“Mas, kamu nggak punya pembantu?” tanya Vina. Aku melirik ke arahnya.
“Pembantu buat apa?”
“Ya, pembantu! Buat masak, nyuci baju, beres-beres rumah.”
“Kan ada kamu. Ada Rani juga. Ngapain pake pembantu?” Buang-buang uang saja pake pembantu segala rupa.
“Ih, kok gitu? Enak saja! Idih, masa aku nikah sama bos yang punya toko jadi pembantu. Ogah, Mas! Oooggahhh!” pekiknya terdengar nyaring di telinga.
“Katanya cinta? Kalau cinta harus terima dong!” sungutku. Entah, aku jadi merasa sedikit kesal karena ulah Rani tadi.
“Cinta sih cinta, Mas! Tapi nggak begini juga kali!” protesnya. “Pokoknya hari ini juga, harus ada pembantu, Mas. Aku nggak mau ya kalau cuci baju sendiri! Selama aku jadi karyawan kamu saja, pakaianku di laundry!”
“Berisik! Cablak banget sih kamu! Baru juga jadi istri sehari! Perasaan waktu pacaran kamu manis banget,” godaku. Ah, mau cablak atau tidak aku memang mencintainya.
“Namanya juga mau ambil hati kamu, Mas! Masa iya, berakrakan! Ntar kamu nggak tertarik dong. Huahahhaaha” Vina tertawa seraya bergelayut manja. Itu yang aku suka darinya, selain cantik, manis, dia juga luwes. Di toko Vina sangat pandai melayani pelanggan. Entah, aku pun tak mengerti kenapa begitu dalam mencintainya. Bersamanya, duniaku seperti kembali berwarna.
“Mas,” lirihnya.
“Hem.”
“Aku nggak nyangka bisa nikah sama kamu. Ya, meski nikahnya hanya sederhana. Diam-diam lagi!” Vina memanyunkan bibirnya. Sangat menggemaskan. Berbeda dengan, Rani. Bersama Vina, aku seolah menjadi suami yang sangat dibutuhkan. Sedangkan Rani terlalu mandiri, seolah tidak membutuhkan keberadaanku. Apapun dia bisa mengerjakannya sendiri. Sedangkan aku cukup mengurus toko. Padahal, aku ingin kalau Rani itu bergantung padaku.
“Aku juga tidak menyangka bisa menikah dengan kamu. Aku juga tidak pernah menyangka kamu bisa menyukaiku yang jelas-jelas telah memiliki seorang istri.”
“Sudah, Mas. Jangan bahas itu, aku malu,” rajuknya. “Namanya juga cinta, Mas. Datang tak diundang. Habis kamu suka lihatin aku. Jelas aku jadi tertarik sama kamu. Selain itu, kamu ganteng, bos lagi. Wajar dong kalau aku semakin tertarik lagi.”
“Aku mau ke toko. Kamu mau ikut?” tawarku. Vina terdiam sejenak. Mungkin dia tengah berpikir karena di toko ada Rani.
“Mau, Mas. Sekalian mau menunjukkan pada karyawan lain, kalau aku udah sah jadi istri kamu,” jawabnya. Aku mengambil kunci motor dan menunggu Vina di luar. Setelah beberapa menit, Vina pun keluar dengan polesan make-up tipis natural yang membuat wajahnya terlihat cerah. “Cantik banget istriku ini,” pujiku mampu membuat wajahnya bersemu malu.
“Tas aku bagus ‘kan, Mas?” tanyanya.
“Bagus dong. Itukan tas mahal yang aku belikan. Cepat naik!”
“Mas ….”panggilnya. Dia masih berdiri di tempatnya.
“Kenapa? Ayok naik!”
“Masa naik motor? Emang nggak ada mobil? Percuma dong dandanan aku nanti rusak. Terus rambut aku gimana? Nanti kusut dong! Kamu tahu sendiri butuh waktu lama untuk menyisir rambutku!” Lagi dan lagi Vina memanyunkan bibirnya.
“Kalau naik motor rambutku ketiup angin kusut dong! Aku nggak mau naik motor, Mas! Aku mau naik mobil saja!” cercanya membuat kepalaku pusing. Vina berbeda sekali dengan Rani. Sedangkan Rani paling suka naik motor. Ternyata wanita memiliki kegemaran yang berbeda.
“Tidak ada mobil! Kamu mau ikut atau tidak!” bentakku. Mau pergi ke toko saja kebanyakan drama.
“Makanya jadi suami jangan lembek! Ya sudah aku ikut! Mau pamer tas baru sama pamer udah jadi istri kamu!” sungutnya sambil naik ke atas motor.
“Pegangan! Aku mau ngebut!” Vina diam saja tak menjawab. Saat ku-arahkan kaca sepion ke wajahnya, dia terlihat sangat kesal menahan amarah.
