My Beautiful Angel episode 25

Chapter 25

POV Rani
“Bang, tidak menyangka rumah tangga kita sekarang sudah berjalan hampir tiga bulan lamanya,” lirihku masih dalam posisi bermanja sambil menonton film bersama Bang Roel. Semenjak menikah, kami jarang sekali pergi ke toko. Mas Anton pada akhirnya yang menjadi karyawan tetap Bang Roel. Setiap sore dia akan mentransfer omset toko pada rekening Bang Roel. Begitupun dengan Edy dan Kohar. Mereka akan rutin mentransfer omset toko ke rekening-ku. Paling sesekali aku dan Bang Roel pergi ke tokonya. Intinya semenjak menikah kami lebih banyak pergi liburan ke luar negeri maupun luar kota. Benar-benar travelling keliling dunia. Bersamanya, duniaku benar-benar penuh warna. Tapi ada ketakutan tersendiri dalam diriku. Sampai saat ini, aku masih belum juga hamil. Meskipun Bang Roel tidak pernah menyinggung tentang kehamilan. Jelas saja aku kepikiran ucapan Mas Anton yang mengataiku mandul dulu.Dert …. Deerrrttt …..!

Getar ponsel Bang Roel membuatku melepaskan diri dari pelukannya dan meraih ponselnya.

“Siapa yang kirim pesan sih!” gumamku.

“Buka aja, Sayang.”

[Roel, aku ngadain pesta ulang tahun malam Minggu depan di cafe Rindang. Bisa kamu datang, Roel? Teman SMA kita semuanya bakal datang] Ku bacakan sebuah pesan dari nomor baru.

“Siapa yang ngirim, Yang?” tanyanya sambil membenarkan duduknya.

“Aku nggak tahu, Bang.”

“Sini.” Bang Roel mengambil ponselnya dan membalas pesan itu.

[Maaf ini siapa?]

[Ya Tuhan, Roel … ini aku Citra] “Oh, perempuan yang waktu itu,” batinku.

“Gimana Sayang? Kita datang apa tidak usah? Ini acara ulang tahun Citra dan menjadi acara reuni sekolah.”

“Gimana ya, Bang? Sebenarnya aku kurang suka Abang pergi ke acara-acara seperti itu. Tapi aku juga tidak punya hak untuk melarang Abang. Aku nggak enak juga kalau minta Abang jangan datang,” lirihku. Di dalam hati aku tidak suka Bang Roel datang ke acara seperti itu.

[Maaf ya, Cit. Kayaknya aku nggak bisa datang] balas Bang Roel.

[Loh, kok gitu? Kita sudah lama nggak pernah ketemu, Roel. Biasanya kamu ini paling cepat loh kalau diajak ketemu teman-teman lama. Nggak boleh ya sama istrimu, Roel? Masa ketemu teman-teman nggak boleh. Makanya jangan kecepatan nikah, Roel] Bang Roel melirik ke arahku.

“Duh, jadi aku ya yang disalahin,” gerutuku sedikit kesal.

“Apa sih kamu, Sayang? Jangan ngambek deh. Bang Roel menyandarkan kepalaku di bahunya. Beberapa kali dia terus mengecupinya.

“Gini aja, aku datang tapi bawa kamu. Sekalian mau kenalin kamu ke mereka. Oke Sayang?”

Dengan berat hati aku pun mengiyakan.

“Oke deh, Bang,” ucapku sambil memeluknya. Setelah itu kami kembali menonton film action yang sempat terganggu karena pesan dari temannya itu.

[Helo, Roel. Gimana? Bisa datang nggak?] Perempuan itu benar-benar membuatku kesal.

[Oke. Aku datang sama Rani. Sekalian mengenalkan pada teman-teman istri terhebatku ini] Balasan Bang Roel membuatku mengulas senyum.

