“Santi?” sapa Mas Galang dengan perempuan itu. Mbak Santi tampak malu dan kikuk. Ia memegangi ujung kaos bajunya sambil tertunduk.
“Mas Galang,” lirihnya sambil berusaha menatap wajah mantan suaminya yang kembali terlihat tampan.
“Mau belanja? Atau mau berangkat kerja? Bukannya seharusnya kalian ada di acara pernikahan Bang Roel ya? Kok buka toko?” tanya Mas Galang. Jadi Bang Roel hari ini menikah dengan Rani. Pasti mereka sangat bahagia.
“Kami mau cari pekerjaan, Mas,” ucap Mbak Santi. Aku menyenggol lengannya. Jangan sampai Mas Galang tahu kalau kami dipecat. Malu dong ….
“Cari pekerjaan? Memang kenapa di tempat Bang Roel?” tanyanya. Mas Galang masih menggandeng tangan perempuan di sampingnya itu.
“Oh, mau cari suasana baru,” kilah Mbak Santi. Mas Galang hanya mengangguk.
“Kenalkan, ini istriku,” ucap Mas Galang memperkenalkan perempuan itu. Pasti Mbak Santi hatinya sangat terluka.
“Saya Dania, Mbak. Istri Mas Galang,” ucap perempuannya itu mengulurkan tangan. Mbak Santi ragu-ragu menyambut uluran tangannya. Terlihat seperti kopi dan susu. Bedanya, lengan Mbak Santi terlihat banyak bekas koreng.
“Santi.”
“Vina,” ucapku kala perempuan itu juga menyodorkan tangannya padaku.
“Gimana kabar Desti Mas?” tanya Mbak Santi.
“Alhamdulillah, baik,” singkat Mas Galang. Dulu badan Mas Galang bau asem. Sekarang bau wangi. Dulu pakaiannya kusut, sekarang begitu rapi. Style-nya juga terlihat lelaki berduit.
“Kalau begitu kami duluan. Mau cari kado pernikahan untuk Rani dan Bang Roel,” pamitnya. Mbak Santi mengangguk. Setelah Mas Galang dan istrinya membalikkan badan meninggalkan kami, Mbak Santi masih menatapnya dengan tatapan nanar. Aku tahu rasanya. Pasti sangat sakit. Terlebih, Mbak Santi belum memiliki pendamping. Kalau dia ingat saat sesumbar dulu, pasti sangat malu.
“Kita jadi cari kerjaan, Mbak?” lirihku. Mbak Santi masih terdiam membuatku bingung. Melihat ada tempat duduk di parkiran ini, aku pun mengajaknya untuk duduk terlebih dahulu.
“Duduk dulu yuk, Mbak,” ajakku. Mbak Santi menurut.
“Curhat Mbak,” lirihku.
“Apalagi yang mau diceritakan Vin? Semua sudah tamat. Mas Galang sudah menikah lagi dengan perempuan yang lebih cantik. Hidupnya terlihat sukses kembali. Sedangkan aku? Sekarang aku hanya bisa gigit jari sambil meratap dan menyesali kebodohanku.”
“Sedih memang Vin. Tapi mau bagaimana lagi? Sedih Pun sepertinya sudah tiada guna. Yang Mbak pikirkan sekarang, kenapa ya, saat menjadi suami Mbak, Mas Galang susah kerja dan susah dapat duit. Giliran terlepas dari Mbak, dia terlihat sukses kembali. Ini kenapa? Apa ada yang salah dengan, Mbak?” tekannya.
“Sebenarnya kita saja yang kurang bersyukur dan selalu mementingkan gaya wah. Saat Mas Galang jadi kuli panggul saja dia sekali dapat uang banyak kok. Harusnya Mbak tetap bisa hidup enak. Tapi yaitu, rasanya kurang terus. Mbak terlalu banyak hutang yang keliling untuk beli barang kreditan dan lain-lain. Habislah uang Mas Galang,” ucapku.
“Iya kamu benar. Kita pulang aja yuk, Mbak nggak mood hari ini. Rasanya ingin berdiam diri di kamar sambil meratap. Mbak butuh ketenangan,” lirihnya. Aku pun mengangguk dan kami segera mengambil lagi motor yang sudah diparkir dan mengemudikannya. Entah bagaimana perasaanku nanti. Aku sendiri jadi teringat sosok Mas Anton. Tak terasa, mengingatnya membuatku menitikan air mata. Kalau waktu dapat diputar kembali, aku ingin meminta maaf padanya. Siapa tahu masih ada kesempatan untuk rujuk. Lagipula surat cerai pun belum sampai di tanganku.
“Sakit itu ketika melihat mantan bahagia,” lirih Mbak Santi seraya meletakan kepalanya di punggungku.
“Semoga Mas Anton menderita ya, Mbak.”
“Amminn ….”
