*****
Brak!
Aku melempar tas ke meja samping tivi. Rasanya badanku capek luar biasa. Tutup dan buka toko sendirian, gaji segitu saja tidak ada kenaikan. Mending jaga bertiga kalau begitu. Lagian Bang Roel nggak ada pikiran banget sih, masa cuma kasih gaji 150 ribu. Harusnya kan 220 ribu. Percuma ada keluarganya juga, cuma nyempit-nyempitin, ngerusuhin, sama menuhin toko doang.
“Kamu kenapa marah-marah?” tanya Mas Anton yang terbaring lemah.
“Kamu cepet sembuh dong Mas! Aku capek tahu kerja sendiri banting tulang!” kesalku.
“Kamu sabar ya? Insya Allah aku besok kerja. Maaf ya sayang? Aku memang suami tidak berguna. Cuma bisa nyusahin kamu saja,” ucapnya dengan penuh keputusasaan. Aku malas menimpali dan memilih diam. Bahkan hari ini aku enggan untuk menawarkannya makanan.
*****
Pagi menyapa, saat aku baru bangun tidur seperti biasa, Mas Anton tampak sudah rapi. Dia mendekatiku dan mengecup keningku. Segera aku pun gegas bangun.
“Kamu mau kemana Mas?” tanyaku.
“Kerja,” jawabnya singkat penuh senyum.
“Emang udah baikan?”
“Insya Allah,” jawabnya. Syukurlah kalau memang sudah sembuh.
“Aku mandi dulu,” ucapku seraya menyambar handuk dan berlalu ke kamar mandi.
*********************
POV ANTON
Sebenarnya badanku masih terasa sakit. Tapi melihat ekspresi wajah Vina yang terus merengut seperti itu, aku merasa segan dan tidak enak. Aku merasa menjadi suami yang gagal. Mungkin juga penyebab rasa sakitku karena terlalu capek.
Saat dalam keadaan tidak berdaya seperti ini, aku merasa sedih dan membuatku mengingat mantan istri juga keluarganya. Mereka sangat baik dan perhatian. Aku jadi takut kalau sudah tua dan lemah nanti, bagaimana nasibku?
“Kamu beneran kuat kerja? Nanti malah tambah parah, eh, biaya lagi,” ucap Vina sambil memoles make up ke wajahnya.
“Insya Allah kuat.”
“Ya udah, bentar ya, Mas. Aku dandan dulu.”
.
.
“Kita jalan kaki sekarang berangkat kerjanya. Kamu sih Mas, pake acara sakit segala,” desisnya saat kami sudah menuruni anak tangga.
“Iya, Maaf. Nanti kalau aku sudah punya uang, kita beli lagi.” Aku sendiri tidak ingin sakit. Memang aku yang meminta untuk sakit?
****
“Vin, uang sisa beli motor masih ada ‘kan?” tanyaku ketika kami sudah tiba di depan gedung. Kebetulan, sebelum masuk ada tukang bubur ayam, jadi aku berniat ingin membeli.
“Ada, tapi disimpan sama Ibu. Kalau kita yang pegang semua takut habis,” ketusnya.
“Oooo.”
“Kenapa emang?”
“Kamu punya uang? Kita beli bubur ayam dulu,” ujarku. Vina tidak memberiku makan seharian kemarin, bagaimana aku bisa cepat pulih? Bahkan aku terus memuntahkan cairan kuning akibat asam lambung.
“Ada ni!” Dia memberiku uang sebesar 20 ribu dengan sewot.
“Sudahlah, nggak jadi. Kalau kamu nggak ikhlas pun percuma.” Aku mengembalikan uang itu pada Vina. Lalu, langsung meneruskan langkah menuju toko.
.
.
“Loh, Ton, udah bisa kerja?” sapa Bang Roel. Saat aku sampai di toko. Namun, terlihat dari wajahnya ia terlihat ragu.
“Alhamdulillah, Bang.”
Sebentar lagi Bang Roel akan resmi menjadi suami Rani. Ini sudah hampir jalan 4 bulan perceraian dengannya. Tidak ada harapan untuk kembali karena Rani sudah benar-benar terlepas dari genggaman.
“Assalamualaikum,” suara yang tengah ku pikirkan terdengar mengucap salam.
“Waalaikumsalam,” jawab kami serempak. Ternyata Rani dan keluarga Bang Roel yang datang secara bersamaan.
“Mas Anton sudah sembuh?” tanyanya.
“Allhamdullillah, Ran.”
Entah Vina kemana aku tidak tahu, perempuan itu belum juga tiba.
