My Beautiful Angel episode 26

Chapter 26

POV RANI
Malam ini tiba waktunya untuk pergi ke acara ulang tahun Citra. Selain itu mereka juga mengadakan acara reuni. Aku tidak mau mempermalukan Bang Roel, jadi aku berhias secantik mungkin dan juga berpakaian rapi. Sepaket perhiasan yang super cantik kukenakan. Siang tadi aku juga telah pergi ke salon terlebih dahulu. Pokoknya aku harus tampil secantik mungkin, supaya mengimbangi suamiku yang super tampan.”Sayang!” panggil Bang Roel.

“Iya, Bang,” jawabku sambil mengenakan anting.

“Sudah, Bang. Gimana penampilan aku, Bang? Apa hiasaanku terlalu menor? Jawab jujur ya? Supaya aku tidak mempermalukan kamu. Kalau jelek bilang jelek, aku tidak akan marah.”

“Siapa bilang kamu jelek? Kamu cantik kok. Cantik banget. Semua yang kamu kenakan malam ini sangat cocok dan membuatmu terlihat anggun,” pujinya dengan senyum yang merekah. Entah kenapa, semenjak mendengar kabar kalau Mbak Winda dan juga temanku hamil, perasaanku sedikit sensitif. Aku juga cenderung lebih banyak diam.

“Sudah siap?” tanyanya lagi.

“Sudah, Mas.” Bang Roel pun menggandeng tanganku menuju mobil. Sampai di depan rumah, ada Mas Anton tengah bermain catur bersama anak konveksi lainnya. Iya, sekarang Mas Anton tinggal di konveksi dan menjadi kepercayaan Bang Roel. Nasib hidupku tidak berjauhan dengan mantan. Perasaan Mbak Winda dan Mas Galang mereka bahkan sudah tidak saling bertemu. Hum, anehnya, sekarang Mas Anton terlihat dekat dengan Juwita. Pembantu baru yang menggantikan pembantu Bang Roel yang lama.

“Bang,” sapanya sambil melirik ke arahku. Sejenak laki-laki itu terlihat salah tingkah karena terpergok tengah mencuri pandang padaku. Aku sedikit ilfil melihat pandangan matanya yang seperti itu.

“Semuanya, kita pergi dulu ya?” ujar Bang Roel. Anak-anak pun menjawab serempak. Saat aku kembali menoleh ke belakang, Mas Anton masih menatapku. Segera aku pun masuk ke dalam mobil karena merasa risih dengan tatapannya.

“Kamu kenapa, Yang?” tanya Bang Roel. Mungkin karena wajahku terlihat kusut.

“Bang, Abang tolonglah pindahin Mas Anton. Jangan biarkan dia tinggal di konveksi. Aku sedikit risih kalau hampir setiap hari melihat wajahnya. Jangan lupa Bang … dia itu mantan suamiku,” ucapku sedikit ketus.

“Kamu kenapa sih? Kok jadi aneh?” tanyanya sambil menyalakan mesin roda empat dan mulai melakukannya.

“Bukankah biasanya kamu tidak keberatan? Lagipula Anton ‘kan tinggal bersama anak-anak di konveksi. Dia tidak tinggal di rumah kita. Kamu ini aneh sekali. Kuperhatikan akhir-akhir ini sifatmu sangat sensitif. Jangan lupa, Anton itu sekarang juga sudah jadi orang kepercayaan aku,” tegasnya membuatku ingin mengelus dada.

“Bang, aku hanya merasa tidak nyaman saja. Iya awalnya memang tidak keberatan, tapi aku kira hanya sementara waktu. Ini ternyata dia ikut tinggal di sini,” desisku.

“Tapi terserah Abang sajalah. Aku tidak punya hak untuk melarang, maaf kalau ucapanku barusan menyinggung perasaan Abang.” Semoga saja Mas Anton tidak berbuat macam-macam. Atau mungkin karena aku yang takut ditertawakan olehnya karena tidak kunjung hamil juga? Mikir apa aku ini? Kenapa jadi suudzon begini. Setelah berdebat, sepanjang jalan aku pun hanya terdiam tak bernafsu mengajak Bang Roel berbicara. Daripada aku melanjutkan debat, yang ada memancing pertengkaran.

