Ya, di pantai Kuta ini, kami tidak sengaja bertemu dengan sahabat Bang Roel yang sedang berlibur bersama keluarganya. Hanya saja, keadaan mulai tidak membaik saat kehadiran seorang perempuan cantik yang tengah mencari putranya. Dimana anak kecil yang tengah dia cari ada di gendongan Lingga. Tiba-tiba saja suasana haru tercipta diantara mereka yang ternyata saling mengenal. Karena Lingga yang dikenal oleh Bang Roel tiba-tiba pergi menyusul perempuan itu, maka aku dan Bang Roel memutuskan untuk berpamitan dan bergegas menikmati senja yang sudah kurencanakan.
“Baik, nanti akan disampaikan,” ujar Mama Lingga.
*****
Sambil duduk berdua di pasir menghadap langit di pantai yang mulai berubah gelap dan berwarna oren, aku bersandar di bahu Bang Roel, menikmati keindahan alam dan ketenangan yang diciptakan. Bang Roel memelukku dari samping sambil menggenggam tanganku dengan sebelah tangannya. Nyaman … sekali rasanya. Tidak ada suara di antara kami, hanya ada keheningan.
“Bang, semenjak bertemu Rara tadi, aku merasa klop dengannya. Perempuan itu sepertinya orang yang baik. Eh, tunggu, tapi aku seperti sering melihat dia. Tapi dimana ya?” ujarku memecahkan keheningan.
“Sama, aku juga seperti pernah melihatnya,” ujar Bang Roel. Tak sangka aku pun coba mengingat telah melihatnya dimana.
“Em,,, pas kita beli minyak wangi keluaran terbaru,” ucapku coba mengingat.
“Rara Mahesti!” sorak Bang Roel. Aku mengangguk dan tersenyum.
“Wah, ternyata kita bisa berkenalan dengan seorang bintang,” ujarku.
“Tapi memang bukan hanya di media sosial saja dia terlihat ramah, Bang. Ternyata aslinya pun sangat ramah,” lirihku coba mengingat kembali perempuan itu.
“Tadi gimana rasanya dipeluk sama bintang?” tanya Bang Roel.
“Lebih tenang. Ternyata bukan hanya aku yang belum memiliki anak.”
“Tandanya kita suruh usaha lebih giat lagi, Sayang. Hahaha.” Tawa Bang Roel pecah.
“Aku pasrah deh, Bang. Oh iya, di rumah Mama, besok ada acara santunan yang biasa dilakukan setiap dua minggu sekali. Omset toko hari ini, aku donasikan semua sama Mama biar yang dibagi lebih banyak lagi, Bang,” ujarku.
“Iya, nggak apa-apa. Bagus itu, Abang dukung. Memang berbagi itu wajib kalau kita punya rezeki yang berlebih. Jangan lupa, karyawan di toko, juga dibagi sedikit rezekinya, supaya mereka tetap semangat dalam bekerja. Mereka juga ikut serta dalam kemajuan usaha toko kita,” ujarnya.
“Hem, iya Bang. Mereka selalu aku kasih bonus setiap dua minggu sekali juga. Nah kalau omset lebih tinggi lagi, mereka masih dapat lagi Bang, bonus tetap dua Minggu sekali, bonus omset, ada lagi setiap penjualan ada kenaikan,” tuturku.
“Istriku memang bijak.”
Cup!
Bang Roel mengecup pipiku. Aku kembali tersenyum sambil menatap indahnya langit senja.
“Bang, kita pulang. Sebentar lagi masuk waktu Maghrib,” ujarku. Gegas kami pun bangkit dari duduk dan berlalu menuju motor terparkir untuk kembali ke hotel.
Saat hendak keluar dari pintu utama pantai, nampak seorang perempuan tua renta tengah mengemis. Hatiku iba melihatnya.
“Nggak usah dikasih! Dia itu punya keluarga! Paling disuruh anaknya ngemis! Atau pura-pura hati-hati!” cegah seorang Ibu pada anaknya yang hendak memberi uang pada pengemis itu.
“Kenapa?” tanya Bang Roel saat aku tengah menatapnya.
“Kasihan, Bang. Boleh aku kasih?” ujarku bertanya.
“Boleh, Sayang.” Aku mendekat ke arahnya. Tubuhnya menggigil, suhu tubuhnya sangat panas saat reflek aku menyentuh tangan keriputnya. Nampak di rantang kecil yang ia pegang tidak berisi sama sekali.
“Nenek sakit?” Dia menggeleng.
“Lapar?” tanyaku. Dia mengangguk.
