“Ada apa dengan saya, Dokter?” Bersyukur Mas Anton menunggu di luar karena tidak tahan masuk ruangan dokter. Bau obat katanya.
“Hum!” Dokter menarik nafas sambil berdesis.
“Kamu jangan suka menunda-nunda makan, lebih baik makan sebelum lapar. Kamu ada asam lambung, itu yang membuat kamu sering merasa mual. Mulai sekarang coba makan yang teratur kalau tidak mau penyakit lambung kamu semakin parah,” ujar Dokter. Bahkan sampai hari ini aku belum makan. Habis jalan bertiga sama Mbak Santi, pasti traktir makan segala. Kalau nggak ada Mas Anton sih tidak masalah. Entah, kadang aku sayang saja duitnya dipake makan untuk Mas Anton. Tapi kalau lagi cekak. Kalau tidak ya normal seperti biasa.
“Oh, gitu, Dok. Baiklah, Dokter terima kasih,” ucapku setelah menerima obat darinya.
“Bayar di kasir,” ujar Dokter sebelum aku berlalu.
“Siap.”
“Mbak, berapa?” tanyaku pada kasir.
“75 ribu, Mbak,” jawabnya. Aku pun segera mengeluarkan uang pas. Huh! Begini doang ternyata. Sayang-sayangin duit saja.
“Makasih, Mbak,” ucapku beranjak keluar.
“Gimana, Vin?” tanya Mas Anton.
“Hum, asam lambung, Mas.”
“Jarang makan sih! Buat makan aja pelit! Ayo, naik,” ujarnya.
“Kita nanti mampir warteg ya Mas? Beli makan dulu.”
“Siap Bosku!” ujarnya membuatku bersemu.
“Mas tau nggak?”
“Apa?”
“Kamu itu ganteng, baik, penyayang, cuma satu kurangnya. Nah itu dia yang bikin cinta aku berkurang. Mau tahu nggak?”
“Apa? Paling duit lagi!”
“Iya itulah, Mas. Kurang duit. Coba uang kamu banyak Mas. Aku kan tinggal diam di rumah, nggak perlu capek-capek begini ikut kerja. Aku tinggal jadi istri yang baik untuk kamu,” keluhku sembari menarik nafas meratapi nasib yang tak kunjung kaya. Nanti kan Bang Roel nggak ke toko, korupsi ajalah yang banyak.
“Otak kamu mah emang isinya duit terus!” cibirnya.
“Iyalah, segala sesuatunya itu butuh duit Mas! Kalau banyak duit hidup enak! Bisa jalan-jalan, jadi orang kaya tanpa perlu capek-capek kerja kaya gini!” sungutku.
“Dasar mata duitan!”
“Wajar kali Mas Anton! Namanya juga perempuan!” sungutku. Mas Anton tidak menjawab lagi. Mang iya, perempuan kalau dikasih duit, sok pasti kadar cintanya bertambah 100 persen. Aku jamin itu.
“Semoga manggul 20 karung perhari. Aamminn.”
“Mati kali 20 karung perhari,” jawabnya.
“Hehehheeh … jangan mati dulu kalau belum ninggalin aku uang yang banyak, Mas,” balaku penuh tawa. Aku hanya bercanda tidak dari hati. Aku mana rela ditinggal pergi sama Mas Anton. Meski bagaimanapun, aku mencintainya, dan sudah pasti tidak bisa hidup tanpanya. Ya, walaupun terkadang aku ada niat ingin mencari selingkuhan. Tapi hanya niat, sama sekali aku tidak melakukannya.
“Turun, katanya mau beli makan?”
“Siap, Mas-kuh tersayang.” Mas Anton kalau disanjung seperti itu, hatinya akan luluh dan kadar cintanya bertambah.
“Mbak bungkus nasi pake ayam goreng, tumis kangkung, sama orek tempe 3 bungkus,” ujarku. Sekali-kali perhatiin suami. Siapa tahu jadi lebih giat lagi kerjanya. Meskipun keluar uang juga buat beli makannya.
“Ini mbak pesanannya, jadi 66 ribu,” ucap Si Mbak. Aku pun segera mengeluarkan uang 100 ribuan. Kalau air minum tidak perlu beli. Sebab, sudah tersedia di toko bos tampan.
.
.
“Ayo, Mas. Sudah siap,” ujarku. Mas Anton pun kembali mengendarai motornya.
“Aku udah beliin kamu sekalian,” ujarku.
“Serius? Tumben ….”
“Serius dong sayang ….”
“Hum ….” Entah kesambet setan darimana, aku pun mau memeluk pinggang Mas Anton.
******
“Duh, lama banget kalian! Orang udah pada rapi buka, kita belum” protes Mbak Santi sesampainya kami di toko.