[Oke]

***

Malam menyapa, seharian ini kami hanya menghabiskan waktu untuk menonton di kamar. Meski begitu, tidak ada rasa jenuh. Kadang aku bertanya pada suamiku itu, apa Abang jenuh? Tapi Bang Roel menjawab tidak. Kuajak keluar mencari udara segar katanya malas. Ya sudah, alhasil hanya menghabiskan waktu di rumah. Kadang bercanda, bertengkar kecil, dan lain sebagainya. Aku merasa, Bang Roel itu, musuh, pacar, suami, juga sahabat. Semua ada dalam dirinya karena memang hanya dia temanku.

Dert … dert … dert ….!

Ponselku terus bergetar, sepertinya ada yang memanggil.

“Sayang, ponsel kamu,” ucap Bang Roel. Aku melepas pelukan suamiku dan meraih ponsel. “Mbak Winda, Yang.” Aku mengangkat panggilannya, Bang Roel mengecilkan suara tivi.

“Loudspeaker, Yang,” pintanya. Aku pun mengangguk.

“Halo, Mbak … apa kabar,” sapaku ramah. Bang Roel memberi kode menepuk lengan-nya. Tandanya, dia memintaku untuk tidur di lengannya. Aku pun segera bergegas.

Cup!

Bang Roel mengecup keningku.

“Mbak punya kabar bahagia. Kita Video call aja ya Ran?” pintanya.

“Oke, Mbak.” Segera aku pun mengalihkan menjadi panggilan Video. Terlihat Mbak Winda dan Mas Fahri sedang tiduran di tempat tidur sama seperti aku dan Bang Roel. Ia melambaikan tangan penuh tawa pada kami.

“Ran!” panggilnya.

“Iya, Mbak?” jawabku. Entah kenapa, jantungku berdegup tidak karuan. Biasanya aku tidak pernah merasa seperti ini.

“Mbak hamil,” ucapnya. Entah harus senang atau bagaimana? Aku hanya tersenyum simpul.

“Selamat ya, Mbak?” ucapku.

“Terimakasih, Adikku. Oh iya, kamu gimana? Sudah isi?” tanya Mbak Winda. Tiba-tiba saja mataku mulai berembun. Aku tidak boleh menjatuhkan air mata. Bang Roel terdiam mendengar berita kehamilan Mbak Winda. Aku jadi merasa sedikit bersalah.

“Belum, Mbak. Doakan aku ya supaya segera menyusul.”.

“Aamminn, Sayang. Jangan kecapekan biar cepat isi ya?” ujarnya.

“Iya, Mbak. Terimakasih banyak.”

“Ya sudah, ini kan hari libur, kalian juga pasti nggak ke toko dong? Sana bikin anak. Biar Mbak matikan panggilannya.”

“Hehehe … Mbak bisa saja. Memang kue dibikin? Ya udah Mbak, selamat ya sekali lagi. Aku seneng banget.”

“Iya, Ran. Mbak matikan telepon-nya ya?”

“Iya, Mbak. Sudah tidak terlihat lagi wajah mereka. Panggilan pun sudah dimatikan. Setelah mendapat telepon dari Mbak Winda, hatiku merasa sedikit sedih. Kenapa aku belum juga diberi seorang anak? Aku takut ucapan Mas Anton kalau aku ini mandul. Tapi sudah beberapa kali periksa, Dokter bilang aku tidak mandul dan ada kemungkinan hamil meski susah. Lima tahun menjadi istri Mas Anton pun tak kunjung diberi momongan. Ini jalan tiga bulan pernikahan dengan Bang Roel juga sama. Ya Tuhan, semoga saja aku bisa berkesempatan menjadi seorang Ibu.

Hatiku yang tiba-tiba merasa sedih ini pun langsung berbelok memeluk suamiku erat. Tidak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh Bang Roel, tapi tatapannya terlihat kosong meski sebelah tangannya terus mengelus rambutku.

“Mas, kamu mikirin apa?” lirihku bertanya. Tapi Bang Roel seakan tidak mendengarnya. Dia masih melamun sambil terus mengelus rambutku. Sejak menerima panggilan dari Mbak Winda dan bercerita kalau dirinya hamil, Bang Roel langsung berubah seperti ini. Ada apa? Lagipula pernikahan kita baru seumur jagung. Meskipun sebelumnya aku sudah pernah menikah. Sungguh, sikapnya yang tiba-tiba seperti ini membuatku jadi berkecil hati dan menghilangkan rasa percaya diriku sebagai seorang istri.