“Jangan dikasih! Nanti kebiasaan,” cegah seseorang. Aku tidak peduli namun hatiku berkata dia memang butuh.
Aku membuka tas, ada uang 2 juta rupiah di dalamnya. “Ambil ini, Nek,” lirihku. Wanita tua renta itu menatapku dalam. Matanya mengeluarkan air mata. Sepertinya ia tidak dapat berbicara. Dia hanya manggut-manggut sambil mengatupkan kedua tangannya. Mungkin ucapan terimakasih. Dia berbicara entah apa, tapi hanya menggunakan sebuah isyarat. Dia angkat dua tangan, seperti orang yang tengah berdoa. Lalu dia angkat dua jari dan memegang sebuah perut.
“Hum, Nek. Doakan saya. Saya memang tengah merindukan buah hati,” ujarku. Bang Roel mendekat, ia juga mengambil sesuatu dari dalam tas selempangnya, menambah lagi uang untuk Si Nenek. Tapi Nenek itu tidak mau menerimanya.
“Tidak apa, Nek. Ambil saja,” ujar Bang Roel memaksa. Nenek itu pun kembali mengatupkan kedua tangannya dan mengucapkan terimakasih.
“Sama-sama, Nenek. Kami pulang dulu,” ujarku. Nenek manggut-manggut sambil tersenyum.
****
“Kasihan ya, Bang. Apa tidak punya anak kah?”
“Kita lupa bertanya, Sayang. Balik lagi buat tanya? Mumpung masih dekat. Ini baru lima menit. Pasti Nenek masih ada.” Segera kami pun kembali membalikan badan berniat untuk menghampiri Nenek. Namun saat tiba di tempat Nenek tadi duduk, beliau tidak lagi terlihat.
“Nggak, ada Bang,” lirihku.
“Sudah, mungkin Nenek sudah kembali ke rumahnya lewat jalan berbeda,” ujar Abang.
“Iya, Bang. Sudah kita lanjut pulang.”
*****
Setiba di hotel, setelah mandi dan sholat Maghrib, aku memainkan ponsel Bang Roel atas seizinnya. Bang Roel sendiri tengah memeriksa ponselku.
Tut!
Sebuah pesan masuk di ponselnya.
[Roel, lagi apa?] Kubaca pesan itu. Darahku langsung berdesir hebat. Kontak itu tidak ada namanya. Segera aku balas tanpa sepengetahuan dia. Awas saja kalau sampai macam-macam kamu, Bang?” kesalku dalam hati.
[Lagi santai aja nih, kenapa?]
[Nggak apa-apa. Kamu masih marah sama aku? Kenapa tidak pernah membalas pesanku dari nomor satu lagi. Apa kamu marah sama foto saat itu?] Mataku membulat.
[Foto apa? Aku tidak pernah menerima foto apapun darimu]
[Oke, aku kirim ulang ya?]
Tidak lama kemudian sebuah pesan masuk, nomor itu mengirimkan sebuah foto seksi tanpa sehelai benangpun. Wajahnya, aku kenal betul dengan dia. Rasa mual dan sedikit pusing tiba-tiba melanda.
“Apa ini Bang!” bentakku melempar Ponsel Bang Roel ke hadapannya.
“Kamu kenapa?” Segera suamiku itu mengambil ponselnya.
“Kamu sama Citra ada hubungan apa?” tanyaku sambil memegangi kepalaku. Dadaku terasa sesak. Ada rasa benci dan marah.
“Kenapa kamu balas?”
“Hah, kenapa aku balas? Kamu nggak suka?” tempikku.
“Bukan, bukan seperti itu, Sayang.”
“Kenapa kamu nggak kasih tahu aku Citra kirim Foto kayak gitu sama kamu?”
“Aku hanya ingin menjaga perasaan kamu. Makanya aku tidak memberitahunya. Aku juga tidak pernah melihat atau membacanya.”
“Kenapa nggak diblokir?” Nafasku masih tersengal.
“Dia pernah bilang katanya salah kirim. Lagian kamu kenapa balas kayak gitu?”
“Ya aku ingin tahu aja, Bang. Ih, kesel aku Bang!” Bang Roel memberikan ponsel itu padaku dan membuka percakapannya dengan Citra. Ternyata banyak juga pesan yang bikin aku cemburu sebelum menikah.
“Bang, aku mau kamu blokir nomor dia!” kesalku.
“Siap, Sayang. Sekarang jangan marah lagi.” Rasa pusing itu masih ada di kepalaku. Tak habis pikir dengan perempuan seperti itu. Segera aku membalas lagi pesan Citra ke nomor baru yang digunakan untuk mengirim pesan pada Bang Roel tadi.
[Lo jangan ganggu laki gue! Gila lo perempuan! Murahan sekali lo, sampai kirim-kirim foto begituan sama suami orang? Mending kalau diladenin, diladenin juga nggak! Sekali lagi lo ganggu suami gue, gue viralin kelakuan lo ke media sosial. Tapi gue nggak rendahan seperti itu. Lo tunggu gue datang ke rumah lo, terus gue tunjukin kelakuan lo ini ke keluarga lo! Perempuan terlahir dari keluarga berpendidikan kok kelakuannya murahan! Nggak nyangka gue Citra! Tobat lo selagi masih ada nyawa] Ku-kirim pesan balasan untuknya. Setelah dia baca, tiba-tiba saja tidak terlihat lagi foto profilnya yang menunjukkan sumbulan buah dadanya. Tak habis pikir ada perempuan semacam itu. Mudah-mudahan hanya Citra saja yang mau merendahkan harga dirinya.
“Bang, diblokir ini,” ucapku sambil memberikan kembali ponsel miliknya.
“Sudahlah biarkan saja. Toh Abang juga nggak pernah ngeladenin,” ujarnya.
“Berani ngeladenin, kubunuh kamu, Bang. Biar saja aku masuk penjara. Tak peduli. Kalau Mas Anton dulu kubuat bangkrut, kamu kubuat masuk kuburan!” Bang Roel terkekeh.
“Aku serius!” Kucubit kencang pinggangnya hingga dia meringis kesakitan.
“Bila perlu, kumutilasi barang berharga milikmu, Bang. Supaya kamu menderita seumur hidup!”
“Ya Allah, Sayang. Ngeri sekali ancamannya. Udah dong, aku ini udah sangat bersyukur punya kamu. Duh, gara-gara Citra malah jadi berantem. Udah ya? Please sayang. Jangan marah lagi,” desisnya. Aku masih kesal. Tak peduli, aku pun tidur membelakanginya. Memang bukan salah Bang Roel, tapi tetap saja aku kesal.
Derrttt ….
Ponsel Bang Roel kembali bergetar. Segera aku pun mengambil lagi ponselnya hendak membuka pesan dari siapa yang masuk. Melihat kelakuanku yang mendadak berubah posesif seperti itu, Bang Roel pun terkekeh. “Ye,,, ada yang cemburu,” guraunya. Aku hanya melirik kesal ke arahnya dengan tatapan sinis yang super tajam. Melihatku seperti ini, dia justru semakin terkekeh lagi. “HAHAHAHAHAHA!” gelak suara tawanya menggema di dalam ruangan. Baru kali ini aku kesal tapi diketawain. Rasanya itu benar-benar campur aduk tidak karuan.
[Roel, maaf gue tadi pergi tanpa pamit sama lo. Kapan ada waktu, kita kumpul bareng. Salam buat istri lo. Simpan nomor cowok tertampan satu sekolah dulu, Lingga] tulisnya membuatku mengulas senyum.
“Pesan dari siapa? Kok kamu senyum-senyum?” tanya Bang Roel sambil menyambar ponselnya.
“Oh Lingga.” Segera Bang Roel pun membalas pesan dari sahabat lamanya itu.
[Oke, Lingga. Siap. Berkabar aja. Gue masih beberapa hari lagi disini sampai adonan gue jadi] balas Bang Roel, saat aku meliriknya.
[Lanjut deh, gempur terus semoga sukses. Doain gue juga, Bro. Semoga urusan gue lekas kelar. Banyak yang pengen gue ceritain ke lo. Cuma lo yang bisa kasih gue solusi terbaik]
“Dia punya masalah juga, Yang?” tanyaku. Sepertinya emosiku sudah mulai reda. Terbukti dari kosakataku memanggilnya Sayang.
“Punya dong, Sayang. Semua manusia itu punya masalah. Tapi bagaimana cara kita menyikapinya. Oke?” Aku mengangguk dan mulai lagi dempet-dempet memeluknya.
[Oke, Ga. Atur waktu saja supaya kita bisa ketemu] balas Bang Roel. Akhirnya, Bang Roel pun meletakan ponselnya dan mulai fokus padaku.
“Alhamdulillah, malam ini batal puasa. Akhirnya masih bisa dapat jatah,” ucapnya sambil membawaku ke dalam pelukannya.
“Sayang, jangan lupa,” lirihnya.
“Lupa apa, Yang?”
“Kita memulainya dengan doa.”
Tek!
Bang Roel mematikan lampu di sampingnya. Kemudian … kami pun memulai sesuatu canda yang membuat kami larut ke dalamnya….