Mas Anton mulai membuka rolling door seperti biasa. “Gimana hasilnya?” tanya Mbak Santi.
“Asam lambung naik, Mbak. Akibat tekat makan,” jawabku.
“Mbak, nggak usah beli makanan ya? Sudah aku belikan.”
“Wah, jadi enak ….”
“Enak lah, orang geratis!” sambar Mas Anton membuatku sedikit tak enak hati. Untung Mbak Santi tidak tersinggung. Biar jelek begini tetap saja Kakak aku. Dan aku juga sayang sama dia.
Selesai buka seperti biasa kami menunggu pembeli. Harapan hari ini semoga rame supaya bisa beli kasur baru. Kalau kaya gini setiap hari juga lumayan, tetap hidup enak meskipun jadi karyawan.
“Kamu makan dulu sana!” suruh Mas Anton. Aku mengangguk dan segera melangkah ke dalam. Mas Anton dan Mbak Santi duduk di luar menunggu pembeli. Hari ini bagian pegang laci memang aku. Meskipun Mbak Santi berlagak seperti bos kalau tidak ada Bang Roel.
“Anton!” sapa perempuan. Jelas aku langsung melirik padanya. Siapa perempuan yang menyapa suamiku seceria itu.
“Eh, Mbak Citra. Mau belanja, Mbak?” tanya Mas Anton. “Makan, Mbak?” tawarku.
“Terima kasih, Vina. Kamu lanjut saja,” ujarnya.
“Roel ada?” tanyanya.
“Oh, Abang lagi pergi Mbak. Nggak ke toko hari ini. Coba hubungi saja. Ada perlu ya?” Mas Anton memang bodoh. Bertanya sesuatu yang tidak masuk akal.
“Um, sedikit. Salam kalau dia kesini. Nanti aku telpon aja. Kalau gitu, aku pamit ya,” ucapnya seraya beranjak.
“Daripada sama Rani, mendingan sama dia,” desis Mbak Santi.
*********
Sore menyapa jam hampir menunjukkan pukul lima sore. Bang Roel masih belum ada tanda-tanda datang ke toko. Waktunya aku pun menghitung omset. Hari ini Mas Anton manggul 7 karung, sampai badannya bau keringat. Kasihan juga, pasti dia sangat kelelahan. Aku harus bisa menyimpan uang supaya dia tidak perlu lagi jadi kuli panggul. Malu juga untuk menunjukkan pada teman-teman suamiku kuli panggul. Sekarang aku sudah mulai banyak teman di pasar. 3 teman baruku bernama, Asti, Vera, dan Mela. Iya, Vera adalah karyawan toko sebelah yang dipanggil Era. Ternyata berteman dengannya sangatlah asyik. Mungkin juga pertemanan ini menjadi awal persahabatan kami berlima. Bos Vera jarang datang. Jadi dialah yang mengambil andil toko. Vera bekerja dengan suaminya, perempuan yang sangat royal, terutama untuk menjaga penampilan.
“Vin, belum tutup?” Vera.
“Bentar lagi nih, Kak. Lagi hitung omset. Kakak sudah tutup?”
“Sudah. Ya udah aku sama Mela duluan ya?” pamitnya. Aku mengangguk.
“Mbak Santi! Mas Anton, hari ini total omset 65 juta. Karena tadi ‘kan sama omset ngirim langganan biasa. Nah hasil jualan lebihnya ada 3 juta. Bagi tiga ya?” ujarku. Lebihan dari hasil jual yang lebih ditinggikan. Harusnya aku tidak merugikan Bang Roel, karena aku pun tidak mencuri uangnya. Harga 50, aku jual 65 ribu. Ya mungkin, kemahalan untuk pelanggan. Ah bodo amat! Tak peduli.
“Wah, enak banget kalau kaya gini. Ini sih kita cepat kaya. Eh, kumpulin aja sih untungnya, nanti kita buka toko sendiri di pinggir jalan. Aduh, semoga saja Bang Roel tidak pernah ke toko ya,” ujar Mbak Santi. Aku pun berharap dengan harapan yang sama.
“Bentar aku telpon Bang Roel dulu, ini duit mau dikemanain.”
Tut …..!
“Halo, Bang. Ini omsetnya dapat 60 juta, mau diantar ke rumah Abang atau gimana?” tanyaku.
“Sudah sama pengeluaran?” tanya Bang Roel.
“Loudspeaker, Vin,” ucap Mbak Santi. Aku mengangguk, dan ia pun mendekat.
“Belum potong gaji saya, Mbak Santi sama Mas Anton tadi manggul 7 karung Bang.”
“Ya udah, kalian potong aja sekalian. Untuk Anton, 700 ribu. Kamu 100 ribu, Santi 100 ribu. Sisanya kamu antar ke rumah saya jam 8 malam. Saya masih sibuk di luar.”
“Siap, Bang.”