“Beneran kamu mau kerja Ton? Kalau masih kurang baik istirahat saja dulu,” ujar Bang Roel. Bagaimana mau istirahat, kalau istriku saja terus merengut sepanjang hari.
“Insya Allah, kuat.” Segera aku pun meminta kunci pada Bang Roel dan langsung membuka toko. Tidak lama kemudian, Vina muncul dengan sebuah teng-tengan berisi Styrofoam. Ia langsung meletakannya di atas meja dan membantuku buka.
Selesai buka, Vina langsung menyuruhku untuk sarapan. Ternyata dia membelikan bubur untukku. Nampak Rani menatap iba padaku.
“Sarapan dulu Mas Anton, kan baru sembuh,” ujar Rani.
“Iya sarapan dulu, nanti sakit lagi aku repot,” timpal Vina.
“Nanti saja sarapannya, belum terlalu lapar,” ucapku seraya gegas keluar dan duduk di depan toko seperti biasa. Kepala ini terasa sakit, perut juga mual, tapi tetap kutahan.
“Mas Anton,” lirih Rani sambil menarik kursi dan duduk di sampingku.
“Iya, Ran ….”
“Rani, kamu disini saja temani Roel. Biar Mama dan Yuda yang ambil pesanan baju pernikahan kalian,” ucap Mama Bang Roel seraya bergegas. Ternyata mereka memang beneran menikah. Makin sukses makin kaya pastinya, sedangkan aku? Justru sebaliknya.
“Oh iya, tadi kamu mau ngomong apa?” tanyaku lagi. Vina melirik. Kenapa sekarang aku ini merasa lemah….
“Aku segera menikah dengan Bang Roel. Mungkin tinggal menghitung hari. Aku mau tanya, apa Mas Anton mau membuka usaha atau bagaimana? Biar aku bantu kasih modal?”
“Kamu serius? Tapi aku sudah cukup merepotkan.”
“Aku serius Mas. Aku juga sudah bicara dengan Bang Roel dan tidak ada masalah.”
“Iya Anton, tidak masalah,” timpal Bang Roel sambil memegang bahu Rani. Aku sungguh cemburu melihatnya. Ternyata ada laki-laki lain yang begitu tulus mengasihinya dan menerima apa adanya.
“Tapi saya merasa tidak enak hati, Bang,” ucapku melirik pada keduanya.
“Buang rasa tidak enak. Aku sudah cukup lihat perjuangan kamu Mas. Dan hatiku merasa tidak tega. Aku juga ikhlas membantu Mas Anton. Kira-kira mau usaha apa?” tanya Rani.
“Atau mau buka toko di pinggir jalan? Jualan pakaian Abang campur sama barang serba 35 ribuan? Asal bahan bagus pasti laris manis,” usul Rani.
“Wah ide bagus itu Ton. Kamu bisa buka toko serba 35 ribu. Desain toko sebagus mungkin. Pajang pakaian yang rapi supaya terlihat seperti barang mahal. Dan yang utama, cari tempat strategis,” timpal Bang Roel. Ya Allah, aku merasa malu pada mereka. Terutama pada Rani. Bahkan sampai sekarang dia masih peduli padaku.
“Saya malu pada kalian. Saya minta maaf, terutama sama kamu, Rani,” lirihku.
“Nggak apa-apa Mas. Saya sudah Maafin Mas Anton. Dibalik semua masalah yang menimpa selalu ada hikmah. Hikmah saya ditinggal Mas Anton, bisa bertemu dengan Bang Roel,” ucap Rani sambil menggenggam erat tangan Bang Roel yang berada di bahunya. Sementara Bang Roel, mengusap lembut rambut Rani. Terlihat sekali dari senyum yang terukir dari sudut bibirnya, Bang Roel begitu tulus mencintai Rani. Asli … pemandangan yang berada di depan mataku saat ini sungguh membuatku merasa iri.
“Sayang, jadi kita pergi sarapan? Hari sudah pukul 10 ini,” ucap Bang Roel pada Rani.
“Jadi, Bang,” jawab Rani singkat.
“Anton, Vina, jaga toko ya? Kami tinggal sarapan. Urusan buka toko, nanti kalau sudah siap semuanya, akan saya kasih tahu kamu Ton. Mudah-mudahan sebelum hari pernikahan saya dengan Rani sudah siap semua,” ucap Bang Roel mantap.
“Siap Bang, sekali lagi terima kasih banyak.” Dengan bergandengan tangan, mereka pun bergegas meninggalkan toko.
“Bang ada popmie?” tanyaku pada pedagang yang berkeliling di pusat perbelanjaan ini.
“Ada, Bang. Pesan apa lagi?”