******************
POV ANTON
Hari ini, Rani sudah resmi menjadi milik Bang Roel. Aku tidak tahu, kenapa melihat pernikahan ini hatiku menangis lagi menjerit. Ada rasa cemburu begitu besar menyelimuti isi hatiku. Tapi aku harus terlihat tabah saat ini. Aku harus ikhlas melepaskannya. Sekarang nasibku bagaimana? Aku sebatang kara tidak memiliki sanak saudara. Setelah menceraikan Vina, aku tidak memiliki siapapun. Hanya Bang Roel dan keluarga Rani yang kukenal dan masih menjalin hubungan baik.
Sebenarnya aku mencintai Vina, dan tidak ingin berpisah dengannya. Tapi, sifatnya yang tidak mau berubah itu membuatku muak. Aku juga merasa tidak cocok dengan keluarganya. Yang aku inginkan adalah keluarga yang mau menerimaku apa adanya, bukan hanya memandang dari segi materi. Yang mau menghargai kerja kerasku.
Kuperhatikan, seluruh tamu disini sangat menikmati acara pestanya. Keluarga Rani dan Bang Roel juga nampak bahagia. Mereka asyik berfoto ria. Sementara aku? Aku merasa seperti orang asing disini. Ingin ikut bergabung tapi segan. Alhasil aku lebih memilih menyendiri di luar sambil minum kopi dan ditemani sebungkus rokok.
*******
Acara pernikahan selesai, Bang Roel dan Rani langsung pulang ke rumah besar milik Bang Roel yang sudah disediakan olehnya. Sementara keluarga besar Bang Roel menginap di rumah orang tua Rani. Termasuk aku. Karena aku tinggal di rumah Bang Roel. Diberi kamar kosong olehnya saat aku bercerita telah diusir oleh Vina. Bang Roel juga memberikanku pakaian-nya untuk ganti. Miris sekali memang nasibku. Dua kali dibuat bangkrut istri. Tapi istri kedua kelewatan. Dulu aku yang suka memberi Edy dan Kohar pakaian bekas. Sekarang, malah aku yang dapat pakaian bekas.
“Hati-hati ya Roel!” ucap semua orang serempak. Bang Roel dan Rani mengangguk. Keduanya sudah merasa bebas sekarang karena tidak ada lagi jarak yang tercipta. Sementara aku, hanya bisa memandang kepergian mantan istriku yang akan bulan madu. Sesak sekali rasanya.
“Anton, kamu baik-baik saja ‘kan?” tanya Mama. Ya, sampai saat ini aku masih memanggil mantan mertuaku itu Mama dan Papa. Toh mereka juga masih mau menjaga hubungan baik denganku.
“Baik nggak baik sih, Ma,” ucapku masih memandang halaman rumah yang telah ditinggal pergi oleh mobil pengantin.
“Ton,” panggil Mama lagi saat semua orang sudah masuk ke rumah.
“Terima kasih kamu sudah memberikan menantu idaman dan besan idaman untuk Mama dan Papa,” lirihnya.
“Maksud Mama?” tanyaku sambil menautkan alis.
“Ya kalau kamu nggak selingkuh, nggak mungkin Rani menikah lagi dengan Roel. Hehehe … jadi segala sesuatunya memang selalu ada hikmahnya, Ton,” lirih Mama seraya bergegas masuk ke rumah. Teganya Mama menertawakanku yang tengah merasa pilu.
®®®®®®®®®®®®
POV RANI
“Alhamdulillah, akhirnya kita halal juga ya, Bang,” ucapku sambil menyandarkan kepalaku di dada bidangnya.
“Iya, Alhamdulillah, Ran. Akhirnya Abang resmi juga menghalalkan kamu sebagai istri Abang. Abang senang banget, Sayang,” ucapnya sambil mengelus lembut pipiku. Sekarang aku bebas mau berbuat seperti apa dengannya. Kalau tidak malu dengan sopir, mungkin aku telah memeluknya erat.
Kami sekarang tengah menuju ke kediaman Bang Roel meski masih mengenakan pakaian pengantin. Bang Roel bilang, kamar kami sudah disiapkan seindah mungkin, dan ia juga ingin menghabiskan malam pertama di kamarnya. Rasanya sudah tidak sabar tidur bersama seseorang yang kita cintai. Terlebih sudah halal pula. Duniaku terasa amat indah sekarang. Rindu yang tersimpan sudah bisa dilepaskan kapan saja. Meskipun aku merasa sedikit minder pada suamiku ini. Secara bagaimana tidak minder? Bang Roel begitu sempurna untukku. Sedangkan aku? Aku hanya seorang janda. Aku sudah tidak perawan lagi. Aku malu padanya karena aku bekas seseorang.
“Kenapa bengong?” tanyanya.
“Nggak apa-apa, Bang. Kenapa Abang memilih menikah dengan janda sepertiku, Bang?”
“Karena Abang cinta, dan sayang. Sudah jangan bahas hal seperti itu. Abang nggak suka dengernya.”
“Iya, Bang. Maaf,” lirihku kembali memeluknya. Bodoh sekali aku malah merusak suasana bahagia ini.
*******
Pukul 24.00 malam, kami sampai di halaman rumah Bang Roel. Suasananya terasa begitu sepi. Anak-anak konveksi sepertinya sudah terlelap. Kupandangi rumah mewah suamiku ini, rumah bernuansa gold ini memang terkesan mewah dan indah dipandang. Ini kali pertama aku akan masuk ke dalamnya. Biasanya, aku hanya berada di luar dan duduk di teras bersama para karyawannya.