***
Setibanya di toko, semua karyawan tengah sibuk. Ternyata banyak sekali pelanggan hari ini. Rani sampai turun tangan sendiri ikut melayani. Lalu, siapa yang jaga kasir. Segera aku dan Vina masuk ke dalam.
“Mas, aku duduk di meja kasir saja,” ucapnya. Aku mengangguk. Setelah itu segera melayani pelanggan yang baru saja tiba.
“Kalau menurut saya, lebih bagus yang ini, Ini granit yang paling bagusnya. Insya Allah, Mas tidak akan kecewa,” ucap Rani penuh keramah tamahan. Aneh, kenapa aku tidak suka melihatnya terlalu dekat dengan pelanggan. Bukan tanpa sebab, karena pelanggannya seorang pria.
“Oke, kalau gitu, saya ambil granitnya 120 kardus,” ucap laki-laki itu.
“Silahkan lakukan pembayaran, Mas,” ujar Vina tak kalah ramah.
“Kamu minggir! Lancang sekali kamu ke ruangan kasir! Siapa yang suruh? Keluar kamu!” usir Rani. Wajah Vina terlihat merah menahan malu. ‘Kelewatan kamu, Ran!’
“Itu siapa, Mbak?” tanya pelanggan.
“Oh, karyawan saya, Mas. Bukan apa, dia telah mencuri milik saya. Mencuri barang yang telah 4 tahun saya jaga. Untung sekarang saya sudah tidak membutuhkan barang itu,” jawab Rani. Memang Vina mencuri apa?
“Memang barang apa, Mbak?” Laki-laki itu kembali bertanya.
“Oh, bukan apa-apa, Mas. Hanya boneka yang sudah rusak,” jawab Rani. Mana ada Vina mencuri boneka rusak milik Rani. Ada-ada saja dia ini.
“Jadi berapa, Mbak?” tanyanya.
“27 juta, Mas. Mas tinggalkan alamatnya, nanti biar karyawan saya yang antar. Terimakasih dan selamat datang kembali,” ucap Rani ramah.
“Sama-sama, Mbak. Saya tunggu belanjaan saya. Semoga tepat waktu,” ucap lelaki itu seraya berlalu. Sedangkan Rani, masih sibuk menatap kepergiannya.
“Mas!” teriak seseorang membuat semua orang kaget.
“Iya, ada apa?” tanyaku.
“Dari tadi saya minta karpet biru, 12 meter! Mas-nya malah sibuk merhatiin, Mbak-nya melayani pelanggan! Niat jualan nggak si!” bentak pelanggan.
“Maaf, Pak. Bapak butuh apalagi selain karpet?” tanyaku mencoba mencairkan suasana.
“Udah cukup ini saja! Jadi berapa?”
“Silahkan bayar ke kasir, Pak.”
‘Ngomong-ngomong, dimana Vina?’ Pasti dia sangat sedih dipermalukan seperti itu oleh Rani. Rani memang keterlaluan. Ingin mencari Vina tapi toko sedang ramai.
Selama aku menjaga toko, belum pernah serame ini. Tapi kenapa saat Rani yang menjaga, justru bisa 3 kali lipat pengunjungnya? Mungkinkah Rani itu pembawa hoki? Bahkan kasir pembayaran saja sampai antri. Wah, sudah bisa kubayangkan keuntungan yang diraup hari ini.
Tak terasa, sangking ramai-nya, waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 siang. Pantas saja perut mulai keroncongan. Kenapa Rani belum juga memesan makanan?
“Mas!” panggil Vina. Rani melirik ke arah kami. “Aku bawain makanan buat kamu, Sayang,” ucapnya seraya menyerahkan sebuah kotak makanan. Vina memang berbeda dengan Rani. Sedangkan, Rani … melihat suami ada di sini, bukannya dilayani malah sibuk dengan pelanggan saja. Harus-nya dia lebih mengutamakan aku! Ini malah cuek bebek. Kelewatan sekali. Tidak salah ternyata langkahku menikahi Vina meski tanpa seizin-nya.
Kebetulan, toko sudah mulai sepi pelanggan. Aku dan Vina duduk di bangku dekat Rani duduk menjaga kasir. Kasirnya terus ia jaga, takut digondol jin mungkin.
“Kamu dari mana saja dari tadi? Aku itu nyariin kamu!” Sengaja suara ku-kencangkan supaya Rani merasa cemburu dan akhirnya, bisa memberi perhatian untukku. Bukan cuek bebek begini. Seakan menganggap kehadiranku tidak ada.