“Ya udah, kita tutup yuk,” ujarku pada Mas Anton dan Mbak Santi.
“Sumpah, ini toko ‘kan termasuk toko rame, bosnya juga baik nggak bawel. Nggak curigaan pula. Gue harap, Bang Roel jarang ke toko kaya bos toko sebelah. Jadi dibebasin ke karyawan,” lirih Mbak Santi.
“Aamminn,” balasku. Sementara Mas Anton sibuk menutup. Aku menunggu sambil duduk dan ngobrol santai dengan Mbak Santi.
“Aku nggak demen kalau misalnya Rani itu jadi istri Bos. Otomatis dia bakal ikut ngerecokin toko,” sungutku sedikit kesal. Aku tahu bagaimana Rani. Bisa saja dia memasang kamera CCTV. Dan aturan toko juga semakin ketat pastinya. Paling malas deh kalau ada bos yang bawel. Bikin sakit kepala dan nggak betah kerja.
“Gampang itu mah! Nanti kalau orang tua Bang Roel kesini, pengaruhin aja sih. Tinggal bilang janda mantan istri karyawannya, dan mandul juga nggak bakal direstui. Susah-susah amat!” ucap Mbak Santi. Betul juga, dia mah kalau suruh jahat memang punya segudang rencana.
**********
Hari ini pulang dari toko, kami mampir ke pecel ayam yang cukup enak. Memang mahal, tapi rasanya itu enak banget. Jadi tidak rugi kalau harus mengeluarkan kocek yang sedikit besar. Toh untuk memanjakan lidah.
Hampir dua jam berada di warung pecel ayam, kami pun gegas pulang. Semenjak dokter mengatakan tidak boleh telat makan, aku jadi tidak pelit mengeluarkan uang untuk beli makanan. Kesehatan itu penting.
“Mbak, pisah disini?” tanyaku. Mbak Santi mengangguk.
“Oke aku dan Mas Anton duluan ya? Malam mau ke rumah Bang Roel antarin uang.”
“Siap! Hati-hati. Makasih traktirannya.”
“Sama-sama, Mbak. Ayok, Mas kita jalan,” ujarku pada Mas Anton. Mas Anton pun segera menyalakan laju kendaraannya. Entah kenapa, aku rasa cintaku sudah kembali normal. Mungkin karena sedang ada banyak uang di dalam tasku. Hehheeh….
Aku memeluk pinggang suamiku dan menyandarkan kepala di punggungnya. Sesaat terasa Mas Anton mengelus jemariku. Memang seperti ini dia, kalau aku bersikap manis, dia lebih manis. Orangnya sangat penyayang, sabar dan pokonya memang suami impian. Harusnya setelah aku rebut dari Rani, aku buat dia merasa nyaman. Bukan sebaliknya. Harusnya aku mampu menghilangkan Rani dari benaknya. Bukan justru menyesal telah menikahiku. “Maafkan aku, Mas,” lirihku. Entah kenapa, aku takut kehilangan dia. Takut … sekali. Tapi bingung juga, kalau nggak punya duit selalu saja aku ingin marah-marah padanya.
.
.
.
******
Malam ini kami tidak jadi pergi ke rumah Bang Roel, karena Bang Roelnya masih berada di perjalanan. Alhasil, kami membeli kasur busa yang empuk. Dan sekarang sudah berada di kontrakan kasurnya. Aku dan Mas Anton pun tidur di atasnya. Kasurnya yang bagus, harganya 1 juta delapan ratus. Tebal. Kasur sudah, tivi pun sudah. Sepulang kerja tadi kami langsung mandi, lalu setelahnya tiduran di atas kasur sambil menonton tivi. Mas Anton juga membelikanku aneka cemilan. Enak banget jadi aku, dimanja suami.
“Sayang,” lirihnya. Aku paham apa kode kata “sayang” yang barusan dia sebut sambil mendekatkan tubuhnya. Hem… sudah lama juga keinginannya aku tolak. Karena apa? Ya karena tidak ada uang.
“Kamu mau?” tanyaku lembut. Mas Anton mengangguk. Kasihan wajahnya terlihat lesuh begitu. Karena aku sedang baik hati, maka aku beri apa yang dia inginkan malam ini.
***********
Pagi menyapa, setelah mengingat tadi malam, kadar cintaku hari ini bertambah. Aku mengingat, betapa lembut dan manisnya dia memperlakukan aku malam tadi. Sampai setelahnya aku pun meminta maaf atas kesalahanku yang kemarin-kemarin. Bahkan aku berjanji ingin menjadi istri yang baik untuknya. Entah, kenapa aku pun sangat takut merasa kehilangan. Dia juga bilang padaku, untuk berhenti mengganggu Rani. Biarkan saja Rani bahagia dengan Bang Roel, tidak ada masalah. Kalau dia tetap mengganggu, Mas Anton juga mengancam akan pergi meninggalkanku, seperti Mas Galang yang pergi ninggalin Mbak Santi. Aneh bukan? Aku juga bingung. Aku iya-iya saja, ke depannya lihat saja nanti, sebab aku memang tidak suka melihat Bang Roel memiliki hubungan dengan Rani.