Saat aku tengah termenung, menunggu Bang Roel berbicara dengan Pak Sopir, tiba-tiba saja suamiku sudah berada di belakangku. Ia langsung mengangkat tubuhku dan membawaku masuk.
“Emang aku nggak berat, Bang?” tanyaku.
“Kamu masih ringan, Sayang,” ujarnya sembari mengecup keningku.
“Kamar Abang dimana?”
“Di dekat ruang tamu,” lirihnya. Beberapa menit kemudian, kami sampai juga di kamar Bang Roel. Ia masih belum menurunkanku dari gendongannya. Susah payah dia membuka pintu. Untung saja pembantunya tidak melihat ini. Saat sampai di dalam, mataku disuguhkan dengan pemandangan yang luar biasa. Kamarnya sangat luas, bahkan lebih luas dari kamarku. Pemandangan di dalamnya masih dengan nuansa gold. Sangat rapi dan serasa tengah berada di kamar hotel.
Bang Roel berjalan menuju tempat tidur yang lumayan luas kemudian, ia membaringkan tubuhku. Setelahnya, ia pun kembali menuju pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Secepat kilat ia mendekat dan langsung menubruk tubuhku. Sama sekali tidak ada kecanggungan. Justru aku yang merasa malu padanya.
“Bang, aku mandi dulu ya?” ujarku. Atau Abang yang mau mandi dulu?” ujarku bertanya.
“Kamu ‘kan harus melepas hiasan dan membersihkan make-up. Oh iya, di depan kaca cermin seluruh kebutuhan untuk perawatan wajah dan kulit sudah Abang sediakan ya? Jadi Abang duluan yang mandi.”
“Oke, Bang. Makasih ya? Abang memang terbaik,” ucapku. Bang Roel mengecup keningku lalu gegas ke kamar mandi. Segera aku pun bangun dari tempat tidur. Lalu, melepaskan pakaian pengantin, meraih handuk kemudian melilitkannya. Kulangkahkan kaki menuju cermin rias dan mulai membersihkan wajah menggunakan toner. Senyumku terlukis ketika mendengar suara kucuran air. Beberapa menit kemudian, terdengar Bang Roel memanggil namaku.
“Rani!” panggilnya.
“Iya Bang?!”
“Tolong ambilkan handuk,” ujarnya. Segera aku pun mengambilkan handuk untuk suamiku.
“Mas ini,” ucapku. Bang Roel yang bertelanjang dada itu keluar dari balik pintu. Dia menggodaku dengan tidak langsung mengambilnya. Justru tanganku ia genggam dengan erat. “Bang lepas,” rajukku malu-malu. Bukan melepas, Bang Roel malah memandangku tanpa kedip. Lalu ia menarik tanganku masuk ke kamar mandi dan melemparkan handuknya. Kemudian, membawaku tepat berada di bawah shower, lalu laki-laki yang telah menjadi suamiku itu menyalakan showernya hingga membuat tubuhku yang masih berbalut handuk basah terguyur air. Bang Roel mulai mendekatkan tubuhnya. Sangat dekat, membuat jantungku berdetak lebih cepat. Aku tidak tahu semua itu dimulai dari mana, setelah aku basah kuyup, dan kerongkonganku terasa kering, Bang Roel mengangkat tubuhku keluar kamar mandi dan membaringkan tubuhku di ranjang. Aku pasrah untuk saat ini.
Bang Roel menatapku dengan tatapan sayang, menyentuh bibirku dengan telunjuk kanannya.
Krek!
Ia mematikan lampu kamar dan menggantinya dengan lampu tidur. Rasa rindu ingin memeluknya terasa menggebu. Aku pun memeluknya lembut dan penuh cinta, kupejamkan mata karena merasakan kenyamanan dan kehangatan ini. Bang Roel juga membalas pelukanku. Aku mulai menikmati setiap degupan jantung yang berdetak tak beraturan. Kecupannya, sentuhan lembutnya, berhasil membuatku terbang ke awang-awang. Terlepas dari semua yang menjadi penghalang diantara kita, Bang Roel mulai melakukan tugasnya. Perlahan tapi pasti. Aku menikmati setiap detik yang berlalu. Dia benar-benar memperlakukanku dengan lembut dan penuh cinta. ‘Suamiku, aku mencintaimu, sangat ….’
“Terima kasih, Sayang,” ucapnya setelah dia melepaskan semuanya. Nafasnya masih memburu, terpancar jelas kepuasan dalam sinar matanya.
“Sama-sama, Bang,” balasku. Bang Roel menarik tubuhnya dan tidur di sampingku. Aku pun menghadap ke arahnya. Setelah itu, Bang Roel meraih kepalaku dan meletakkan di lengannya, kemudian satu tangannya lagi memelukku dengan erat. Kulihat dia mulai memejamkan mata. Aku pun sama, mulai berusaha memejamkan mata sambil menikmati kenyamanan yang telah ia beri ….