“Aku baca cerita tentang pelakor, Mas. Ini seru banget. Ikut gemes deh sama Pelakor-nya. Masa pelakor kirim foto kemesraan-nya sama si suami, terus dikirim ke istrinya. Kisah nyata lagi katanya. Kasian ya, Mas. Istrinya sedih banget. Tapi dia tetap menerima dan bertahan dengan alasan seorang anak!” jelas Vina seraya menunjukkan sebuah cerita di ponselnya. Cerita yang berjudul “Suamiku diambil pelakor” memiliki banyak like dan komentar. Kebanyakan mereka menyalahkan pelakor dan suaminya. Aku juga kasihan. Untung aku tidak seperti laki-laki dalam cerita itu. Terbukti dari sikap Rani yang enjoy dan justru terbilang cuek. Dia juga banyak tertawa daripada menangis.
“Edi!” panggil Rani. Edi segera berlari menghampiri Rani.
“Iya, Bu.”
“Beli nasi Padang pakai ayam cabe ijo 10 bungkus. punya Ibu, pake paha ya. Sembilan bungkusnya, bagi ke teman-teman,” titah Rani.
“Wah, makan enak nih, Bu. Kalau sama Bapak, mana pernah kami dibelikan makanan, Bu,” cetus Edi. Sembarangan Edi.
“Tenang, asal toko ramai, Ibu bakal sering belikan kalian makanan. Mulai hari ini dan seterusnya, Ibu yang pegang alih toko. Bos-nya Ibu bukan Bapak! Bilang sama teman-teman, yang harus dipatuhi ucapan Ibu bukan Bapak,” ucap Rani.
“Uhuk … uhuk ….” Aku dan Vina tersedak bersamaan.
“Sana jalan cepat,” Rani langsung memberikan uang 300 ribu rupiah pada Edi. Lumayan uang segitu, malah untuk menteraktir makanan!
Selesai makan dan mencuci tangan, aku langsung menghampiri Rani. Kesal bercampur emosi dengan maksud ucapannya tadi. Tak peduli meski banyak karyawan sekaligus. Vina berdiri di belakangku.
“Maksud kamu mereka tidak boleh mematuhi ucapanku apa?” tanyaku sambil mencengkram erat pergelangan tangannya.
“Lepasin, Mas! Jangan sentuh apapun yang berada dalam tubuhku. Aku jijik!” tandas Rani. “Ingat, Mas! Jangan sentuh aku!” Aku melepaskannya. Semua karyawan mulai terdiam. Mungkin mereka ingin menyaksikan pertengkaran kami.
“Maksud kamu apa berkata kalau bos-nya itu sekarang hanya kamu!” geramku.
“Iya, Mas. Apa-apaan istri pertama kamu ini. Tamak! Rakus!” maki Vina.
“Eh, pelakor! Jangan ikut campur kamu!” balas Rani. “Sebenarnya, aku menyebut namamu pelakor itu juga jijik. Jijik aku berbicara sama kalian berdua!” lanjutnya.
“Kamu beneran mau tahu jawabannya di depan karyawanmu, Mas?” tanya Rani tegas.
“Iya!” jawabku tak kalah tegas.
“Oke, sekarang silahkan duduk, Mas!” ucap Rani. Rani keluar dari ruang kasir dan ikut duduk bersama kami di bangku yang disediakan untuk pelanggan.
“Awal kamu nikah sama aku, apa kita langsung sukses, Mas?” tanyanya. Aku menggeleng. Vina melotot.
“Apa yang kita lakukan hingga bisa berada pada titik ini?” tanya Rani lagi.
“Kamu dan aku, sama-sama bekerja. Menjadi karyawan orang. Mengumpulkan modal untuk usaha. Setiap malam kita lembur, berjualan bakso milik Pak Anang untuk mencari penghasilan tambahan. Hingga akhirnya kita menjadi seperti ini. Berawal dari memiliki toko kecil, menjadi toko yang besar,” jawabku.
“Kamu catat, Vina!” tunjuk Rani.
“Aku tidak ridho dan ikhlas, hasil yang kita kumpulkan bersama, ikut dinikmati oleh perempuan ini. Dulu, aku tinggal di rumah kontrakan! Aku harus bekerja untuk mendapatkan uang dan menjadi seperti ini. Aku mau, kamu dan Istri barumu keluar dari rumah. Dan mulai perjuangan kalian dari nol! Tidak ada fasilitas apapun untuk kalian. Kalian berdua harus menggapai kesuksesan kalian sendiri!” tegas Rani. Semua karyawan bertepuk tangan serempak. Sialan!
“Untung aku lebih cerdas dari kamu, Mas! Jadi aku lebih berhati-hati. Ternyata ketakutan-ku benar terjadi!” Bodoh memang ketika semua surat penting atas nama istriku. Kendaraan, sertifikat toko, dan semua tabungan atas nama Rani Lestari. Tak kusangka, efek dari menikahi Vina membuatku harus mengulang kehidupan dari awal lagi.
Membayangkan bekerja keras seperti dulu, tubuhku seolah merasakan lelah.
Bruk!
Vina pingsan. Mungkin dia shock. Aku harus bisa kembali mengambil hati Rani. Kalau perlu mengeluarkan jurus laki-laki yang kupunya.