“Sayang, ayo turun,” ajaknya. Aku pun segera membuka pintu mobil. Setelah itu berdiri menunggu Bang Roel yang tengah memarkirkan mobilnya. Cafenya sudah di boxing ternyata. Pantas, banyak pengunjung di dalam, tapi bertuliskan close. Sepertinya mereka teman-teman Bang Roel.

Cup!

Sebuah kecupan mendarat manis di pipiku. “Jangan bengong,” ujarnya sembari merangkul tubuhku masuk ke cafe. Perlakuan manisnya barusan masih tidak dapat menghilangkan sikap badmood-ku.

“Hei Roel apa kabar?” sapa teman-temannya saat kami sudah berada di dalam. Nampak Citra berjalan menghampiri Bang Roel. Menanyakan kabar lalu cipika cipiki. Bang Roel nampak menghindar, tapi perempuan itu melakukan serangan mendadak. Hal seperti ini yang membuatku tidak suka. Wajar aku cemburu, aku perempuan normal. Meskipun hanya seorang teman, tetap saja ada rasa marah.

“Selamat ulang tahun,” ujarku sambil memberikan kado pada Citra. Sama seperti yang ia lakukan pada Bang Roel, aku dan Citra pun cipika-cipiki.

“Terimakasih, Rani,” ujarnya. Aku mengangguk penuh senyum.

“Kenalin, ini istri gue,” ujar Bang Roel memperkenalkan aku pada semua teman-temannya.

“Pinter lo, Roel. Cari istri cantik begini,” ucap salah satu teman.

“Nanda! Roel nih!” teriak Citra. Secepat kilat perempuan yang bernama Nanda itu menghampiri suamiku. Dia jalan bersama salah seorang teman wanitanya.

“Cie jumpa, Mantan… asyik,” ujar perempuan yang di samping Nanda. Segera keduanya pun berjabat tangan. Namun, kali ini kuperhatikan Bnag Roel sedikit kikuk. Mungkin saja segan karena ingin menjaga perasaanku.

“Cie … temu mantan,” goda perempuan yang di sebelah Nanda lagi. Bang Roel hanya tersenyum seraya merengkuh tubuhku ke pelukannya.

“Kenalin, istri gue yang paling cantik,” ujarnya memperkenalkan aku pada dua wanita itu. Dengan penuh senyum yang super merekah, aku mengulurkan tangan pada mereka sambil menyebut namaku secara bergantian.

“Loh, udah nikah? Kok nggak undang-undang?” tanya Nanda mencubit pundak Bang Roel. “Perempuan ini … kecentilan banget sih!” geramku membatin.

“Gue sama istri gue ke meja belakang dulu ya? Kita lapar nih belum makan,” ucap Bang Roel.

“Oke Roel.” Aku dan Bang Roel pun beranjak ke meja bagian belakang. Kami memilih untuk tetap berdua tanpa bergabung bersama mereka yang tengah sibuk berbincang-bincang.

.

.

“Mau makan apa?” tanyanya saat pelayan menghampiri.

“Aku mau stik aja, Bang,” ujarku sambil menengok ke arah pelayan.

“Loh, Vina?” ucapku. Bang Roel langsung melirik padanya.

“Iya! Kenapa emang? Masalah?” sungutnya.

“Hilih, sesempit inikah dunia?” batinku menggrutu. Kupandangi penampilan perempuan itu.

“Oh, tidak ada masalah. Santai dong sama istri saya! Tidak usah ketus. Kami hanya bingung saja, ternyata kamu jadi pelayan cafe di sini. Cuma mau ingetin, kerja yang jujur. Nanti kamu sambil nyari sampingan lagi,” cibir Bang Roel. Vina menyeringai, menarik ujung bibirnya sebelah.

“Nggak apa-apa gue jadi pelayan cafe, tapi bisa jadi wanita sempurna. Bukan wanita mandul seperti istri elo ini!” tunjuknya padaku. Bang Roel terlihat murka lalu berdiri. Hampir saja ia melayangkan tamparan kalau saja aku tidak mencegahnya.

“Pak! Tolong karyawannya diberitahu cara berbicara sopan pada pelanggan!” teriak Bang Roel pada pemilik cafe. Vina berlalu sambil menatap kami sinis. Dari tatapannya ia terlihat seakan merendahkan.

