguh hasutan yang sia-sia.’
*********************************
POV ROEL ….
Selepas mengantar anak-anak pulang, aku langsung mandi lalu beristirahat. Tiduran sambil memainkan ponsel. Senyum manis Rani memenuhi isi kepalaku. Sepertinya aku memang tengah jatuh cinta padanya. Meskipun ketiga karyawanku bercerita tentang kejelekannya, entah kenapa aku tidak bisa membencinya begitu saja.
Memang ada sedikit rasa ilfil, mengingat kebenaran kalau ternyata Rani itu mantan istri dari Anton yang tidak lain adalah karyawanku. Tapi entah kenapa, aku ingin membuka hati untuk mencintai dan menerima kekurangannya. Sebab, sebelum Anton bercerita, aku begitu mengagumi sosok Rani. Kenapa setelah mendengar cerita dari Anton respect-ku sedikit berkurang? Aneh bukan? Tapi aku juga bingung ketika melihatnya ada yang menyapa saat di pesta Citra, ada rasa tidak suka pula, dan saat aku berada di dekatnya, aku tidak ingin menjauh darinya. Mungkinkah ini yang dinamakan cinta? Dan rasa hilang sedikit respect karena rasa cemburu tepatnya? Ah, entahlah … pusing juga aku memikirkan, yang jelas aku ingin segera menghalalkannya. Toh umurku juga sudah cukup matang, 30 tahun, harusnya sudah memiliki seorang anak. Tapi masalahnya, Rani mau atau tidak menikah denganku?
Sekarang ini yang aku pikirkan cara untuk berbicara pada keluargaku. Mereka akan setuju atau tidak jika aku menikahi seorang janda. Terutama Mama, dia sangatlah keras kepala. Kalau Papa orangnya santai dan welcome. Mudah-mudahan, setelah aku berbicara dengan Mama dari hati ke hati, dia dapat mengerti. Besok pagi, aku akan coba hubungi mereka. Lebih baik aku bicarakan dari jauh hari niat dan keinginanku, supaya aku juga bisa meyakinkan mereka terutama Mama.
*********************
[Selamat pagi, Abang … selamat melaksanakan rutinitas seperti biasa.] Aku tersenyum membaca pesan masuk dari Rani. Ah, andai saja dia sudah menjadi istriku, pasti akan ku-kecup keningnya. Tapi mulai ada perkembangan. Sekarang Rani sudah berani mengirim pesan duluan.
[Pagi juga, Adek. Calon istri Abang] Segera kukirim pesan balasan untuknya.
[Jangan suka bercanda, Bang. Nanti jadi kenyataan.]
[Aamminn ….]
[Bang!]
[Hum]
[Jangan suka bercanda begitu. Aku takut kebawa perasaan. Kalau Abang cuma bercanda ‘kan sakit hati aku, Bang.]
[Abang nggak bercanda. Abang serius. Dulu Abang juga pernah suka sama kamu.] Akhirnya pagi ini kami pun sibuk berbalas pesan hingga malas untuk beranjak.
[Terserah Abang deh mau ngomong apa. Aku tahu Abang bercanda, jadi aku tidak mau berharap. Karena berharap itu sakit jika tidak menjadi kenyataan. Hahahahah]
[Terserah Adek juga mau percaya apa nggak. Yang pasti Abang serius. Tunggu saja Abang akan datang ke rumah adek setelah Mama dan Papa berangkat ke Jakarta] Sebab keluargaku ada di kota Padang Sumatera barat.
[Dek, Abang mandi dulu mau ke toko]
[Oke, Bang. Aku juga] Kami pun berhenti berkirim pesan. Seperti ini ternyata rasanya jatuh cinta yang mendapatkan respon. Rasanya sangat indah … sekali… sampai bingung kata apa yang cocok untuk menggambarkan suasana hati saat ini. Yang pasti, aku bahagia ….
.
.
.
Selesai mandi aku langsung bersiap. Mungkin saja ketiga karyawanku sudah berada di toko menunggu kunci. Ingin memiliki karyawan yang dapat dipercaya seperti Rani hingga bisa santai ke tokonya. Namun, aku belum bisa sepenuhnya mempercayakan toko pada mereka. Kalau Mas Galang aku bisa jamin karena dia jujur selama bekerja denganku. Hampir 9 tahun dia menjadi karyawanku. Menghubungi Mama nanti sajalah kalau sudah sampai di toko. Jadi ngomong juga tidak terburu-buru.