“Bang,” panggilku lagi sambil menyentuh pipinya.

“Iya, Sayang,” ucapnya seraya mengecup keningku.

“Maafin aku ya, belum bisa kasih kamu anak,” ucapku dengan mata berkaca-kaca.

“Kamu ini ngomong apa sih? Aku tidak masalah sama sekali. Yang menghendaki kita punya anak cepat atau lama, itu Tuhan. Jadi kita harus bersabar. Yang terpenting, kita harus tetap usaha,” katanya membuat hatiku sedikit lega.

“Terima kasih, Abang sudah mau menerimaku apa adanya.”

“Sudah, sekarang kita tidur karena hari sudah malam,” tuturnya.

“Iya, Bang.” Bang Roel mematikan lampu. Aku pun membalikkan tubuhku tidur membelakanginya. Tidak biasanya aku seperti ini. Terasa tangan Bang Roel melingkar di pinggangku. Ternyata dia memelukku dari belakang. Nafasnya mulai terdengar di telingaku. Saat sejenak aku melirik wajahnya, dia sudah tertidur. Cepat sekali … kembali aku pun memalingkan wajah. Aku tidak dapat tidur dan terus memikirkan yang bukan-bukan. Kalau aku mandul bagaimana? Kalau nanti aku tidak bisa beri Bang Roel anak? Bagaimana dengan mertuaku? Mungkinkah seandainya aku tidak memiliki anak Bang Roel akan menduakanku? Sungguh aku merasa sangat takut. Jangankan mengalaminya, membayangkannya saja sudah membuatku sakit dan merasa takut. Ya Tuhan, jangan sampai itu terjadi. Aku hanyalah perempuan lemah yang tidak dapat menerima sebuah poligami sekalipun aku mandul.

Kenapa Tuhan? Aku memiliki segalanya. Uang, kekayaan, suami sempurna, tapi kenapa susah sekali untuk memiliki seorang anak? Aku sudah mendambakan kehadirannya. Terutama di rumah besar ini, rasanya sangat sepi tanpa ada suara tangis anak kecil. Jangan biarkan harapanku sebagai seorang Ibu kandas ya Tuhan. Banyak orang bilang, sebelum memiliki anak, wanita tidak akan dibilang perempuan sempurna. Benarkah begitu? Atau hanya ucapan jelek mereka saja?

Kadang aku melihat tetanggaku, teman-temanku, juga Kakakku sendiri, setelah menikah, tak lama mereka bisa positif hamil. Senangnya menjadi mereka, pasti mereka merasa sangat bersyukur. Sedangkan aku, kok seakan merasa sangat lama. Ini kenapa? Apa yang salah dalam diriku? Seperti itulah kiranya pertanyaan yang terus kupikirkan. Tapi aku belajar untuk sabar dan tidak iri pada orang lain. Aku berusaha keras untuk tidak mengotori hatiku dengan penyakit hati semacam iri atau dengki. Meski hinaan atau cibiran orang harus aku dengar, tidak memupus harapanku untuk tetap menunggu sang buah hati.


My Beautiful Angel

My Beautiful Angel

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kisah seseorang yang menikahi karyawannya tanpa sepengetahuan sang istri pertama, Anton yang baru saja membawa pengantin baru ke rumahnya harus berhadapan istri pertama dengan celotehan tanpa henti dari Rani, yang sejatinya sangat judes dan tidak peka dengan keadaan disekitarnya , tetapi bagaimana pun Anton akan tetap mempertahankan pengantin barunya ,Vina dengan meminilasir masalah sekecil mungkin, tapi sayang karena tiga-tiganya edan mungkin ini akan jadi rintangan yang tidak mudah untuk mereka. Dapatkah Anton menjalani hidup sekaligus mempertahankan keluarganya ? Yuk dibaca kisahnya lebih lanjut...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset