POV RANI
“Sayang, berhenti menangis. Sekarang kita sudah sampai,” ucap Bang Roel. Aku mengangguk dan segera turun dari mobil.
Bang Roel menggandeng tanganku untuk masuk ke rumah. Nampak Mas Anton masih bermain catur di sana. Ada juga Juwita yang ikut bergabung. Mungkin dia jenuh di dalam sendirian, keduanya juga sedang PDKT.
“Loh, kok pulangnya cepet banget Bang?” tanya Mas Anton. Bang Roel diam saja tidak menjawab dan tetap berjalan melewati mereka sambil menggandeng tanganku. Terdengar bisik-bisik dan saling senggol di antara mereka. Mungkin tahu kalau Bosnya sedang marah.
Sampai di dalam kamar aku langsung mencuci muka lalu berganti pakaian. Setelah itu menggunakan skincare seperti biasa. Baru setelah rapi aku menghampiri Bang Roel di ranjang. Meskipun Bang Roel tidak pernah menuntut yang macam-macam, tetap aku coba berpenampilan cantik, wangi dan rapi untuk suami.
“Abang janji tidak akan pergi ke acara-acara seperti itu lagi,” lirihnya.
“Kenapa, Bang?” tanyaku.
“Aku tidak mau ada yang menghina kamu lagi. Vina! Perempuan itu tidak akan kuberi ampun kalau bertemu dengannya lagi. Siapa dia berhak menghinamu seperti itu.
Dereet ….
Ponsel suamiku itu bergetar. Segera Bang Roel meraih ponselnya dan membuka pesan itu.
[Roel, maafin aku ya. Gara-gara aku suruh datang malah kamu mengalami kejadian yang membuat tidak nyaman. Sekali lagi aku minta maaf dengan kegaduhan ini. Yang sabar ya] Pesan dari Citra masuk di ponsel suamiku.
[Iya, ini bukan salah kamu kok. Sudah tidak apa-apa] balas Bang Roel.
[Roel ini aku, Nanda. Kamu sabar ya? Aku kaget dengar kegaduhan tadi. Namanya jodoh kan tidak ada yang tahu. Aku yang berharap jadi jodoh kamu saja ternyata tidak berjodoh] Emot penuh cinta ia tambahkan. Setelah membaca pesan dari mantan kekasihnya itu, raut wajahnya sedikit berbeda.
[Tidak apa-apa] balasnya singkat.
[Kalau mau cerita cerita aja. Aku siap jadi pendengar kok]
[Istri saya sudah cukup menjadi pendengar yang baik untuk saya. Thanks] balas Bang Roel. Beginilah resiko punya suami masih muda dan memiliki pergaulan yang luas. Harus pandai-pandai menyembunyikan rasa cemburu.
“Bang kita tidur yuk, aku sangat mengantuk.”
“Iya, Abang juga ngantuk.” Semoga saja seterusnya Bang Roel tidak meladeni pesan-pesan dari teman-temannya yang perempuan itu. Biasanya berawal dari curhat bisa menimbulkan rasa nyaman dan berakhir perselingkuhan. Bayang-bayang pengkhianatan Mas Anton saja kadang masih teringat. Semoga kedua perempuan itu tidak mengganggu ketenangan rumah tanggaku.
*********
Hari terus berganti seiring berjalannya waktu. Semenjak kejadian itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Vina apalagi mendengar kabarnya. Tidak terasa pernikahanku dengan Bang Roel sudah bertahan hampir dua tahun. Rasanya baru kemarin. Mbak Winda pun sudah melahirkan seorang anak laki-laki, anak yang waktu itu kabar kehamilannya dikabarkan padaku, kini sudah hampir 2 tahun usianya. Hingga saat ini aku pun masih dalam sebuah penantian. Tetap sambil terus berusaha. Apalagi ada suami yang terus mengsuport.
Selama 2 tahun belakangan ini, banyak sekali perubahan dalam hidup. Aku yang dulu keras kepala sekarang lebih banyak bersabar, dan Mas Anton, kini dia sudah menikah dengan pembantu kami Juwita, mereka kini tinggal jauh di luar kota. Mas Anton sendiri memilih untuk pindah ke kampung Juwita di Medan Sumatera Utara, keduanya membuka usaha toko dari hasil kerja keras selama menjadi karyawan Bang Roel. Dengar-dengar, Juwita juga tengah mengandung anak kedua. Beruntung ya … aku kira Mas Anton adalah jodoh Vina, rupanya bukan.
Hari ini aku berniat pergi ke toko menyusul Bang Roel. Kangen juga rutinitas jual beli. Sudah lama sejak Bang Roel aktif lagi di toko, aku hanya menghabiskan waktu di rumah. Sebelum berangkat, aku sengaja membuatkan salad buah dan berniat membawakan untuknya. Salad buah dimakan siang hari pasti rasanya sangat segar. Lagipula, ini juga makanan favorit Bang Roel. Kalau kubawakan makanan, takutnya sudah makan.
*****
Tepat pukul 13.00 siang, hampir sampai di toko. Dari kejauhan nampak tokonya itu sangat sepi. Segera aku pun mempercepat langkah kakiku yang tinggal beberapa meter.
“Assalamualaikum, Bang,” ujarku menyapa. Bang Roel yang tengah melihat sesuatu di ponsel bersama karyawan toko sebelah itu, tersentak kaget melihat kehadiranku. “Kak Rani,” sapanya terlihat salah tingkah. Dia segera menjauh dari suamiku. Posisinya, Bang Roel sedang duduk memainkan ponsel, sementara Fera, berdiri di belakangnya menunduk ikut melihat sesuatu di ponsel Bang Roel itu. Tapi jaraknya sangat dekat. Ya, mungkin mereka hanya teman toko, tapi tetap saja aku sedikit risih dan tidak suka.
“Lagi liat apaan?” tanyaku sambil masuk ke toko menghampiri suamiku itu.
“Lihat Vidio lucu ini, Sayang,” jawab Suamiku santai. Sementara Fera terlihat hendak beranjak.
“Mau kemana Fer?” tanyaku.
“Mau balik ke toko, Kak Ran,” ujarnya.
“Disini aja lagi, Fer. Kita ngobrol-ngobrol.”
“Takut ada yang belanja, Kak,” jawabnya.
“Oh, oke.” Segera aku pun mengambil kursi dan duduk di samping Bang Roel.
“Tumben kamu kesini?” tanyanya sambil mengelus lembut pipiku.
“Jenuh, Bang di rumah terus. Gimana toko hari ini? Rame?”
“Sepi, Sayang. Makanya tadi Fera mengirim Vidio lucu untuk hiburan. Mungkin lihat Abang diam-diam saja kali ya? Heheheh ….”
“Vidio apa sih?” Bang Roel pun memutar ulang di depanku. Menurutku tidak lucu sama sekali. Atau mungkin membag mood-ku saja yang sedang tidak bagus.
“Lucu kan?” tanyanya.
“Nggak, Bang. Garing,” singkatku.
“Kamu kenapa BT banget begitu?”
“Hem, harus ya Bang sedekat itu?”
“Maksud kamu?”
“Harus Abang sedekat itu sama dia?” ulangku bertanya.
“Ya Allah, Sayang. Abang tidak ada apa-apa serius. Dek, jangan cemburu berlebihan. Dia hanya teman di toko saja. Ya masa Abang tidak boleh bertutur sapa sama tetangga di sini? Nanti Abang dikira sombong bagaimana?”
“Ya lah, terserah Abang. Bagaimana baiknya. Ini aku bawakan salad buah. Abang makan deh,” ucapku sambil menyodorkan salad buah yang kubawa. Dengan cepat Bang Roel membuka dan langsung melahapnya.
“Enak banget, Sayang. Tahu aja kamu mata Abang ngantuk pingin ngemil tapi tidak ada yang lewat. Mau ke kantin malas.”
“Abang udah makan?”
“Belum. Nanti saja makan bareng kamu setelah tutup toko. Diganjel ini juga sudah kenyang.” Aku mengangguk dan kembali memperhatikan Fera. Perempuan itu sudah bersuami, tapi terlihat sangat dekat dey semua orang. Apa suaminya tidak cemburu? Atau memang sifatnya seperti itu ya? Pembawaannya ceria.
“Rame Kak Fera?” tanya karyawan toko sebelah.
“Sepi ini, Kak. Laris-laris aja,” jawab Fera penuh tawa. Di blok A ini pun, semua orang asyik bergurau. Aku sendiri tidak ikut bergabung dan hanya memperhatikan. Bang Roel sesekali menimpali candaan mereka jika ada yang menyebut namanya.
“Rani, baru kelihatan?” tanya Uni toko sebelah yang mungkin habis melaksanakan shalat.
“Iya, Un. Banyak istirahat di rumah. Abang nyuruh di rumah aja,” jawabku lembut.
“Wah … lagi isi ya? Kelihatannya lemas begitu,” ujarnya. Bang Roel tersedak buah yang sedang ia makan.
“Allhmdulillah uni, doakan saja.”
“Sudah berapa bulan?” tanyanya.
“Allhmdulillah belum dikasih sama Allah.”
“Hum, lama juga ya, Ran. Adik Uni cepat sekali hamil. Padahal baru saja menikah, tapi kok kamu belum ya? Padahal kayaknya sudah lama menikah. Kamu KB sebelumnya?”
“Enggak Uni. Memang belum dikasih sama Allah.”
“Kalo kamu nggak punya anak nanti suamimu bisa berpaling lho, terus emang mertua kamu terima nggak punya cucu? Program hamil yang bener sana biar cepat punya anak!” Jujur saja ucapannya itu sangat menyinggung perasaanku. Kesannya seperti aku tidak pernah berusaha saja. Ingin rasanya kulemparkan ke wajah Si Uni berbagai obat, vitamin, kertas diagnosis, dan nota pembayaran program hamilku.