“Mas, kita cari kontrakan yang yang dibawah yuk, kalau perlu yang ada kamar mandinya. Malu tahu, di atas tiplek begini, kita nggak bisa leluasa seperti semalam,” rajukku. Mas Anton yang sudah rapi dan wangi itu pun mendekat.
“Boleh, Sayang. Nanti pulang kerja ya? Kita cari kontrakan baru. Mudah-mudahan nanti panggulan rame,” ujarnya sembari mencubit hidungku yang mancung nan mungil.
“Aamminn,” balasku seraya memeluk pinggangnya erat. “Jangan tinggalin aku, Mas,” lirihku.
“Nanti aku tinggalin, kalau sudah kasih kamu uang yang banyak.”
“Jangan ngomong kaya gitu ah! Aku kan hanya bercanda.” Kueratkan lagi pelukan padanya. Apa-apaan ini, aku belum siap kehilangan dia. Belum tentu dia pergi ada lagi laki-laki yang tulus begini.
“Ya udah ayok kita berangkat, Mas,” ucapku.
“Ayok.” Aku gegas keluar sementara Mas Anton mengunci pintu.
****
Pagi ini, tanpa diminta, aku sudah berinisiatif untuk membelikan makanan di warteg biasa. Jelas dengan lauk pauk yang layak. Aku tidak lagi membentak, terlebih setelah mendapat telpon dari Bang Roel untuk segera tiba di toko, sebab banyak pengiriman.
“Kamu kalau seperti ini, jadi ayu. Istri idaman,” ujar Mas Anton memujiku.
“Udah ayok buruan, itu Bang Roel sudah berdiri. Kok ada Rani, Mas?”
“Mana?” Mas Anton celingukan. Aku sedikit cemburu. Mungkin bukan sedikit tapi banyak. Kenapa sih harus ada Rani.
“Mungkin mau bantu, Abang. Hari ini kan langganan luar kota pada datang. Belum lagi kiriman banyak.”
“Iya juga sih. Ya udah Mas, ayok.”
“Assalamualaikum,” ucap kami sok ceria.
“Waalaikumsalam,” jawab mereka serempak.
“Langsung kamu buka ya, Ton!” perintah Bang Roel. Selalu saja kalau pelanggan datang pagi pasti sedikit grasah grusuh. Kasihan suamiku.
“Mas!” panggil Rani.
“Iya?” jawab Mas Anton.
“Kamu sakit?” tanyanya sok perhatian banget perempuan itu.
“Nggak kok, Ran,” jawab Mas Anton lembut.
“Oh, muka kamu pucet banget. Nanti kamu sarapan dulu ya. Kebetulan, aku sama Abang bawa makanan enak. Kalian nanti setelah buka, sarapan dulu bareng-bareng,” ucap Rani sok perhatian. Dia terus berpegangan tangan bersama Bang Roel, membuat dadaku bergemuruh. Panas aku melihat mereka yang semakin dekat. Mungkin saja Mbak Santi merasakan hal yang sama.
“Nggak perlu, Rani. Kami sudah beli nasi,” ujarku menolak.
“Nggak apa-apa, nasinya simpan untuk makan siang,” ucap Rani. Dia terus memperhatikan Mas Anton. Aneh!
“Abang sama Rani terlihat cocok, semoga lancar niatnya untuk ke-jenjang pernikahan,” ucap Mas Anton. Serius dia ngomong seperti ini? Malah doain? Ini serius kah?
“Aamminn. Mas juga semoga rumah tangganya dengan Vina sampai maut memisahkan,” balas Rani.
“Aamminn …,” jawab Mas Anton. Bang Roel tersenyum pada calon istrinya itu. Dia hendak merengkuh tubuh Rani ke pelukannya. Namun, Rani menghindar.
“Halalkan aku dulu, Bang ….”
“Segera, Sayang!”
Hhooekk! Sebenarnya minta toko buka cepat untuk lihat mereka mesra-mesraan gitu? Najis banget. Alay!
“Ayok kita sarapan….” Ajak Bang Roel. Kami pun masuk ke dalam toko yang cukup luas itu, dan duduk di lantai sama-sama. Tidak perlu cuci tangan, cukup pake hand sanitizer, sebab tersedia sendok disetiap kotaknya. Kuperhatikan, Rani terus melirik ke arah Mas Anton dan terus memperhatikan-nya. Aneh!
Iya aneh, Rani dan Mas Anton sama-sama aneh!