“Saya sudah sopan kok, Pak. Karena pelanggannya berbicara tidak sopan, ya saya lawan!” ucapnya seperti sengaja dikencangkan. Bang Roel berjalan menghampiri pemilik cafe itu. Sementara aku mengikutinya dari belakang. Nampak Citra juga ikut mendekat.

“Kalau kamu bicara sopan, tidak mungkin kamu menghina istri saya mandul! Itu namanya kamu lancang!” kesal Bang Roel. Aku berusaha menenangkannya.

“Tolong pecat perempuan ini, saya bayar berapapun!” Bang Roel mengeluarkan uang dari dalam tas selempangnya.

“Nggak usah nyuruh bos gue mecat gue! Apalagi pake acara nyogok! Gak malu lo? Kasihan amat, seumur hidup nikah gak bakal punya anak! Hahaha! Buat apa kekayaan elo, kalau istri elo mandul? Siapa yang mau ngurus elo di hari tua?” cerocosnya.

Plak!

Kulayangkan tamparan keras di pipinya.

“Jaga ucapan kamu Vina!” bentakku.

“Vina! Kamu saya pecat!” kesal Pemilik Cafe.

“Pecat saja! Tidak rugi buat saya! Masih banyak pekerjaan lain!” Vina meraih tasnya, setelah itu berlalu. “Bye, wanita mandul!” pekiknya.

“Oh iya, kekayaan kalian tidak berguna tanpa hadirnya seorang anak! Kenapa? Karena rasa akan menjadi hampa! Kaisan kamu Roel, tampan, pandai, dan kaya, dapat istri janda! Mandul lagi!” lanjutnya berteriak di depan pintu.

“Vina! Saya bilang keluar!” bentak pemilik toko.

“Emang gue udah di luar, Bye!” ujarnya berlalu pergi. Sudut mataku mulai berembun, bibirku gemetar. Melihatku rapuh seperti ini, Bang Roel meraih tubuhku ke pelukannya. Berkali-kali ia mencium keningku.

“Semuanya, gue duluan ya,” pamit Bang Roel seraya merangkulku keluar.

“Iya, Roel. Tenangin hati istri lo,” ucap salah satu teman.

“Buat kalian yang sabar ya?” ujar Citra. Sedangkan Nanda terlihat seakan merasa jijik akan diriku dan menyayangkan Bang Roel yang menikahi janda.

“Iya, makasih ya. Gue duluan.”

****

Setelah masuk mobil aku masih terdiam sambil mengingat lagi perkataan Vina di cafe tadi. Rasanya diperlakukan seperti itu sangat memalukan. Malu sekali. Nyatanya justru dengan mengajakku Bang Roel mendapat malu.

“Bang, maafin aku ya,” lirihku.

“Harusnya Abang yang minta maaf. Betul kata kamu, harusnya kita tidak datang ke acara reunian itu,” sesalnya sambil terus fokus mengendarakan laju mobilnya. Aku menarik nafas panjang. Lalu mendongakkan sedikit kepala ke kaca yang telah dibuka.

“Kamu malu Bang?” tanyaku masih sambil menghirup udara malam. Anginnya menyapu wajahku teras sedikit menenangkan. Bohong, kalau Bang Roel itu tidak malu dihina seperti itu di depan teman-temannya. Entah, mungkin saja Vina sakit hati karena dipecat oleh Bang Roel.

“Abang tidak pernah malu memilih kamu sebagai pendamping. Keluarga kita diberi ujian seperti ini, tetapi di baliknya, mungkin kita diberikan kemudahan dalam bentuk lain.” Aku kembali menarik kepala ke dalam dan menoleh pada suamiku.

“Tapi aku sepertinya mandul, Mas. Hidup kamu akan terasa sepi tanpa hadirnya seorang anak. Mungkinkah kamu akan menduakanku suatu saat nanti?” lirihku.

“Susah bukan berarti tidak bisa, Sayang. Lagi pula, meskipun kamu atau kita divonis mandul, tetap layak untuk menikah dan memiliki pasangan hidup yang setia. Jelas jawabanku, aku tidak akan menduakanmu. Aku menikahimu bukan hanya untuk mencari kesempurnaan saja. Tapi kamu dan aku, saling menutupi kekurangan agar terlihat sempurna.”