“Kak Rani, kok belum punya anak juga? Jangan-jangan mandul, Kak? Kalau nggak salah, Kak Rani kan mantan istri Mas Anton. Katanya pernikahan kalian sudah berjalan 5 tahun, juga belum punya anak? Mandul kali, Kak!” cerca Fera menimpali. Cepat sekali ia menyambar seperti petir. Perempuan itu pun langsung duduk di toko di depan toko Uni, yang tokonya berhadapan denganku. Vixs, dadaku terasa semakin sesak dan merasa tersudutkan. Aku diam saja hanya menjawab dengan senyum. Bang Roel meletakan salad yang tengah ia makan. Sepertinya tidaj bernafsu untuk menghabiskannya. “Soalnya, aku lihat status Mas Anton dia memposting foto bersama keluarganya. Dan sekarang sih istrinya nampak sedang mengandung anak ke dua. Kak Rani mandul kali ya? Coba cek lagi, Kak!” lanjut Fera.
“Kalian sudah selesai bicaranya? Kalau sudah biar saya yang bicara,” ujar Bang Roel. “Tidak ada orang yang berhak mengatakan orang lain mandul karena sejatinya anak adalah titipan yang Maha Kuasa. Ya bisa saja ‘kan orang yang bilang kita mandul itu, besok anaknya diambil sama yang Maha Kuasa? Jadi jangan arogan dengan memberikan cap kepada orang lain karena kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan!”
“Hamil dan punya anak itu bukan sebuah perlombaan, karena hamil dan punya anak itu ada campur tangan dari Allah. Maaf kalau balasan ucapan saya pada kalian, menyinggung Bhayu kalian. Tanpa kalian sadari, ucapan kalian pun sangat menyinggung perasan kami,” tutup Bang Roel. Uni depan dan Fera hanya terdiam. Setelah itu Fera masuk ke toko Uni, entah apa yang mereka bicarakan.
“Maaf, Bang. Lagi-lagi aku bikin malu Abang. Baiknya aku memang berdiam diri di rumah Bang,” lirihku.
“Besok kita liburan saja ke Bali, Sayang. Kali saja kita bisa dapat anak kalau honeymoon ulang,” candanya.
“Kamu bisa saja, Bang. Nanti toko bagaimana?” tanyaku.
“Biar toko tutup dulu seminggu. Kita jalan-jalan menenangkan pikiran. Mungkin Allah mau, kalau kita menikmati masa pacaran sesudah halal tanpa diganggu anak kita,” ujarnya. Bang Roel mmeang selalu bisa membuatku tersenyum. Tanpa basa yang sudah basi, Bang Roel pun langsung memesan tiket di sebuah aplikasi online dan juga memesan hotel sekalian. Ye … liburan lagi setelah sekian purnama.
*****
Sore berkunjung, kami pun segera menutup toko. Hari ini kami tutup cepat karena ingin membeli belanja bulanan. Bibik di rumah bilang, setok mulai habis.
“Tutup cepat, Roel?” tanya Uda Panji.
“Ya, Uda. Ada urusan sedikit,” jawab Bang Roel.
“Hebat … hebat … sudah lama nikah tapi masih kaya pengantin baru saja ya, Roel. Bikin Uda ngiri,” guraunya. Bang Roel hanya melempar tawa.
“Bisa saja Uda. Kami duluan ya Da,” pamitnya.
“Yo, hati-hati!”
“Yo, Da.”
******
Derrt …..!
“Siapa yang telepon Bang?” tanyaku saat tengah asyik memilih sayur segar.
“Mama, Dek.”
“Halo, Ma.”
“Iya.”
“Oke, segera Roel pulang, Ma.”
“Apa katanya Bang?” tanyaku penasaran.
“Mama sudah di rumah, Dek.”
“Kok nggak ngabari kita?”
“Ya sudah, cepat belanjanya. Kita pulang sekarang.”
“Siap, Bang.” Pasti di rumah akan ada pembahasan tentang kehamilan lagi. Terlebih, Vina dulu mempengaruhi Mama mertua mengatakan kalau aku mandul. Hanya saja Mama tidak percaya dengan ucapan Vina dan memilih menyerahkan semua pada Bang Roel. Ma … usia pernikahanku dengan Bang Roel masih seumur jagung. Semoga Mama tetap sayang pada Rani tanpa Embel-embel perempuan kedua seperti dalam sebuah cerita.
‘Tuhan … hidup memang tidak lepas dari ujian kesabaran. Aku memiliki suami penyayang, harta berlebih, keluarga harmonis, tapi aku mendapat ujian menanti seorang anak. Akulah perempuan pejuang garis dua. Aku tidak tahu nasib diri ini ke depannya, tapi aku berdoa pada Sang Kuasa, semoga selalu melimpahkan rahmatnya. Sang Kuasa tidak pernah memberi cobaan diluar batas kemampuan umatnya, kata-kata itu yang selalu kuingat. Berarti karena aku diberi cobaan seperti ini, aku dapat melewatinya.’