“Pop mie sama es capucino ya? Bayar nanti sore ya Bang?” ujarku.
“Siap.”
“Kok kamu pesen pop mie? Kan udah aku beliin bubur, Mas,” desis Vina.
“Kamu makan sendiri aja, Vin. Aku tidak bisa menelan makanan yang dibeli tanpa keikhlasan.”
“Ya udah aku buang aja lah makanannya,” sungutnya seraya beranjak meraih teng-tengan dan memasukannya ke tempat sampah.
“Vin, kayaknya aku nggak bisa mencukupi atau membahagiakan kamu. Mumpung belum punya anak, kamu cari laki-laki lain saja.” Kuucapkan tanpa menatap matanya.
“Kamu ngomong apa? Setelah kamu mau sukses, kamu pingin pisah gitu sama aku? Dari kemarin kemana aja?!” Nada suara Vina terdengar gemetar.
“Bukan, bukan itu. Tapi aku sudah berusaha sabar dan menerima kamu. Tapi sepertinya kebahagiaan kamu hanya berlandaskan uang. Beberapa kali aku perhatikan, saat aku ber-uang, kamu seolah mau menghargaiku. Tapi saat aku tidak memiliki uang, kamu seakan begitu membenciku. Carilah kebahagiaan dengan hidup bersama laki-laki yang kamu inginkan. Insya Allah, aku akan ikhlas melepaskan kamu, Vina!” tegasku. Terlihat mata Vina memerah dan mulai mengeluarkan bulir bening.
“Ya udah kalau itu memang mau kamu Mas. Nggak nyangka aja, setelah mau dibukakan toko, kamu ngomong kaya gini. Dari kemarin kemana aja? Laki-laki memang sama saja!” sungutnya.
“Belum tentu aku mau menerima pemberian dari Bang Roel. 4 bulan aku nikah sama kamu, dipikir-pikir yang membuatmu bahagia hanya uang. Sedangkan aku sadar, sekarang aku hanya seorang kuli panggul. Daripada aku terus dihina, baiknya kamu cari laki-laki lain.” Aku sudah berusaha memahami Vina, tapi sepertinya pertahananku cukup sampai disini. Beberapa Minggu aku terbaring lemah, Vina sama sekali seakan tidak peduli padaku. Jarang datang ke rumah sakit dengan alasan sibuk kerja kecapekan, dan saat sudah pulang ke rumah, dia pun sangat cuek. Boro-boro nawarin makan. Kalau aku tidak memintanya, sama sekali tidak ada pemikiran.
“Silahkan Bang, kalau itu bisa buat kamu bahagia! Daripada rumah tangga kita isinya hanya pertengkaran setiap hari. Harusnya, istri bawel masalah uang, kamu itu berjuang usaha yang benar! Buat buktiin ke istrinya! Bukan malah ngajak pisah! Apa-apaan begitu! Kalau pemikiran kamu kaya gitu, itu memang kamu tidak ada niat untuk bahagiain istri! Laki-laki gak mampu! Gak becus kamu! Nikah sama kamu juga dapat capek doang! Apa yang kamu kasih ke aku? Nggak ada! Semoga saja Bang Roel dan Rani berubah pikiran supaya kamu tidak jadi diberi toko!”
“Oh iya, kamu nnati jangan pulang ke kontrakan! Jangan berani-beraninya kamu pulang ataupun mengambil apa-apa dari sana! Termasuk pakaian. Aku akan pindah ke rumah Ibu!” sentaknya.
“Tidak masalah, aku laki-laki dan bisa tinggal dimana pun. Sedangkan baju, aku masih memiliki gaji. Semoga setelah perpisahan kita nanti, kita sama-sama bisa menemukan kebahagiaan. Maaf ya, aku tidak bisa bertahan dengan kamu.”
“Kamu pasti akan hancur Mas! Akan kupastikan itu!” desisnya dengan nafa sayang memburu. Apa yang bisa dipertahankan dengan perempuan seperti ini? Kalau tidak tekanan batin yang menjadi suaminya ….
POV Vina…
Untung sisa uang 9 juta hasil jual motor ada sama aku. Prabotan seperti kasur, tivi, VCD dan kipas akan aku bawa ke rumah Ibu. Ingat Mas Anton … aku tidak akan membiarkanmu bahagia terlepas dari aku. Bahkan aku akan membuatmu kehilangan pekerjaan bagaimanapun caranya.
“Loh, kalian kok diam-diaman kaya orang musuhan?” Suara Bang Roel yang datang bersama Rani dan langganan membuatku kaget. Masalahnya langganan itu, langganan yang borong kemarin saat tidak ada Bang Roel. Mati aku ….