“Terimakasih, Bang. Abang sudah mau menerimaku apa adanya,” lirihku sembari menyandarkan kepala di bahunya.

“Sayang kamu harus ingat. Hamil dan punya anak lagi-lagi campur tangan dari Allah. Kalau yang baru menikah langsung hamil, itu berarti rezeki anak memang didapat dengan mudah. Tapi kalau sudah menikah belum juga hamil dan punya anak, bukan berarti Tuhan tidak memberi rezeki. Tuhan mungkin memberi rezeki yang lain, tapi rezeki memiliki anak masih disimpan dulu biar sang pasutri semakin rajin beribadah dan berusaha. Paham?” jelasnya menatapku hangat. Aku menangis sesegukkan mendengar ucapannya. Tak peduli dia tengah menyetir, aku pun memeluk tubuhnya erat. Hanya dia saat ini yang menjadi sandaranku. Dialah penguat dalam hidupku saat ini. Suamiku, orang yang selalu menemani disaat susah maupun senang. Dia laki-laki sempurna di mataku. Darinya kutemukan teman, sahabat, pacar, dan suami. Aku berharap, cintanya tidak pernah luntur untukku. Meski ada atau tidak ada hadirnya seorang anak. Aku akan berusaha lebih giat lagi.

Sepanjang jalan pulang aku masih memeluknya dalam diam. Mungkin bibir ini terdiam, tapi hati terus berkata. Mengatakan segala sesuatu yang ingin kukatakan tanpa keberanian. Ribuan keluhan tersimpan rapat dalam hati. Banyaknya rasa gundah kusimpan rapat. Rasa percaya diri seakan hilang dariku, yang ada sekarang hanyalah sebuah rasa minder dan ketakutan. Mungkin aku tidak akan menampakkanya dan lebih memilih menyimpan ketakutan ini sendirian. Hanya Allah dan aku sendiri yang tahu isi hatiku.

“Sekarang jangan dipikirkan, ada anak atau tidak, tidak akan pernah sedikitpun mengurangi rasa cintaku untukmu. Di mataku kamu tetaplah istri paling sempurna,” ujarnya. Aku tetap diam dalam pelukannya. Ucapannya itu sama sekali tidak dapat menghilangkan perasaanku yang gundah ….

“Jangan pernah ragukan cintaku, Sayang,” lirihnya. Kutatap wajahnya sayu, Bang Roel meneteskan air mata.

Aku ingin menangis. Ya, semua perkataan suamiku hari ini membuatku ingin menangis. Mungkin bukan ingin lagi. Tapi air mata ini telah mengalir dengan bebasnya.

‘Maafkan aku yang belum bisa menghadirkan sosok mungil pembawa kegembiraan.’

3 bulan menikah dengan Bang Roel. 5 tahun dengan Mas Anton. Aku pernah menjadi seorang istri sebelumnya, tapi tangisan mungil itu tak kunjung hadir melengkapi pernikahan kami hingga saat ini.

Aku yang pernah mengira Mas Anton lemah, nyatanya … setelah bersama Bang Roel pun anak itu belum juga hadir.

“Sayang, jangan sedih lagi. Aku tidak suka melihatnya.” Aku tidak peduli, kembali aku pun memeluknya erat. Bahkan lebih erat dari sebelumnya.


My Beautiful Angel

My Beautiful Angel

Status: Ongoing Tipe: Author: Dirilis: 2021 Native Language: Indonesia
Kisah seseorang yang menikahi karyawannya tanpa sepengetahuan sang istri pertama, Anton yang baru saja membawa pengantin baru ke rumahnya harus berhadapan istri pertama dengan celotehan tanpa henti dari Rani, yang sejatinya sangat judes dan tidak peka dengan keadaan disekitarnya , tetapi bagaimana pun Anton akan tetap mempertahankan pengantin barunya ,Vina dengan meminilasir masalah sekecil mungkin, tapi sayang karena tiga-tiganya edan mungkin ini akan jadi rintangan yang tidak mudah untuk mereka. Dapatkah Anton menjalani hidup sekaligus mempertahankan keluarganya ? Yuk dibaca kisahnya lebih lanjut...

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Opsi

tidak bekerja di mode gelap
Reset